FUNGSIONALISASI
HUKUM DALAM MEMBANGUN
BIROKRASI
PADA ERA INDONESIA BARU
Oleh;
F.
A. Abby
ABSTRAK
Birokrasi
pada tataran yang normatif pada hakikatnya mengandung pengertian yang netral,yaitu
berfungsi untuk melayani kepentingan publik. Namun pada tataran yang empirik
birokrasi kemudian berubah menjadi tidak netral. Ketidak-netralan birokrasi ini
karena adanya intervensi dari berbagai macam kepentingan yang turut bermain di
dalamnya, baik kepentingan individu, kepentingan kelompok, maupun kepentingan
golongan.
Selama
rezim orde baru berkuasa, birokrasi telah dijadikan sebagai alat politik oleh
kekuatan politik pemerintah pemegang kekuasaan dominan. Dengan kondisi
birokrasi yang demikian, maka segala tindakan maupun keputusan birokrasi
menjadi sarat dengan muatan visi dan misi dari kekuatan politik pemerintah
tersebut. Manakala birokrasi kemudian mengalami kehilangan fungsinya, maka hal
ini adalah merupakan konsekuensi logis dari situasi dan kondisi politik ketika
itu.
Untuk membangun kembali birokrasi pada era
indonesia baru, maka selain mengembalikan birokrasi kepada fungsi yang
sesungguhnya sebagai pengemban tujuan yang berorientasi pada kepentingan
publik, juga fungsionalisasi hukum harus menjadi salah satu prioritas yang
lebih dikedepankan dalam menindak setiap bentuk penyalahgunaan kekuasaan atau
penyimpanan maupun pelanggaran-pelanggaran lainnya yang terjadi di dalam tubuh
birokrasi.
Pendahuluan
Krisis moneter yang mulai
terjadi sejak pertengahan tahun 1997 yang lalu yang dampaknya terhadap berbagai
aspek kehidupan di dalam masyarakat masih terasa hingga sekarang; seperti
ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya, dan lain-lain, meupakan buah dari berbagai
kebijakan pemerintah rezim orde baru yang sangat sentralistrik dan
monopolistik serta tidak memiliki akuntabilitas publik (public
accountability)[1] Kebijakan- Kebijakan ini dilakukan baik melalui peraturan
perundang-undangan maupun melalui tindakan-tindakan maupun keputusan-keputusan
pemerintah yang bersifat publik lainnya.
Sistem penyelenggaraan pemerintah
yang demikian sudah barang tentu akan melahirkan berbagai kebijakan yang bukan
merupakan cerminan pemerintah sebagai
representatif dari kedaulatan rakyat, sehingga akses partisipasi rakyat
dalam menentukan arah kebijakan pemerintah juga menjadi sangat terbatas. Hal
ini bisa terjadi karena adanya intervensi dari berbagai macam kepentingan
kelompok, maupun kepentingan golongan sehingga kebijakan yang yang dilakukan
oleh pemerintah pada waktu itu cenderung lebih banyak berpihak kepada kelompok
kepentingan tertentu (interest group)
daripada kepada kepentingan rakyat banyak (publik).
Meluasnya korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) yang terjadi di semua lapisan birokrasi selama rezim orde baru
berkuasa, menanamkan andil yang sangat besar atas terjadinya krisis
berkepanjangan yang akibatnya masih dirasakan oleh sebagian besar rakyat
Indonesia hingga sekarang. Bahkan korupsi, kolusi, dan nepotisme ini
seolah-olah sudah membudaya dalam tubuh birokrasi, sehingga tidaklah terlalu
berlebihan manakala ada sebutan yang mengidentikan rezim orde baru dengan
sebutan rezim kleptokrasi atau rezim maling, dan berbagai lembaga
internasional pun kemudian menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang
masuk pada deretan papan atas negara-negara terkorup di dunia.[2]
Blau dan Meyer[3]
mengatakan, bahwa birokrasi dalam pengertian sehari-harinya diidentikan dengan
ketidakefisienan (inefficiency)
atau “benang merah” dalam arti pemerintah. Walaupun bukan sebagai pengertian
yang sesungguhnya dari birokrasi, namun dalam keseharian atau dalam ranah
emprik sering dijumpai berbagai ungkapan bernada negatif yang dialamatkan
kepada birokrasi dengan menggunakan berbagai istilah, seperti; SUMUT (semua urusan menggunakan uang tunai), UUD (ujung-ujungnya duit), KUHP (karena uang habis perkara), JAKSA (jika anda kemari serahkan amplop),
HAKIM (harap anda kemari kalau ingin menang), BUPATI (buka paha
tinggi-tinggi), SEKWILDA (sekitar wilayah
dada), ABS (asal bapak senang), TST (tahu sama tahu), dan lain-lain.
Semua
ungkapan dalam bentuk istilah-istilah yang mengandung konotasi negative
tersebut diatas bukannya tanpa alasan, karena tidak mungkin ada asap kalau
tidak ada api. Populernya, isitlah-istilah tersebut di dalam masyarakat sudah
barang tentu tidak dapat dilepaskan dari berbagai pengalaman yang dialami oleh
anggota masyarakat yang pernah berurusan dengan birokrasi.
Birokrasi
yang pada hakikatnya berfungsi untuk melayani kepentingan publik, di dalam
praktiknya memperlihatkan perilaku yang sebaliknya, bukannya melayani melainkan
minta dilayani. Bahkan melakukan tindakn-tindakan maupun membuat
keputusan-keputusan yang tidak terpuji yang pada akhirnya merugikan dan merusak
tatanan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keadaan ini
kemudian diperparah lagi dengan kenyataan adanya kesenjangan social ekonomi
yang begitu menyolok para elit birokrasi (pejabat) dan kroni-kroninya dengan
para pegawai biasa, buruh dan rakyat kecil, atau dengan sebagian besar rakyat
Indonesia.
Di suatu
pihak, para elit birokrasi dan kroni-kroninya menikmati segala kemewahan materi
yang berlimpah-ruah yang diperoleh melalui jerik payah orang lain atau melalui
cara-cara yang tidak adil. Sedangkan di pihak lain, sebagian besar rakyat
menderita sedemikian rupa karena berada dalam kondisi yang serba kekurangan. Upaya para elit
birokrasi dan kroni-kroninya yang tidak henti-hentinya mengejar kemewahan yang
lebih berlimpah-ruah lagi, kosekuensinya sudah barang tentu adalah
berkembangnya korupsi ke seluruh lapisan birokrasi, baik di pusat maupun
didaerah. Gambaran situasi ketidak-adilan semacam ini disebut Freire [4]
sebagai situasi penindasan, yaitu
penindasan minoritas terhadap mayoritas.
Sudah sangat begitu transparan dan bukan
rahasia lagi apabila tanpa ada uang
pelicin atau uang semir atau uang lelah,
dan berbagai istilah lainnya, segala macam urusan yang berhubungan dengan
birokrasi akan menjadi rumit dan berbelit-belit. Persoalan-persoalan sederhana
yang semestinya dapat diselesaikan
dalam waktu relatif singkat, karena tanpa ada uang pelicin, maka dengan
berbagai macam dalih yang kadang-kadang tidak masuk akal, proses
penyelesaiannya kemudian menjadi berlarut-larut dan membutuhkan waktu yang
lama.
Di samping itu, birokrasi sering melakukan
tindakan maupun membuat keputusan yang diskriminatif, seperti pemberian
kemudahan berupa perlakuan khusus atau pemberian hak-hak khusus dalam berbisnis
bagi pengusaha atau kelompok usaha tertentu, seperti dikeluarkannya Keppres No.
42/1996 tentang Pembuatan Mobil Nasional, S. K. Menteri Perdagangan No. 125.
KP/V/1991 tentang BPPC, dan lain-lainya;[5]
serta perlakuan yang tidak sama bagi setiap orang dalam kaitannya dengan proses
penegakan hukum, yang pada gilirannya hukum ,tidak lagi berpihak pada kebenaran
dan keadilan tetapi sudah berpihak pada kepentingan-kepentingan tertentu.[6]
Pertanyaannya sekarang adalah mengapa
birokrasi menjadi sedemikian bobroknya ? dan bagaimana membangun kembali
birokrasi yang ideal, sesuai dengan fungsinya dalam melaksanakan mandat rakyat
sebagai pengemban tujuan yang berorientasi kepada kepentingan publik pada era
Indonesia baru. Artinya, bagaimana membangun birokrasi pada era demokrasi
menuju Indonesia baru yang lebih mengedepankan supremasi hukum?
Arti dan Ruang Lingkup Birokrasi
Dalam
kehidupan masyarakat yang semakin kompleks pada era kesejagadan (globalisasi) dewasa ini, keberadaan
birokrasi tidak hanya bersangkut-paut dengan bidang pemerintahan saja tetapi
juga bersangkut-paut dengan berbagai aspek lain di luar pemerintahan atau
dengan badan-badan swasta yang bergerak di bidang bisnis, sosial kemasyarakatan
dan keagamaan, keuangan dan perbankan, dan lain-lain. Namun yang menjadi topic
bahasan di dalam tulisan ini hanyalah birokrasi yang bersangkut-paut dengan
pemerintahan.
Blau dan
Meyer[7]
mengatakan, bahwa birokrasi adalah jenis organisasi yang dirancang untuk
menangani tugas-tugas administrative dalam skala besar serta mengkoordinasikan
pekerjaan orang banyak secara sistematis. Sedangkan menurut kamus umum bahasa
Indonesia yang disusun oleh W. J. S. Poerwadarminta,[8]
mendefinisikan birokrasi ke dalam tiga pengertian, yaitu: pemerintahan yang
dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat; cara pemerintahan
yang sangat dikuasai oleh pegawai negeri; dan cara bekerja atau susunan
pekerjaan yang serba lambat, serba menurut aturan (adat, dan sebagainya),
banyak liku-likunya.
Beranjak
dari pengertian birokrasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Blau dan Meyer
serta Poerwadarminta tersebut diatas, maka bisa dilihat betapa begitu vitalnya
fungsi birokrasi dalam rangka menata berbagai aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara di dalam suatu Negara, termasuk bagaimana mekanisme
bekerjanya rangka menyelenggarakan kekuasaan negara, apalagi dalam sebuah negara
yang luas wilayah sangat besar dengan jumlah penduduk yang sangat banyak,
pemerintah tentunya sangat memerlukan birokrasi untuk memperpanjang tangan
kekuasaan di dalam melayani kepentingan rakyatnya.
Birokrasi
dalam konteks negara Indonesia bisa dilihat dari adanya beberapa departemen dan
lembaga non departemen beserta jajaran dibawahnya, baik sipil maupun militer,
yang dibentuk oleh pemerintah mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Keberadaan birokrasi ini pada hakikatnya adalah untuk efesiensi, namun yang
sering tampil kepermukaan dan menjadi sorotan publik adalah sebaliknya, yaitu
ketidakefesienan dengan tumbuh dan berkembangnya korupsi, kolusi, dan
nepotisme, yang pada akhirnya menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat.
Ketidakefesienan ini pula yang kemudian melahirkan desakan supaya dilakukan
“debirokratisasi”, yaitu upaya untuk mengurangi peranan negara yang sangat
berlebihan dan bahkan tidak proposional dalam berbagai aspek kehidupan di dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. [9]
Birokrasi
dalam ranah das Sollen di tempatkan pada posisi yang ideal, tetapi dalam ranah
das Sein apa yang ideal tidaklah selalu realistik. Kenyataan empirik
menampilkan adanya dua wajah birokrasi, yaitu sebagai sesuatu yang dibutuhkan
dan sesuatu yang dianggap sebagai penghambat. Di suatu sisi birokrasi
dibutuhkan untuk melayani kepentingan publik (public service), sedangkan di sisi lain birokrasi menghambat
spontanitas dan kreativitas rakyat untuk mengekspresikan kebebasan, serta
menghambat akses partisipasi rakyat di dalam turut menentukan arah kebijakan
pemerintah.
Sisi lain
dari birokrasi yang hingga sekarang tetap menjadi sorotan publik, adalah
berkaitan dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi dilingkungan
birokrasi yang telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi rakyat dan
Negara. Dengan pengertian lain, bahwa birokrasi telah mengalami disfungsi dan
menuntut biaya-biaya sosial maupun materiil yang sangat besar, yang semuanya
harus dipikul oleh rakyat dan negara. Dengan pengertian lain, bahwa birokrasi
telah mengalami disfungsi dan menuntut biaya-biaya sosial maupun materiil yang
sangat besar, yang semuanya harus dipikul oleh rakyat. Recovery ekonomi yang
sedang berlangsung dewasa ini merupakan buah dari disfungsi birokrasi yang
terjadi selama puluhan tahun. Dibidang perbankan saja, melalui Kebijakan
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), negara mengalami kerugian
lebih-kurang Rp. 164 triliun sebagai akibat dari disfungsi birokrasi yang terjadi
dalam tubuh Bank Indonesia. Di tambah lagi dengan terjadinya kebocoran dana
anggaran pembangunan yang besaran setiap tahunnya diperkirakan berkisar antara
30% - 40%, dan lain-lainya, sudah tidak terhitung lagi besarnya kerugian negara
sebagai akibat dari disfungsi birokrasi yang terjadi selama ini. Uang sebanyak
ini dinikmati hanya oleh beberapa orang atau segelintir orang saja, sedangkan
risikonya dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Bagaimana
pandangan telah dikemukakan untuk menjelaskan fenomena tersebut. Secara umum
dapat disimpulkan , bahwa dari beragamnya pandangan yang mengemuka ini
setidaknya ada dua aspek penting yang saling berkait antara yang satu dengan
yang lainnya, yaitu; adanya aspek politik
yang begitu mendominasi birokrasi
atau politisasi birokrasi disatu
sisi, serta akuntabilitas publik (public accountability) di sisi lain.
Birokrasi
sebagai kepanjangan tangan kekuasaan negara dari pemerintah yang menjadi
representatif rakyat, di dalam melaksanakan tugasnya harus bertanggungjawab, baik
langsung maupun tidak langsung, kepada rakyatnya. Di dalam implementasinya
kewajiban untuk mempertanggungjawabkan ini dihadapkan pada suatu kedala. Pertama; walaupun tindakan maupun
keputusan yang dibuat oleh birokrasi, langsung maupun tidak langsung, dapat
mempengaruhi kehidupan rakyat, akan tetapi karena para aparat birokrasi tidak
dipilih oleh rakyat sehingga mengenyampingkan prinsip akuntabilitas publik. Kedua; adanya pengaruh politik dari
kekuatan politik pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dominan. Ketiga; dikesampingkannya
prinsip-prinsip hukum dalam menangani pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di
dalam tubuh birokrasi.
Caiden dalam Hariandja,[10]
menyebutkan bahwa ada tiga kata kunci dalam kaitannya dengan akuntibitas
publik, yaitu; reponsibilitas,
liabilitas, dan akuntibilitas. Respontibilitas menunjuk pada otoritas untuk
bertindak, kebebasan untuk mengambil keputusan, kekuasaan untuk mengawasi, dan
sebagainya. Liabilitas diasumsikan sebagai tugas untuk memperbaiki, mengganti
kerugian, membalas jasa, dan sebagainya, akibat segala kesalahan atau
kemiskinan penilaian atas dampak kebijakan. Sedangkan akuntibilitas adalah
kewajiban untuk mempertanggungjawabkan, melaporkan, menjelaskan, memberi
alasan, menjawab, memikul tanggung jawab dan kewajiban, memberikan perhitungan,
dan tunduk kepada penilaian (judgement)
dari luar.
Disamping
itu pengertian akuntibilitas publik dapat dilihat dari persepektif yang lain.
Wiltshire[11]
mengartikan akuntibilitas publik sebagai penilaian responsibilitas moral
atas tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan (termasuk semua pembelanjaran
yang menggunakan uang publik) oleh kelompok masyarakat dan akhirnya oleh
individu.
Dari
definisi yang dikemukakan oleh Caiden dan Wiltshire di atas, Hariandja[12]
kemudian mengidentifikasikan elemen-elemen dalam prinsip akuntibilitas publik,
yaitu: (1) adanya kewajiban bagi birokrasi untuk mempertanggungjawabkan
tindakan maupun keputusannya; (2) yang melakukan penilaian tersebut adalah
institusi sosial-politik yang berada di luar birokrasi.
Determinansi Poltik dalam Tubuh
Birokrasi
Lahirnya
rezim orde baru pada awalnya dimaksudkan sebagai koreksi total atas terjadinya
berbagai macam penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh
rezim orde lama, atau membentuk pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government) untuk menggantikan pemerintahan rezim orde lama
yang dianggap kotor.
Di dalam
perkembangannya kemudian, selama lebih kurang 32 tahun berkuasa, ternyata apa
yang dilakukan oleh pemerintah rezim orde baru tidak jauh berbeda dengan apa
yang telah dilakukan oleh rezim sebelumnya. Penyimpangan atau penyalahgunaan
kekuasaan yang dilakukan seolah-olah sudah merupakan hal yang sudah biasa.
Dengan mengkonstuksikannya sedemikian rupa, apa saja yang kemudian dilakukan
oleh rezim penguasaan tersebut selalu benar.[13]
Hal semacam ini dalam konsep
Negara feudal disebut dengan doktrin; the
king can do no wrong.
Dengan
membangun sistem dan kebijakan politik yang cenderung otorier, sentralistik,
dan monopolistic, rezim orde baru dapat mempertahankan kekuasaannya dalam waktu
yang relatif lama. Sistem yang sudah dibangun dalam waktu yang relatif lama,
sudah barang tentu membawa pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tidak kecuali birokrasi, sebagai suatu
institusi yang melaksanakan kekuasaan Negara untuk melayani kepentingan
rakyatnya, juga sudah terkooptasi dengan bingkai system dan kebijakan politik
yang di bangun oleh rezim orde baru.
Sangat berat
bagi birokrasi untuk tidak sejalan dengan kemauan dari kekuatan politik
pemerintah pemegang kekuasaan dominan, karena konsekuensinya adalah menyangkut
perjalanan karirnya birokrasi. Hal ini di dukung pula dengan hidupnya budaya patron-client di kalangan masyarakat termasuk
di dalam tubuh birokrasi. Budaya ini merupakan hasil dari bingkai sistem
politik penguasa pada waktu itu yang biasa memberi hadiah bagi sebuah loyalitas
(renumeratif) dan memberi “siksaan”
bagi para pembangkang (punitif). Ada
banyak kasus dimana para demagog yang kemudian menduduki jabatan elit
birokrasi, sedangkan yang tetap berpegang pada prinsip etika, moral, dan hukum
kemudian “tersingkir” atau “disingkirkan”.
Birokrasi kemudian dijadikan sebagai alat
politik, dan pada akhirnya menjadi salah satu unsure dari kekuataan politik
pemerintah pemegang kekuasaan dominan, selain Presiden, Golkar, dan ABRI.[14]
Kenyataan pada waktu itu juga
membuktikan bahwa elit birokrasi adalah juga elit Golkar dan elit ABRI.
Implikasi lebih lanjut dari kondisi birokrasi yang demikian, adalah saratnya
nuansa politik dalam setiap tindakan-tindakan maupun keputusan-keputusan yang
dibuat oleh birokrasi. Tindakan maupun keputusan tersebut sudah barang tentu
diusahakan sedemikian rupa agar menguntungkan kekuatan politik pemerintah
pemegang kekuasaan dominan.
Dalam
situasi dan kondisi dimana birokrasi sudah menjadi alat politik, tentunya
semakin memudahkan peluang elit birokrasi untuk melakukan penyimpangan atau
menyalahgunakan kekuasaan, maupun melakukan berbagai bentuk pelanggaran
lainnya. Penuh kerahasiaan, ketertutupan, atau tidak transparannya kinerja
birokrasi, menimbulkan kesan seolah-olah apa yang dilakukan oleh birokrasi
selama ini selalu dianggap benar , sekaligus telah mengenyampingkan aspek
akuntibilitas, khususnya terhadap rakyat sebagai pemilik kekuasaan yang
sesungguhnya.
Esensi
sesungguhnya dari bingkai sistem politik yang dibangun rezim orde baru ini
adalah untuk melanggengkan kekuasaan dengan dalih untuk kesinambungan
pembangunan sebagai alasan pembenarnya, termasuk dilakukannya berbagai rekayasa
untuk memperoleh legitimisi, yang kemudian didukung pula oleh sebagaian kaum
intelektual yang berasal dari perguruan tinggi.[15]Ironisnya,
bingkai ini ternyata sengaja dibangun guna menciptakan suatu peluang untuk memperoleh uang atau
kekayaan sebanyak-banyaknya,[16]
termasuk dengan menyedot dari negara. Uang yang diperoleh ini kemudian
digunakan untuk membiayai kegiatan politik dari kekuatan politik pemerintah
pemegang kekuasaan dominan, termasuk untuk biaya melakukan kampanye dan
memperoleh dukungan konstituen.
Hal ini sama
dengan apa yang dimaksudkan oleh David J. Gould[17]
sebagai korupsi birokratis, atau yang
menurut Theodore M. Smith[18]
merupakan investasi tidak resmi
infrastruktur politik.
Caidens sebagaimana yang dikutip oleh Gloud[19]
membedakan konsepsi korupsi birokratis yang terdiri dari; kepentingan umum,kewajiban umum, dan berpusat pada pasar. Konsepsi pertama beranggapan bahwa korupsi
terjadi jika seorang pejabat ditunjuk untuk mengambil tindakan demi kepentingan
para pemberi dana dengan hadiah tidak resmi, karena itu melanggar kepentingan
umum. Konsepsi kedua menanggap korupsi sebagai tindakan yang menyimpang dari
kewajiban formal si pejabat karena ia memperoleh sesuatu yang bersifat pribadi,
uang, atau kedudukan. Dan konsepsi ketiga memandang korupsi sebagai peralihan
dari model penentuan harga yang dikendalikan ke model pasar bebas. Dalam hal
ini korupsi merupakan pranata hakiki yang intra-legal, yang digunakan oleh
pribadi atau kelompok untuk memperoleh pengaruh atas tindakan birokrasi umum.
Berdasarkan konsepsi korupsi birokratis menurut Caidnes ini,
setidak-tidaknya dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengindentifikasi
kapan dan bagaimanakah proses terjadinya korupsi birokratis di Indonesia selama
ini, dan siapa-siapa pelaku yang terlibat di dalamnya. Apalagi dengan adanya
intervensi kekuatan politik pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dominan,
sehingga dengan sangat jelas bisa di lihat bagaimana proses disfungsi birokrasi
itu terjadi, dan siapa pelaku yang harus bertanggungjawab untuk itu.
Kekuasaan pada hakikatnya adalah sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan
atau kesejahteraan. Dalam ranah empirik, apa yang sering terjadi adalah
sebaliknya. Kekuasaan bukannya digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan
keadilan atau kesejahteraan, melainkan telah menimbulkan ketidak-adilan atau
kesengsaraan dimana-mana.
Laswell dan Kaplan[20]mengartikan
kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain sedemikian rupa agar
bertindak atau berbuat sesuai dengan keinginan dari yang memiliki kekuasaan.
Pengaruh di sini bisa dilakukan dengan cara kekerasan dan persuasi, sehingga
tidak menutup kemungkinan apabila kekuasaan ternyata digunakan semata-mata
hanya untuk menciptakan ketidak-adilan, sebagaimana ketidak-adilan yang terjadi
dimana-mana rezim orde baru berkuasa.
Kebijakan pemerintah dibawah Presiden Abdurrahman Wahid yang membatasi
pegawai negeri menjadi anggota partai politik, dalam arti boleh menjadi
pengurus partai politik asalkan melepaskan statusnya sebagai pegawai negeri,
melarang anggota militer aktif untuk menduduki jabatan elit birokrasi
mengurangi peran sosial-politik (dwi
fungsi) militer, serta pendirian lembaga yang berfungsi mewakili
kepentingan publik (ombudsman) atau
lembaga yang berfungsi melakukan pembelaan publik diakibatkan oleh tindakan
atau prilaku aparat penegak hukum dan birokrasi, merupakan langkah awal yang
tepat untuk memutuskan mata rantai dari bingkai sistem dan kebijakan politik
yang selama ini di bangun oleh rezim orde baru.
Dengan pembentukan kabinet atas dasar kompromi dari beberapa
partai-politik besar pemenang pemilihan umum, sudah barang tentu kabinet di
bawah pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid ini dipimpin oleh elit-elit politik
dari beberapa partai politik tersebut. Dalam keseharian, kabinet ini dikenal
pula dengan sebutan “kabinet pelangi”.
Dari susunan kabinet yang demikian sudah sangat jelas bisa dilihat tidak adanya
kekuatan partai politik yang mendominasi kekuasaan pemerintah. Abdurrahman
Wahid sendiri menjadi Presiden atas usulan dan dukungan dari kekuatan beberapa
partai politik yang berkolaborasi dengan membentuk Poros Tengah.[21]
Dengan usia yang masih relative
muda, kiranya terlalu naïf untuk menilai kinerja cabinet pemerintahan yang
sekarang. Apalagi dengan mewarisi sekian banyak persoalan peninggalan rezim
sebelumnya, seperti kasus-kasus KKN yang terjadi hampir disemua institusi
birokrasi pemerintah , pelanggaran HAM, disintegrasi bangsa, munculnya berbagai
konflik horizontal, dan lain-lain, disertai dengan desakan dan tututan untuk
segera menuntaskannya, tentunya merupakan beban yang sangat berat yang harus
dipikul oleh rezim yang memerintah sekarang. Namun demikian, bukan berarti
pemerintahan yang sekarang bebas nilai.
Padangan kritis harus selalu ditumbuh-kembangkan dalam menyikapi kinerja
kabinet pemerintahan yang sekarang, karena pengaruh bingkai sistem politik
rezim orde baru yang sudah terbentuk dalam waktu yang relatif lama tidak mudah
untuk bisa dihilangkan begitu saja. Apalagi dengan masih banyaknya muka-muka
lama dari rezim orde baru tersebut yang sampai sekarang masih tetap eksis, baik
sebagai elit politik maupun elit birokrasi, tidak tertutup kemungkinan – dengan
menggunakan segala daya dan upaya –mereka akan menanamkan kembali pengaruhnya.[22]
Selain tetap menumbuh-kembangkan sikap kritis untuk mencegah agar hal
tersebut tidak terjadi, maka adanya kelompok oposisi yang kuat yang tidak
berapiliasi dengan partai politik sangat diperlukan baik sebagai penyeimbang (power-equalizer) maupun sebagai penekan
(preassuregroup), seperti Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), media massa, kampus, dan lain-lain.
Membangun Birokrasi yang Bertanggungjawab
Beranjak dari pengertian, fungsi, dan tujuannya, birokrasi pada dasarnya
ditempatkan pada posisi yang netral. Netralis birokrasi ini tentunya apabila
dilihat secara teoritik., atau pada tataran yang normatif. Dalam ranah empiric
ternyata birokrasi berada pada posisi yang tidak netral sebagai akibat dari
begitu kuatnya tekanan politik. Karena adanya disfungsi birokrasi dan tujuan
birokrasi sudah tidak lagi berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak, maka
dalam keseharian sebutan birokrasi sering diplesetkan menjadi biro-crazy (bureaucrazy).
Ketidaknetralan birokrasi bisa dilihat dari adanya pola-pola kegiatan dan
interaksi yang menyimpang dari prinsip-prinsip akuntabilitas maupun
prinsip-prinsip hukum. Oleh Benveniste,[23]
akuntabilitas itu sendiri dikatakannya sebagai gejala penyakit organisasi
karena ia merupakan senjata defensif maupun ofensif yang digunakan untuk
melindungi organisasi.
Pengaburan informasi tentang suatu kejadian yang sesungguhnya terjadi
dengan melalui rekayasa kemudian memunculkan berbagai istilah seperti; kesalahan prosedur, oknum, kambing-hitam,
provokator, dan lain-lain, dapat dikatagorikan kedalam pengertian
akuntabilitas sebagai alat defensif. Sedangkan sebagai alat ofensif, misalkan
menuduh pihak lain telah melakukan tindakan fitnah atau memutar-balikan fakta,
subversi, maker, menghambat pembangunan, dan sebagainya.
Pola-pola kegiatan maupun interaksi birokrasi dalam melakukan tugasnya,
telah mengenyampingkan fungsi dan tujuannya untuk melayani kepentingan publik.
Karena merasa tidak memikul tanggungjawab dan berkewajiban untuk mempertanggungjawabkannya kepada rakyat,
maka penyimpangan demi penyimpangan selalu saja terjadi. Sedangkan mekanisme
kontrol/pengawasan terhadap kinerja birokrasi juga tidak berjalan sebagaimana
mestinya.
Sementara ini terdapat beragam pandangan berkaitan dengan mekanisme
kontrol/pengawasan terhadap akuntabilitas. Dari keberagaman pandangan ini
terdapat keseragaman pandangan tentang adanya dua model mekanisme kontrol
akuntabilitas birokrasi, yaitu mekanisme
internal dan mekanisme eksternal.
Hariandja[24] mengatakan
bahwa mekanisme kontrol internal merupakan mekanisme kontrol yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga atau fungsi-fungsi yang berada di dalam organisasi
birokrasi itu sendiri. Artinya, secara organisatoris tidak dapat dipisahkan
dari birokrasi. Sebaliknya mekanisme kontrol eksternal adalah mekanisme
pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga atau fungsi-fungsi yang
eksistensinya terpisah dari garis komando birokrasi.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan
Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal (Irjen),
Inspektorat Wilayah Propinsi (Itwilprop), Inspektorat Wilayah Kabupaten
(Itwilkab), Pengawasan Melekat (Waskat), Sumpah jabatan, peraturan mengenai
disiplin pegawai negeri, dan lain-lain, termasuk dalam pengertian mekanisme
kontrol internal. Sedangkan yang termasuk dalam pengertian mekanisme control
eksternal adalah ; Partai Politik, hukum dan peradilan, media massa, kelompok
penekan (pressure groups) dan
kelompok penyeimbang (power-equalizer)
seperti LSM, Kampus, dan lain-lain.
Dari uaraian terdahulu sudah sangat jelas mengenai peta masalah yang
dihadapi birokrasi. Bobroknya birokrasi di Indonesia selama ini disebabkan
karena mekanisme kontrol internal maupun eksternal yang tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan karena begitu kuatnya intervensi yang
dilakukan oleh kekuatan politik pemerintah pemegang kekuasaan dominan, sehingga
kedua mekanisme control tersebut berada dalam posisi yang tidak berdaya atau
sengaja untuk tidak diberdayakan.
Membangun birokrasi yang bertanggungjawab pada era demokratisasi menuju
Indonesia baru yang lebih mengedepankan supremasi hukum, maka selain melakukan
debirokratisasi, birokrasi juga harus dijalankan berdasar atas prinsip-prinsip
hukum agar tidak menimbulkan terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan
kekuasaan, maupun pelanggaran-pelanggaran lainnya dalam tubuh birokrasi.
Artinya, hukum disini memliki fungsi kontrol atas birokrasi. Manakala terjadi
penyimpangan, penyalahgunaan, atau pelanggaran-pelanggaran lainnya di dalam
tubuh birokrasi, maka hukum harus dijadikan sebagai alat untuk menilai
sejauhmana penyimpangan, penyalahgunaan maupun pelanggaran-pelanggaran lainnya
tersebut dapat dipertanggung jawabkan.
Disamping itu, dalam konteks membangun birokrasi yang bertanggungjawab,
juga diperlukan adanya transparansi, partisipasi, dan prediktibilitas, termasuk adanya integritas dan kredibilitas
para elit birokrasi, baik yang menduduki jabatan politis maupun jabatan karir.
Dan untuk menilai bagaimana kinerja birokrasi pemerintahan sekarang, maka ada
parameter sederhana yang dapat digunakan untuk itu, yaitu sampai sejauhmana
konsistensi pemerintah dalam menuntaskan berbagai macam kasus KKN, pelanggaran
HAM, dan kasus-kasus lainnya yang telah mencoreng wajah bangsa dalam pergaulan
masyarakat dunia.
Hukum sebagai principle guiding,
demikian menurut Romashkin sebagaimana dikutip oleh Oemar Seno Adji,[25]
mengandung arti bahwa segala peri-laku atau tindakan apapun yang akan dilakukan
oleh setiap organ negara, baik
penyelenggara negara maupun warga negara haruslah berdasar atas hukum.
Berangkat dari makna hukum sebagai principle guiding, apabila hukum dilaksanakan
secara konsisten maka hukum dapat menjadi sarana efektif untuk mencegah
terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan, maupun berbagai bentuk pelanggaran
lainnya di dalam tubuh birokrasi.
Melaksanakan hukum secara konsisten sesuai dengan prinsip Negara hukum
yang di anut oleh konstitusi. Menurut I. S. Susanto,[26]
dari apa yang tersurat maupun yang tersirat dalam pembukaan Undang Undang Dasar
1945, fungsi primer negara hukum adalah:
1.
Perlindungan.
Hukum mempunyai fungsi untuk melindungi masyarakat dari ancaman bahaya dan
tindakan-tindakan yang merugikan yang dating dari sesamanya dan kelompok
masyarakat,
termasuk yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan (pemerintah dan negara) dan
yang datang dari luar, yang ditujukan terhadap fisik, jiwa, kesehatan, nilai-nilai
dan hak-hak asasinya.
2.
Keadilan.
Fungsi lain dari hukum adalah menjaga, melindungi dan memberikan keadilan bagi
seluruh rakyat. Secara negatif dapat dikatakan bahwa hukum yang tidak adil
adalah apabila hukum yang bersangkutan dipandang melanggar nilai-nilai dan
hak-hak yang kita percayai harus dijaga dan dilindungi bagi semua orang.
3.
Pembangunan.
Fungsi hukum yang ketiga adalah pembangunan dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini mengandung makna bahwa
pembangunan di Indonesia sepenuhnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di segala aspek kehidupan seperti aaspek
ekonomi, sosial, politik, kultur dan spiritual. Dengan demikian hukum dipakai
sebagai kendraan baik dalam menentukan arah, tujuan dan pelaksanaan pembangunan
secara adil. Artinya hukum sekaligus digunakan sebagai alat pembangun namun
juga sebagai alat kontrol agar pembangunan dilaksanakan secara adil.
Harus di akui bahwa perangkat hukum yang tersedia belum sepenuhnya dapat
menjangkau berbagai bentuk penyimpangan, penyalahgunaan, atau
pelanggaran-pelanggaran lainnya tersebut di atas. Namun demikian, hal ini tidak
bisa dijadikan sebagai alasan bahwa pelanggaran-pelanggaran yang selama ini terjadi
di dalam tubuh birokrasi tidak bisa diproses secara hukum. Dalam kaitan ini ada
instrumen-instrumen internasional dari PBB yang dapat dijadikan sebagai
pegangan untuk melakukan proses hukum, antara lain seperti; Deklarasi Anti
Penyiksaan dan Tindakan atau Hukuman yang Kejam, Tak Manusiawi atau Merendehkan
Martabat Manusia yang diadopsi oleh Majelis Umum tanggal 9 Desember 1975,
Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan
Penyalahgunaan Kekuasaan, yang disahkan oleh Resolusi Majelis Umum 40/43
tanggal 29 Nopember 1985, Hukum Kebiasaan Internasional yang sudah diterima
oleh bangsa-bangsa beradab didunia, dan lain-lain.
[1] Dalam konteks ini, I. S. Susanto, mengatakan bahwa krisis
ini kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi, social, politik, hukum, budaya,
dan akhirnya terakumulasi menjadi krisis
kepercayaan hampir di Segala aspek kehidupan. Krisis ini merupakan buah kebijakan yang penuh dengan korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh pelaku bisnis, birokrasi serta
elit penguasa. Lihat I. S. Susanto, kejahatan
Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde Baru, Pidato Pengukuhan
Penerimaan Jabatan Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro Semarang, 1999, hal. 1-2
[2] Berdasarkan laporan Political and Economy Risk Consultancy (PERC) yang berkedudukan di Hongkong,
pada Tahun 1998 Indonesia ditempatkan sebagai negara nomor satu paling korup di
Asia. Sedangkan Tranparency International
menempatkan Indonesia di posisi keenam negara paling korup di dunia. Pada
tahun 1999, PERC menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi
tertinggi dan sarat kroniisme di Asia, dengan skor 9,91 untuk korupsi dan 9,09
untuk kroniisme dengan skala penilaian (rating)0 – 10. Sedangkan tahun 2000,
Indonesia termasuk salah satu terburuk dalam birokrasi versi PERC dengan skor
8,0, dan dari 571 negara di Asia Indonesia menduduki urutan nomor satu sebagai
negara terkorup dengan skor 9,88 menyusul India (9,50), Cina (9,50), dan
Filipina (8,87). Lihat kompas. 13
Maret 2000.
[3]
Blau, Peter dan Marshall W. Meyer, Birokrasi
dalam Masyarakat Modern ed. 2, Universitas Indonesia, Jakarta, 1987 , hal. 3
[4] Dalam
semangat mereka untuk memiliki secara tak terbatas, kaum penindas mengembangkan
semacam keyakinan bahwa adalah mungkin bagi mereka mengubah segala sesuatu
menjadi objek daya beli mereka; disinilah dasar dari konsep kehidupan
materilistik mereka yang kokoh. Uang menjadi ukuran segalanya, dan laba adalah
tujuan paling utama. Bagi kaum penindas, apa yang dianggap bermanfaat adalah
memiliki lebih banyak – selalu lebih banyak – sekalipun dengan mengorbankan
kaum tertindas yang semakin miskin dan tidak memiliki apa-apa lagi. Bagi
mereka, mengada adalah memiliki dan mengada sebagai kelas masyarakat
“berpunya”. Lihat Paulo Freire, Pendidikan
Kaum Tertindas, LP3ES, Jakarta, 1985, hal. 33, dan lihat juga Paulo Freire,
Politik Pendidikan : Kebudayaan,
Kekuasaan, dan Pembebasan, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1999
[5] Lihat Laporan Akhir Tim Kerja Bidang Hukum
Masyarakat Tranparansi Indonesia tentang Penelitian
Keputusan Presiden Yang Menyimpang 1993 – 1998 , yang menyebutkan sedikitnya ada 75 Keppres
yang dianggap menyimpang yang meliputi bidang-bidang; infrastruktur, kehutanan
dan pertanian , fasilitas untuk pejabat negara, penyelenggarakan negara secara
umum, serta perindustrian dan perdagangan.
[6] Pengambil-alihan
tanah-tanah rakyat baik dengan cara persuasi maupun dengan cara kekerasan
dengan dalih untuk kepentingan pembangunan; pengambil-alihan kantor pusat
Partai demokrasi Indonesia (PDI); pemberedelan beberapa media massa, penculikan
terhadap beberapa orang aktivis pro demokrasi yang nasib sebagian diantaranya sampai
sekarang masih belum diketahui – apakah sudah mati atau masih hidup; pembunuhan
terhadap tokoh buruh Marsinah, pembunuhan terhadap Udin (wartawan BERNAS);
pembunuhan terhadap sekian banyak orang yang dituduh sebagai dukun santet di
Banyuwangi; tragedi Tanjung Priok; tragedi Warsidi di Lampung; tragedi
Trisakti; tragedi Semanggi I dan II; skandal Bank Bapindo, Bank Bali, Busang,
termasuk beberapa kasus korupsi, kolusi, dan nepotismeyang melibatkan elit
politik, elit militer, dan elit birokrasi yang proses hukumnya tidak transparan
dan tidak tuntas; pelanggaran HAM di Aceh, Irian Jaya (Papua), dan di daerah-daerah lainnya;
merupakan sederetan contoh kasus penyimpangan dan pelanggaraan yang dilakukan
oleh aparat birokrasi berupa “penyalahgunaan kekuasaan umum secara melawan
hukum” (illegal abuss of public power).
[8] Poerwadarminta,
W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia , PN
Balai Pustaka, Jakarta, 1979, hal. 144
[9] Walaupun esensi sebenarnya dari
debirokratisasi tidak hanya sekedar menghapus atau menghilangkan departemen, namun kebijakan presiden
Abdurrahman Wahid yang telah menghapus atau menghilangkan Departemen Sosial dan
Departemen Penerangan setidak-tidaknya dapat dikatakan sebagai salah satu wujud
dari debirokratisasi.
[10] Denny
B. C. Hariandja, Birokrasi nan Pongah;
Belajar dari Kegagalan Orde Baru, Kanisius, Yogyakarta, 1999, hal.13
[13] Dalam kaitannya dengan masa pemerintahan rezim
orde baru ini kiranya menarik dan patut untuk disimak pernyataan yang pernah
dikemukakan oleh Mochtar Pabotinggi yang mengatakan; dengan perlakuan yang
buruk atas prinsip kebebasan pers, dengan konsetrasi kekuasaan pada kalangan
eksekutif, dengan cara pengangkatan – bukan pemilihan – atas anggota-anggota
legeslatif, bahkan termasuk pengutamaan atas Golkar, orde baru bukanlah
antithesis dari orde lama sebagaimana klaimnya semula. Orde baru hanya bertolak
belakang dari orde lama dalam hal kebijakan ekonomi. Akan tetapi dalam hal
sistem dan kebijakan politik yang cenderung otorier dan monopolistik, ia adalah
pelanjut setia dan krestif dari mode rezim orde lama. Lihat Syamsudin Haris dan
Riza Sahbudi (editor), Menelaah Kembali
Format Politik Orde Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal.45
[14] Selama pemerintahan rezim orde baru
ada beberapa unsure kekuatan politik pemerintah pemegang kekuasan dominan, yang
menurut Machfud terdiri dari unsur-unsur: Presiden, Golkar, ABRI, dan
Birokrasi. Lihat Moh. Machfud, MD, “Demokrasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum
yang Responsif,”Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang Pendayagunaan
Sosiologi Hukum dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global yang
diselenggarakan oleh Pusat Studi hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 1996
[15] Menurut Edward W. Said, intelektual berperan sebagai benteng
akal sehat yang kritis terhadap kekuasaan. Selanjutnya dikatakan, intelektual
haruslah peka terhadap nasib mereka yang tertindas serta menempatkan diri
sejajar dengan kaum lemah yang tersisihkan dan tak terwakili. Untuk itu mereka
harus siap menghadapi risiko apa pun termasuk berseberangan dengan kekuasaan.
seorang intelektual dalam memerangi ralitas yang menindas bukanlah sikap
akomodatif terhadap kekuasaan, tapi oposisi. Karakterisasi intelektual menurut
Said adalah sosok di pengasingan dan marjinal, sebagai amatir, dan sebagai
pengarang sebuah bahasa yang mencoba membicarakan kebenaran kepada kekuasaan.
Lihat Said, Edward W., Peran Intelektual,
Edisi Pertama, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1998
[16] Berdasarkan pengamatan yang pernah penulis
lakukan pada waktu rezim orde baru berkuasa, khususnya di Propinsi Kalimantan
Selatan, ada “kebijakan” birokrasi yang mewajibkan setiap pengusaha
(kontraktor) yang memenangkan tender proyek-proyek pemerintah agar menyisihkan
dana berkisar antara 1-2,5% dari besarnya nilai proyek untuk kepentingan kas
Golkar. Ketika hal ini penulis konfirmasikan dengan beberapa orang fungsionaris
Golkar, kewajiban ini katanya terbatas hanya pada para pengusaha yang menjadi
kader Golkar saja. Akan tetapi menurut keterangan dari sebagian besar
pengusaha, kewajiban ini ternyata berlaku bagi semua pengusaha tanpa ada
kecualinya.
[17] Dalam tulisannya mengenai Korupsi Birokratis dan Keterbelakangan di Zaire, Gould
menggambarkan korupsi yang terjadi di Zaire sudah sedemikian rupa. Birokrasi
adalah makhluk yang mengerikan, mempunyai alat-alat penangkap yang senantiasa
memperluas genggamannya, dan sekaligus merupakan lembaga yang paling korup dan
merusak masyarakat. Lebih lanjut dikatakan , bahwa di dalam gelanggang
administratif-politis, mekanisme korupsi pertama-tama terdiri dari
dilumpuhkannya proses demokratis bersamaan dengan ditempatkannya pemerintah
dalam pengawasaan khusus dari kelas (borjuis), yang pada gilirannya memakai
untuk menjadi lebih kaya dan untuk menindas penduduk. Lihat David J. Gould
dalam Mochtar Lubis dan James C. Scott, Mafia
dan Korupsi Birokratis, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1987, hal. 72, 73,
dan 81.
[18] Istilah ini
dikemukakan oleh Smith dalam tulisannya yang berjudul Korupsi, Tradisi dan Perubahan di Indonesia, dalam konteks
pemilihan umum di Indonesia pada tahun 1955. Partai-partai politik peserta
pemilu pada waktu itu berusaha sedemikian rupa untuk mengalihkan sumber daya
(kekayaan) negara kedana kampanye partai, termasuk untuk kelangsungan hidup
partai. Dengan mengutip pendapat Bintoro Tjokroamidjojo et. al., dalam mimeo “Masalah Korupsi” yang ditulis pada tahun 1970,
disebutkan bahwa di balik keperluan pemilihan, terdapat pengeluaran rutin
sehari-hari yang dibutuhkan supaya partai dapat berfungsi terus. Para pemimpin
partai di Indonesia telah berusaha dan berhasil memperoleh hak-hak istimewa
komersial di luar pengawasan hukum (extralegal)
dan pemakai fasilitas pemerintah untuk membantu kebutuhan penghasilan mereka,
dan mereka mungkin akan melanjutkan praktek ini; organisasi militer menempuh
strategi yang sama dengan hasil yang bahkan lebih besar. Lihat Smith dalam Mochtar
Lubis dan James C. Scott, Korupsi
Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 63-64
[19] Gould dalam Lubis dan Scott, Op. Cit., hal. 110
[20]
Miriam Budiarjdo, Demokrasi di Indonesia
: Demokrasi Parelementer dan Demokrasi Pancasila, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1994, hal.27
[21] Kehadiran Poros Tengah yang disodorkan oleh beberapa partai
politik ini, pada awalnya ada anggapan merupakan sebuah pilihan alternatif
untuk melakukan perubahan dalam rangka membentuk Indonesia ‘‘baru” sebagaimana
konsep jalan ketiga yang ditawarkan oleh Anthony Giddens melalui bukunya The Third Way. Ternyata kemunculan Poros
Tengah hanyalah sebatas dalam usaha menembus kebuntuan pencalonan dan pemilihan
Presiden pada waktu itu. Dengan kata lain, hanya sebatas upaya untuk
‘‘menjengal” langkah Megawati menjadi Presiden. Sesudah terbentuknya pemerintah
baru hingga sekarang, apa dan bagaimana sesungguhnya Poros Tengah itu rasanya
masih tidak begitu jelas.
[22]
Persaingan para elit politik untuk menduduki jabatan-jabatan strategis pada
institusi-institusi pemerintahan yang termasuk “basah” , sudah sangat jelas
dimaksudkan adalah untuk kepentingan masing-masing partai politik. Hal semacam
ini dapat dijadikan sebagai suatu indikasi bahwa pengaruh system lama ternyata
masih begitu dominan. Munculnya berbagai kecenderungan adanya partai-partai
politik yang hanya memikirkan kepentingan partainnya dengan mengenyampingkan
kepentingan rakyat, harus selalu dikritisi agar determinasi politik dalam tubuh birokrasi
tidak terjadi lagi. Dan rakyatpun tidak harus masuk kedalam jurang penderitaan
yang semakin dalam lagi.
[23] Benveniste, GUY , B I r o k r a s I , Cet. IV, Rajawali Pers, Jakarta, 1997, hal. 208
[24]
Hariandja, Op. Cit., hal. 40-41
Penutup
Selama rezim orde baru berkuasa, telah terjadi politisasi birokrasi
karena birokrasi sudah menjadi bagian dari kekuatan politik pemerintah pemegang
kekuasaan dominan yang sekaligus menjadi alat politik. Karena sudah terkooptasi
oleh kekuasaan, pada akhirnya birokrasi kehilangan fungsi yang sesungguhnya sebagai
sarana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Keberadaan birokrasi yang
demikian ternyata merupakan format politik yang sengaja dibangun oleh rezim
orde baru sebagai peluang untuk memanfaatkan sumber kekayaan Negara
sebanyak-banyaknya, yang notabene adalah milik rakyat, semata-mata hanya untuk
kepentingan pribadi elit penguasa dan kroni-kroninya maupun untuk kepentingan
politik penguasa agar dapat melanggengkan kekuasaannya.
Dalam rangka membangun birokrasi yang bertanggungjawab pada era
demokratis menuju Indonesia baru yang mengedepankan supremasi hukum, termasuk
untuk membangun pemerintahan yang baik (good
governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government), maka sudah menjadi keharusan apabila
fungsionalisasi hukum lebih diutamakan di dalam proses penyelesaian terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dalam tubuh birokrasi. Untuk mencegah
munculnya kebiasaan lama berupa penciptaan “korban jadi-jadian” atau “korban
rekayasa” demi melindungi penguasa dan kekuasaan , maka partisipasi rakyat
harus diberdayakan melalui pembukaan akses informasi yang seluas-luasnya
mengenai kinerja birokrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Benveniste, GUY. 1997. B i r o k r a s I. Cet. IV. Jakarta :
Rajawali Pers.
Blau,
Peter M. dan Marshall W. Meyer. 1987 . Birokrasi
dalam Masyarakat Modern. Edisi Kedua. Jakarta : UI-PRESS.
Denny BC.
Hariandja, 1999. Birokrasi Nan Pongah:
Belajar dari Kegagalan Orde Baru. Yogyakarta
: Kanisius.
Freire, Paulo.1985. Pendidikan Kaum Tertindas. Cet. I.
Jakarta : LP3ES.
.
1999. Politik Pendidikan: Kebudayaan,
Kekuasaan, dan Kebebasan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Giddens, Anthony. 1999. Jalan
Ketiga: Pembaharuan Demokrasi Sosial.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
I. S. Susanto. 1999. Kejahatan
Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Orde Baru. Pidato Pengukuhan Guru
Besar Madya dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang.
Miriam Budiarjdo. 1994. Demokrasi
di Indonesia – Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Mochtar Lubis dan James C. Scott (penyunting). 1987. Mafia dan Korupsi Birokratis. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
. 1993. Korupsi Politik. Jakarta : Penerbit
Yayasan Obor Indonesia.
Moch. Machfud MD. 1996. “Demokratisasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum
yang Responsif.” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang
Pendayagunaan Sosiologi Hukum dalam Masa Pembangunan dan Rekturisasi Global.
Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang.
Oemar Seno Adji. 1980. Peradilan
Bebas Negara Hukum. Jakarta : Erlangga.
Said, Edward, W. 1998. Peran Intelektual. Edisi Pertama.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Syamsudin Haris dan Riza Sahbudi (editor). 1995. Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama.
W. J. S. Poerwadarminta. 1979. Kamus
Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Penelitiaan Keputusan Presiden yang
Menyimpang 1993 – 1998. Laporan Akhir Tim Kerja Bidang Hukum Masyarakat Transparansi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar