Senin, 22 September 2014

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TRAFFICKING ANAK DAN PEREMPUAN VOLUME 1 NO. 2 BANJARMASIN MEI 2012, ISSN 2089-7189









JURNAL
CAKRAWALA HUKUM
Gagasan dan Informasi Aktual Tentang Hukum



 




STATUS  KETENAGAKERJAAN BAGI PEKERJA OUTSOURCING YANG BEKERJA DIBIDANG JASA SATUAN PENGAMANAN / SECURITY
H. Djumadi

JAMINAN KONSTITUSIONAL TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA
H. Mohammad Effendy

PAJAK DAN RETRIBUSI PENYELENGGARAAN PARKIR BAGI KONTRIBUSI DAERAH
Indah Ramadhany

SPESIALISASI TINDAK PIDANA PERS TERHADAP PERBUATAN YANG DIKATEGORIKAN “TRIAL BY PRESS”
Daddy Fahmanadie

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN TRAFFICKING ANAK DAN PEREMPUAN
Dadang Abdullah

EKSISTENSI DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH DALAM KONFIGURASI POLITIK HUKUM INDONESIA
Rahmida Erliyani





JCH
Volume 1
Nomor 2
Halaman
122-242
Banjarmasin
Mei 2012
ISSN
2089-7189











Jurnal
CAKRAWALA HUKUM
Gagasan dan Informasi Aktual Tentang Hukum


Pelindung
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lambung Mangkurat
&
Ketua Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Lambung Mangkurat

Ketua Penyunting
Prof. Dr.H.M. Hadin Muhjad, S.H., M.Hum
Dr. Abdurrahman, S.H., M.H
Dr. Effendy, S.H., M.H
Dr. Karlie Hanafi Kalianda, S.H., M.H
Dr. H. Masdari Tasmin, S.H., M.H

Penyunting Pelaksana
H. Rachmadi Usman, S.H., M.H
Zakiyah, S.H., M.H
Syahrida, S.H., M.H
Rolly Muliazi, S.Ag., M.H

Administrasi
Zainal Arifin, S.Sos
Muhammad Eldy, A.Md
Khijratin Ni’mah, S.E
Elly Rachmawati, A.Md

Redaksi
Program Studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Lambung Mangkurat
Jl. Brigjen H. Hasan Basri
Kayu Tangi Banjarmasin
Kalimantan Selatan 70123
Telp. (0511) 3305255-3306114
Fax. (0511) 3305255
email: pmih_unlam@yahoo.co.id



DAFTAR ISI









Daftar Isi...................................................................................................
Dari Redaksi ...........................................................................................
STATUS  KETENAGAKERJAAN BAGI PEKERJA
OUTSOURCING YANG BEKERJA DIBIDANG
JASA SATUAN PENGAMANAN / SECURITY
H. Djumadi...............................................................................................

JAMINAN KONSTITUSIONAL TERHADAP KEBEBASAN
BERAGAMA DI INDONESIA
H. Mohammad Effendy.............................................................................

PAJAK DAN RETRIBUSI PENYELENGGARAAN PARKIR
BAGI KONTRIBUSI DAERAH
Indah Ramadhany...................................................................................

SPESIALISASI TINDAK PIDANA PERS TERHADAP
PERBUATAN YANG DIKATEGORIKAN “TRIAL BY PRESS”
Daddy Fahmanadie.................................................................................

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENCEGAHAN
DAN PENANGGULANGAN TRAFFICKING ANAK DAN
PEREMPUAN
Dadang Abdullah.....................................................................................

EKSISTENSI DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
DALAM KONFIGURASI POLITIK HUKUM INDONESIA
Rahmida Erliyani......................................................................................

Kisi Cakrawala.........................................................................................
Biodata Penulis........................................................................................
Iii
V




122



134



144



178




194




216

238
244











Jurnal Cakrawala Hukum diterbitkan setiap caturwulan oleh Program Magister Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat, sebagai sarana dalam menuangkan gagasan serta informasi aktual tentang hukum, redaksi, menerima naskah tentang hasil laporan penelitian dan analisis masalah hukum, sepanjang sejalan dengan misi Cakrawala Hukum. Naskah dikirim, minimal 25 halaman kwarto, diketik dengan spasi ganda, dlaam bentuk cd dan cetak, Redaksi berhak menyunting naskah, dengan tidak menghilangkan substansi.





KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENCEGAHAN DAN
PENANGGULANGAN TRAFFICKING ANAK DAN PEREMPUAN
Dadang Abdullah


ABSTRAK
Trafficking perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku Trafficking yang mengandung salah satu atau lebih tindakan, perekrutan, pengangkutan antara daerah dan Negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan, penampungan sementara. Dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, memanfaatkan posisi kerentanan, atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain untuk tujuan eksploitasi, yang secara minimal termasuk eksplitasi seksual lainnya, kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupai, adopsi illegal atau pengambilan organ-organ tubuh

Kata kunci: Trafficking, tindak pidana, penegakan hukum


PENDAHULUAN

Trafficking adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Trafficking juga merupakan salah satu bentuk perlakukan dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya masalah Trafficking di berbagai Negara, teiah menjadi perhatian bangsa Indonesia, masyarkat internasional dan anggota organisasi internasional, masyarakat internasional dan anggota organisasi internasional, terutama perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).[1]
Perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi koban tindak pidana Trafficking. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lainnya, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindakpidana Trafficking melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan atau memanfaatkan orangtersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi tertentu. Atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
Perdagangan orang telah menjadi bisnis yang kuat dan lintas negara karena walaupun ilegal, hasilnya sangat menggiurkan. Merupakan yang terbesar ke tiga setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan perdagangan senjata. Sehingga tidak mengherankan jika kejahatan internasional yang terorganisir kemudian dijadikan prostitusi internasional dan jaringan perdagangan orang sebagai fokus utama kegiatannya. Untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir dengan sumber daya manusia yang kuat seperti itu, diperlukan komitmen Pemerintah yang lebih kuat, bertindak dengan langkah-langkah yang terencana dan konsistenserta melibatkanjaringan yang luas baik antara daerah di dalam negeri maupun dengan Negara sahabat dan lembaga internasional.[2]
Di era globalisasi sekarang ini, modern salvery, marak kembali dalam wujudnya yang illegal dan terselubung berupa Trafficking. Suatu bentuk penguasaan seseorang atas diri orang lain yang dilakukan dengan cara membujuk, merayu, menipu bahkan mengancam kelompok yang rentan (dalam hal ini perempuan dan anak) untuk direkrut dan dibawa ke luar negeri untuk diperjualbelikan dan dipekerjakan di luar kemampuannya dalam berbagai bentuk pekerjaan yang bersifat eksploitatif.[3]
Perdagangan perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dan tindak kekerasan yang dialami perempuan dan anak. Dari kacamata Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan pelanggaran dan kejahatan terhadap manusia. Perdagangan perempuan juga dapat menghampat pembangunan sumber daya manusi mengingat dampak sosial dan psikologis yang dialami para korban mengalami mereka untuk berfungsi secara sosial. Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan seseorang dalam kekuasaan serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang lain kepadanya, walaupun orang itu berali menjadi perdangan pada jenis manusia yang lemah yaitu perempuan dan anak-anak. Perdangan perempuan dan anak merupakansalah satu bentuk perlakuan terburuk dari kekuasaan yang dialami oleh perempuan dan anak dan juga termasuk sebagai tindak kejahatan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).[4]
Eksploitasi perempuan dan anak oleh industri seks lokal maupun global adalah pelang-garan hak asasi manusia kerena jelas telah mereduksi tubuh mereka menjadi komoditi. Sementar itu, perdagangan perempuan dan anak-anak telah dianggap sebagai kenikmatan para pengguna jasa seks dan sebagai sumber penghasilan bagi mereka yang bergerak di dalam industri seks, prostitusi, perdagangan perempuan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan bisnis. Pada dasarnya, perdagangan anak dan perempuan ini merupakan bentuk kekerasan seksual dan menempatkan perempuan dan anak dalam suatu kondisi fisik dan mental yang sangat merusak dan terdradasi.
Tindak pidana perdagangan orang khusus perempuan dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik teorganisasi maupun tidak terorganisir. Tindak pidana perdagangan orang bahkan melibatkan korporasi dan penyelenggaraan Negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jarringan pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya wilayah dalam suatu Negara tetapi juga antar Negara.[5]
kebijakan criminal diartikan sebagai upaya rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.[6]Kebijakan kriminal tersebut harus dilihat dalam upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan merupakan bagian integral dari pembangunan bangsa sebagai kebijakan sosialnya (social defence planning), yang dilakukan melalui upaya penal dan non penal. Tujuan akhir dari kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak lepas dari tujuan penanggulangan kejahatan, dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, bahawa kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian "kebijakan penangulangan kejahatan dengan hukum pidana.[7] Kebijakan kriminal tersebut harus dilihat dalam upaya perlindungan masyarakat (social defence)dan merupakan bagian integral dari pembangunan bangsa sebagai kebijakan sosialnya (social defence planning), yang dilakukan melalui upaya penal dan non penal. Tujuan akhir dari kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat.
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakkan hukum pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakakan hukum (law enforcement policy). Di samping itu usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum pidana) pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare)[8]
Dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa 2 (dua) masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan mengunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan :
1.      Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2.      Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelanggar.[9] Terhadap dua masalah sentral tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan krinilan dengan kebijakan nasional. Ini berarti pemecahan masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial politik yang telah diterapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan dalam menagani dua masalah sentral di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach), sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum pidana pada umumnya.[10]
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penaggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non penal policy). Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suaut tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindak preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana.[11]
Masalah penanggulangan kejahatan atau tindak pidana pada dasarnya juga merupakan masalah penegakkan hukum . Sehubungan dengan masalah penegakan hukum, menurut Satjipto Rahardjo, ada dua fungsi yang dapat dimainkan oleh hukum yakni hukum sebagai social control, dan hukum sebagai social engineering selanjutnya SatjiptoRahardjo mengatakakan bahwa hukum sebagai kontrol sosial mengandung arti bahwa hukum bertugas untuk menjaga masyarakat tetap berada di dalam pola-pola tingkah laku yang telah diterima olehnya. Berkaitan dengan bekerjanya hukum, dalam sistem hukum mengandung pengertian yang spesifik yang penjelasannya dapat diuraikan sebagai berikut : Legal system is an operating set of legal institution procedures, and rules (sistem hukum) adalah merupakan suatu perangkan alat operasional yang meliputi instituisi, prosedur, dan aturan aturan).[12]
Menurut Friedman, sebagaiman dikutip oleh Ade Manan Suherman, sistem hukum meliputi : substansi, struktural, dan budaya hukum, berikut ini uraian masing-masing elemen :[13]
1.      Substansi hukum adalah aturan, norma dan pola tingkah laku manusia yang berada dalam sistem itu. Pengertian substansi tidak hanya terbatas dalam masyarakat;
2.      Struktural dalam hukum adalah yang merupakan institusionalisasi ke dalam kasasi, serta integrated criminal justice system.[14]
3.      Budaya hukum adalah sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dengan lembanganya, baik secara positif maupun negatif.
Soedikno Mertokusumo berpendapat bahwa dalam penegakan hukum ada 3 (tiga) unsur yang selalu diperhatikan, yaitu kepastian Hukum (Rechssicherheid), kemanfaatan (Zweck massinggkeit) dan keadilan meskipun hal itu sulit dalam prakteknya. Tanpa kepastian Hukum akan timbul keresahan, terlalu mengejar kepastian Hukum atau terlalu ketetaatan mentaati peraturan akan menimbulkan ketidakadilan.[15]
Trafficking diartikan sebagai suatu fenomena perpindahan orang atau sekelompok orang dari satu tempat ke tempat yang lain. Yang kemudian dibebani utang untuk biaya proses berimigrasi ini. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 297 menyebutkan, "Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur dipidana selama-lamanya enam tahun.
Pengertian Trafficking yang paling sering digunakan adala pengertian yang diberikan oleh Protokol Perdagangan Manusia. Perdagangan manusia adalah perekrutan, pengangkutan pemindahtanganan, penampungan atau penerimaan orang, dengan menggunakan cara-cara ancaman atau keuntungan lain guna mendapat persetujuan dari seseorang yang mempunyai kendali terhadap orang lain, untuk kepentingan eksploitasi. Eksploitasi mencakup, sedikitnya eksploitasi prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual artinya, kerja paksa, perbudakan atau praktik-praktik sejenisnya perhambatan atau pengambilan organ-organ tubuh.[16]
Trafficking merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM terhadap perempuan, karena di dalamnya ada unsur ancaman, penyiksaan, penyekapan kekerasana seksual, sebagai komoditi yang dapat diperjual belikan, yang semuanya merupakan pelanggaran terhadap HAM. Dalam situasi perempuan dan anak yang diperdagangkan, hak hak mereka terus dilanggar. Karena mereka kemudian ditawan, dilecehkan dan dipaksa untuk bekerja di luar negeri.
Perlindungan Hukum terhadap perempuan dan anak terdapat dalam Pasal 351 sampai dengan Pasal 355 KUHP, yang masuk dalam ketentuan pasal-pasal tersebut mengenai penganiayaan, bagi pelaku penganiayaan berat maupun ringan diancam dengan hukuman penjara, Pasal 356 KUHP memberikan sepertiga dari ancaman pada penganiayaan yang dilakukan terhadap orang di luar anggota keluarganya.
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.   Bagaimana kebijakan penegakan hukum pidana dalam pencegahan dan penanggulangan Trafficking anak dan perempuan.
2. Faktor-faktor apa saja yang menghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana Trafficking tersebut?



PEMBAHASAN

A.     Kebijakan Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Trafficking anak dan Perempuan.

Kebijakan penegak Hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana Trafficking anak dan perempuan oleh Polwil Banyumas dilakukan dengan menerapkan dua metode/cara yaitumetode preventif dan represif. Metode yang pertama dilakukan dengan metode preventif yaitu merupakan suatu usaha yang dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi.Fungsinya adalah untuk pencegahan, metode yang kedua yaitu metode represif yaitu upaya penindakan secara langsung terhadap kejahatan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh gambaran bahwa faktor-faktor yang menghambat penegakan Hukum yang dihadapi oleh Polwil Banyumas dalam menanggulangi tindak pidana Trafficking antara lain :
1.  Kurangnya kecepatan dari masyarakat untuk melaporkan kepada pihak kepolisian apabila apabila menjadi korban, melihat mendengarkan telah terjadinya tindak pidana Trafficking.
2. Minimnya informasi dari korban maupun dari masyarakat mengenai para pelaku tindak pidana Trafficking.
3.     Kurangnya keberanian dari masyarakat untuk memberikan informasi tentang keberadaan pelaku tindak Trafficking
4.    Kurangya kemampuan personli dalam melakukan proses penyelidikan, terutama dalam menggali inforamsi tentang hal-hal yang berhubungan kejadian tindak pidana Trafficking
5.   Personil yang sedang melaksanan operasi di lapangan masih kurang mendapat dukungan dari anggota kepolisian dari satuan lain, sertakurangdukungan dan prasarana.
6.      Pelaku tindak pidana Trafficking bersikap tertutup atau tidak bersedia memberikan informasi mengenai aparat pelaku lain yang belum tertangkap maupun jaringan kelompok pelaku lain, sedangkan dalam melaksanakan tugasnya petugas kepolisian harus senantiasa menghormati hak asasi manusia dari si pelaku serta menjunjung dalam melaksanakan tugasnya petugas kepolisian harus senantias menghormati hak asasi manusia dari si pelaku serta menjunjung asas praduga tak bersalah dari seorang tersangka, sehingga tidak boleh memaksa dengan kekerasan untuk mengorek keterangan.
7.  Para pelaku tindak pidana Trafficking biasanya melakukan kejahatannya dengan berkelompok dan merupakan suatu jaringan mereka sudah terorganisir. Sudah dibekali pengetahuan bagaiman menhadapi polisi, bahkan sepertinya sudah menyediakan advokat bagi anggotanya yang tertangkap, hal ini disinyali dari kecepatan mereka menghadirkan penasehat dalam waktu yang singkat.
8. Pelaku sudah mengorganisir kejahatan dengan cukup rapih,serta sudah memperhitungkan segala sesuatunya, hal ini menyebabkan dampak negatif infern dan ekstern. Dampaknegatif intern yang tinggi untuk melakukan kejahatan dan untuk mengulanginya lagi, mereka percaya akan jaminan yang disediakan oleh kelompoknya.[17]
Persepektif aparat penegak Hukum khususnya Polwil Banyumas meliputi faktor-faktor internal dan eskternal. Faktor internal yang penyidik Polri yang mendapatkan pelatihan dan pendidikan tentang Trafficking maupun upaya penanganannya sehingga dalam penanganan perkara dalam penerpan pasalnya masih berbeda-beda. Belum meratanya sosialisasi perundang-undangan yang terkait dengan penangangan Trafficking di kalangan aparat penegak Hukum, pada umumnya yang menjadi korban Trafficking adalah perempuan dan anak sehingga yang berperan dalam penanganan korban adalah Polwan yang bertugas di Ruang pelayanan Khusus. Saran dan prasarana guna mendukung perlindungan korban dan pengungkapan sindikat perdangana orang yang memerlukan biaya yang sangat besar dan beresiko, kendala di bidang penyidikan berasal dari korban perdagangan orang sendiri di mana korban tidak ingin kasusnya disidik, ingin cepat pulang ke kampung halaman serta tidak mengenal agen yang merekrut, korban juga dengan sengaja memalsukan identitas baik nama maupun usia agar mempermudah proses administrasi pembuatan paspor. Tanpa korban sendiri telah sengaja melakukan tindak pidana pemalusan dokumen (Pasal 263-287 KUHP). Kendala eksternal di bidang koordinasi antara instansi terkait, karena belum adanya sosialisai tentang keharusan memberantas Trafficking sehingga aparat penegak Hukum Polisi, Jaksa,Hakim dan Pengacara).


B.     Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Trafficking Anak dan Perempuan

Ada beberapa faktor yang berkaitan dnegan terjadinya Trafficking di Indonesia dengan melihat sisi sosial, ekonomi, dan budaya yang berkembang di Indonesia, diantaranya :
a.       Posisi Subordinat Perempuan Dalam Sosial dan Budaya.
Perdagangan manusia yang terjadi di dunia,untuk Indonesia sendiri, informasi yang disampaikan baik oleh media massa maupun penelitian- penelitian yang dilakukan di lembaga pendidikan dan LSM menunjukkan bahwa sebagian besar korban perdagangan manusia adalah juga perempuan dan anak-anak. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perilaku tidak adil terhadap perempuan dan anak merupakan ancaman terus menerus bagi perempuan di manapun di dunia utamanya di negara-negara berkembang.[18]
Dalam konstruksi sosial, telah diketahui bersama bahwasanya Indonesia adalah suatu masyarakat yang patriakhal, sebagaimana juga di negara-negara di dunia. Patriakhal sebagai suatu struktur komunitas di mana kaum lelaki yang memegang kekuasaan, dipersepsi sebagai struktur yang menderogasi perempuan, yang nyata baik dalam kebijakan pemerintah maupun dalam perilaku masyarakat"[19]
Sebagai contoh sederhana saja, perumusan tentang kedudukan isteri dalam Hukum perkawinan, kecenderungan untuk membayar upah buruh wanita di bawah upah buruh pria. Serta kecendrungan mengutamakan anak laki-laki daripada perempuan dalam posisi subordinat dibandingakan dengan laki-laki. Hal ini merupakan tindakan diskriminasi terhadap perempuan yang semestinya tidak terjadi di Indonesia sebagai salah satu Negara yang telah meratifikasi Konvesi tentang Penghapusan Diskriminasi terhdap Perempuan tahun 1979 dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984.
b.      Faktor Kemiskinan
Kemiskinan merupakan faktor utama terjadinya Trafficking di Indonesia, sejak adanya krisis ekonomi, tahun 1997, situasi perekonomian Indonesia belum memperlihatkan banyak kemajuan. Sulitnya lapangan pekerjaan telah menimbulkan banyak orang berusaha mengambil jalan pintas, orang tua memaksa anak-anaknya untuk bekerja. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para agen-agen (calo) merekrut anak-anak desa untuk bekerja di kota, keberadaan para agen tumbuh subur di desa-desa miskin untuk mempengaruhi orang agar mengizinkan anak untuk bekerja di desa sebagai pekerja rumah tangga, pelayan restoran,buruh pabrik dan buruh perkebunan, atau menikahkan anaknya dengan orang asing. Agen selalu menjanjikan biaya transportasi dan biaya kebutuhan lain ditanggung oleh agen. Yang pada proses selanjutnya uang yang dikeluarkan diperhitungkan sebagai hutang yang harus dibayar.[20]
c.       Rendahnya Pendidikan
Pendidikan rendah merupakan faktor yang turut menyebabkan kerentanan terhadap Trafficking. Rendahnya pendidikan dan keterampilan para gadis muda untuk mencari pekerjaan lain atau jalan lain agar dapat menghidupi dirinya dan keluarga, negara mempunyai kewajiban untuk menjamin persamaan hak bagi perempuan dalam hal pendidikan sebagai manna pasal 10 konvensi tentang penghapusan diskriminasi tehradap perempuan tahun 1979 dengan bebera cara : syarat dan akses yang sama untuk studi,akses kurikulum yang sama, penghapusan stereotif peran perempuan dalam bidang pendidikan.[21]

1.      Perlindungan Saksi dan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Pasal 43 :
Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam perkara tindak pidanaperdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomro 13 Tahun2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban, Kecuali ditentukan dalam Undang-Undang.
Pasal 44 :
Saksi dan korban berhak memperoleh kerahasiaan identitas.
Pasal 45 :
Pembentukan ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian guna melakukanpemeriksaan di tingkat penyidikan.
Pasal 46 :
Untuk melindungi saksi dan/atau korban perlu dibentuk pusat pelayanan terpadupada setiap kabupaten/kota.
Pasal 47 :
untuk melindungi saksi dan/atau korban perlu dibentuk pusat pelayanan terpadupada setiap kabupaten/kota dalam hal saksi dan atau organ mendapatkan ancaman,POLRI wajib memberikan perlindungan baik sebelum, selama maupun sesudahproses pemeriksaan perkara.
Pasal 48 :
Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak mendapatrestitusi, berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan/penghasilan, penderitaan,perawatan medis/psikologis, kerugian lain yang diderita korban akibat perdaganganorang.
Pasal 49 :
Pelaksanaan restitusi dilaporkan kepada ketua pengadilan dan diumumkan di papanpengumuman.
Pasal 50 ;
Apabila restitusi tidak dipenuhi sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan,korban dan /atau ahli warisnya memberihtahukan hal tersebut kepada pengadilandan apabila pelaku tidak mampu membayar ganti kerugian, maka pelaku dikenai pidana kurungan paling lama 1 tahun.
Pasal 51 :
dalam hal korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan Hukum akibat tindak pidana perdagangan orang, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban, dan mengusahakan untuk memulangkan Korban ke Indonesia atas biaya Negara.
Pasal 52 :
Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan segera. Maka menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diajukan.



2.      Kebijakan Perlindungan Korban dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

Sesuai dengan ketentuan pasal 43 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 bahwa perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang No. 21 tahun 2007. Jika demikian halnya, maka yang perlu ditelusuri apakah Undang-undang no. 13 Tahun 2006 telah cukup baik dalam upaya memberikan perlindungan korban.[22]
Upaya untuk memberikan perlindungan Hukum kepada korban dalam Undang -Undang No.13 tahun 2006 dapat dilihat dalam bagian konsideran huruf a dan b, sebagai berikut :
a.       Bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana;
b.      Bahwa penegak Hukum dalam menemukan dan mencari kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh palaku pidana sering mengalami kesulitan Karena dapat menghindarkan saksi dan/atau korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu;
Berdasarkan konsideran tersebut, yang merupakan semangat buatnya Undang-undang No.13 Tahun 2006 menunjukkan bahwa pembuat undang-undang berkehendak menempatkan korban agar dapat ambil bagian dalam sistem peradilan pidana yang selama ini telah termarginalkan,dan itu sejalan dengan yang telah dikemukakan dalam Guide for Policy Makers dalam rangka Implementasi Deklarasi PBB mengenai Basic Principles of Justice for victims of Crime and Abuse of Power. Bahwa in modern criminal justice system, korban kejahatan dan korban penyalahgunaan wewenang, maka apa yang menjadi haknya dapat dikatakan telah dilupakan orang.
Perlindungan Hukum terhadap korban tindak pidana Trafficking semakin menempatkan tempatnya dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ketentuan mengenai perlindungan korban diatur secara khusus dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 53, Pasal 43 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 mengatur "Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam tindak pidana Trafficking dilaksanakan berdasarkan undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban kecuali ditentukan Ilan dalam Undang-undang ini.
Dalam Hukum pidana dikenal dengan adanya cara yang memberikan perlindungan Hukum terhadap korban kejahatan, yaitu yang dikenal dengan model perlindungan Hukum malalui "procedural right model" (model hak-hak procedural) dan "service model"(model pelayanan). Pada model yang pertama, yaitu procedural righ model, korban kejahatan diletakan dalam proses penyelesaian kasus yang menyebabkan menjadi pihak yang dirugikan, baik pada tingkat penuntutan, dengan harapan agar jaksa lebih memperhatikan korban dengan seksama. Kemudian dalam pemeriksaan di depan persidangan, korban juga dilibatkan dengan menghadirkannya sebagai saksi korban yang akan memberikan keterangan dengan peristiwa yang menimpanya. Diharapkan dengan kesaksian korban akan diperoleh kebenaran materiil, sehingga Hukuman yang akan dijatuhkan hakim akan lebih tepat dan adil.[23]
Pada model kedua, yakni service model, titik berat perlindungan yaitu dengan ditentukan standart baku dalam pembinaan korban kejahatan. Dalam model ini korban sebagai pihak yang dilayani oleh aparat penegak Hukum. Sehingga diharapkan korban akan lebih mempercayai lembaga penegak Hukum dan kepentingan korban akan lebih diperhatikan.[24]
Pengaturan perlindungan korban kejahatan secara lebih tegas yaitu dalam KUHAP. Bentuk perlindungan yang diberikan benar-benar ditujukan kepada korban kejahatan, yaitu jaminan hak-hak korban dalam suatu lembaga parperadilan dan penggabungan perkara tuntutan ganti kerugian dalam proses acara pidana. Adanya pengaturan ini diharapkan agar hak-hak korban kejahatan akan lebih diperhatikan.


3.      Landasan Hukum Penanggulangan Tindak Pidana Trafficking
            a.       Instrumen Internasional
1)      Konvensi Perbudakan, Konvensi Liga Bangsa-Bangsa Tahun 1926.
Konvensi ini memuat definisi internasional pertama dari perbudakan dan merupakan kerangka kerja penting untuk pencegahan dan pemberantasan perbudakan.

Pasal 1 :
1)      Perbudakan didefinisikan sebagai status atau kondisi seseorang dimana atas dirinya digunakan atau keseluruhan kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan, termasuk akses seksual melalui pemerkosaan atau bentuk kekerasan seksual lainnya.
2)      Melarang semua aspek perdagangan budak, termasuk perbudakan menangkap, memiliki atau membuang seseorang dengan tujuan menjatuhkan kepada perbudakan.
Pasal 2 :
Pihak-pihak negara diwajibkan untuk mencegah dan memberantas perdagangan budak.
Pasal 3 :
Pihak yang mengadakan perjanjian (contracting parties) yang diwajibkan untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerja paksa atau agar tidak berkembang menjadi keadaan yang dpaat dinamakan dengan perbudakan.
2)      Protokol guna Mencegah, Memberantas, dan Menghukum perdagangan orang,khususnya Perempuan dan Anak-anak tahun 2000 (Tambahan Konvensi PBB terhadap Kejahatan Terorgansir antar Bangsa).
Protokol ini mencakup definisi pertama tentang perdagangan orang di dalam instrument PBB, menskipun hal tersebut dibicarakan pada awal abad lalu dengan perjanjian untuk memerangi apa yang disebut dengan lalu lintas/perdagangan budak putih (white slave traffic), dan kemudian diperbaharui pada tahun 1949.
Konvensi ini memuat sejulah ketentuan untuk memerangi kejahatan terorganisir, termasuk bantuan Hukum bersama di antara Negara-Negara, pelatihan dan bantuk teknis.
Pasal 3 :
Mendefinisikan Trafficking sebagai perekrutan, pengiriman pemindahan penampungan atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan, atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain untuk tujuan eksploitasi, yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupai, adopsi illegal atau pengambilan organ-organ tubuh.

4.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
            1.      Eksploitasi Seksual
Pasal 285 :
Diancam pidana perkosaan dengan paling lama 12 tahun penjara barang siapa dengan kekerasan
Pasal 297 :
Perdagangan wanita (usia tidak dikhususkan) dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur,diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun.
Pasal 298 :
Sebagai akibat kejahatannya, hak perwalian pelaku penjualan anak atas anak tersebut dapat dicabut, jika untuk melakukan pencarian tersebut.
Pasal 506 :
Diancam dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun, barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan sebagi pencarian.
            2.      Penculikan
Pasal 332 ayat (1) :
Diancam dengan pidana penjara, paling lama tujuh tahun, barang siapa membawa pergi seorang yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya. Dengan maksud untuk memastikan penguasannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan, paling lama 9 (sembilan) tahun, barangsiapa membawa pergi seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan



Pasal 329 :
Barang siapa dengan sengaja dan melawan Hukum mengangkut orang di daerah lain, padahal orang itu telam membuat perjanjian untuk, bekerja di suatu tempat tertentu, diacam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
            3.      Perempuan Kekerasan
Pasal 331 :
Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun, barang siap dengan sengaja menyembunyikan orang yang belum cukup umur yang ditarik atau menarik sendiri dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasaan orang yang berwenang untuk itu, atau dengan sengaja menariknya dari penyidikan pejabat kehakiman atau kepolisian jika naka itu umumnya 12 tahun (dua belas), tahun diancam dengan lama 7 (tujuh) tahun penjara.

Secara yuridis, Indonesia telah mempunyai seperangkat perundang-undangn untuk menjamin hak-hak anak untuk mengurangi dampak bekerja dari anak seperti UUD 1945, ratifikasi Konvensi ILO No. 138 menjadi Undang-Undang No. 20 tahun 1999 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. Ratifikasi Konvensi ILO 182 menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang pelanggaran dan Tindakan Penghapusan bentuk-bentuk Pekerjaan. Terburuk untuk anak, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak, Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Walaupun ada seperangkat peraturan perundang-undangan yang melindungi pekerja anak, tetapi kecendrungan kualitas permasalahan pekerjaan anak dari tahun ke tahun bertambah komplek menuju bentuk-bentuk pekerjaan terburuk eksploitasi dan membahayakan pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, moral dan intelektual anak. Jadi pekerjaa terburuk semakin marak ditemukan, seperti anak yang dilacurkan, diperdagangkan. Bekerja di pertambangan, anak jeram dan lain-lain.
Dari segi hak anak, yagn sangat memprihatinkan adalah anak yang bekerja umumnya berada dalam posisi rentan untuk diperlakukan salah, termasuk dari tenaga anak. Berbagai studi dan pengamatan menunjukkan bahwa pekerja anaka umumnya sangat rentan tehradap eksploitasi ekonomi, di sektor industri formal, mereka umumnya berada dalam kondisi jam kerja yang panjang, berupah rendah, menghadapi resiko kecelakaan kerja dan gangguankesehatan atau menjadi sasaran pelecehan dan kesewenangan-wenangan dari orang dewasa.[25]
Data lainnya menunjukkan bahwa eksploitasi anak tidak hanya di sektor industri dan pekerjaan, sejak lahir hak dan kesejahteraan anak sudah dieksploitasi untuk dieksploitasi. Untuk memperoleh hak paling awal, yakni hak untuk diakui identitasnya melalui akta kelahiran, ternyata tidak semua anak mendapatkannya. Hal ini terjadi karena selain biayanya terlalu mahal, birokrasi pengurusannya juga berbelit-belit. Menurut data Komnas Perlindungan anak, hampir 75% anak-anak di seluruh Indonesia belum memiliki akta kelahiran, berda¬sarkan catatan UNICEF Indonesia, menempati urutan 109 dari 119 negara di dunia dalam hal pengembangan SDM, cukup ironis jika dibandingkan dengan Vietnam dan Srilangka, ternyata Indonesia cukup tertinggal.[26]
Untuk penegakan Hukum perlu mengkaji konsep yang menjelaskan komponen penting dari sebuah sistem Hukum yaitu : substansi, struktur dan kultur yang berjalannya harus sinergis dan sistemik untuk mewujudkan penanggulangan Trafficking perempuan dan anak. Dalam perspektif substansi; aturan yang mengatur tentang pencegahan dan pemberantasan Trafficking masih sangat Konvensional dan belum dianggap sebagai tindak pidana khusus, sebagian besar masih berdasarkah KUHP yang secara substansi belum dapat mengakomodir terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan Trafficking secara maksimal Pasal 295 KUHP yang memudahkan perbuana cabul, Pasal 297 KUHP melarang perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur, Pasal 301 KUHP melarang perdagangan anak yang belum cukup umur untuk melakukan pengemisan atau pekerjaan yang berbahaya.[27]
Meskipun telah dikeluarkan KEPPRES No. 88 tahun 2003 tentang Rencana Penghapusan Perempuan dan Anak realitasnya belum ada Perubahan yang signifikan, tampaknya pemerintah cukup berpuas diri dengan Keputusan Presiden tersebut tanpa merasa perlu menerbitkan dan mengimplementasikan kebijkanan peraturan undang-undang yang diperlukan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Trafficking perempuan dan anak. Dalam agenda pemerintah, persoalan Trafficking tidak menjadi concern utama, dalam beberapa pertemuan regional yang terkait (APEC dan ASEAN), pemerintah Indonesia belum mengupayakan mendeksa agenda Trafficking dalam forum regional. Realitas ini masih diperparah lagi dengan belum meratanya pemahaman dan upaya pencegahan secara sistemik daripara aparatur penegak Hukum dan pemerintah daerah di kantong Trafficking masih ada yang melakukan, pemiaran, dan membecking.[28]
Aspek lain yang penting adalah kultur Hukum yang kondusif untuk bekerjanya substansi dan struktur Hukum, kultur Hukum di sini berkaitan dengan sikap sosial nilai-nilai social yang telah terpatri yang dipergunakan sebagai acuan normatif dalam perilaku. Permasalah yang krusial di sini, kalau kultur tidak bersinergi dengan substansi dan struktur yang harus dicegahkan, misal : (1) kultur aparatur pengak Hukum yang terkooptasi dengan konstruksi sosial yang mempersiapkan Traffickingsebagai kejahatan biasa, sehingga memposisikan penanganannya dilakukan secara konvensional, (2) kultur patriatkhi yang mengakibatkan bahwa laki-laki yang paling berhak dan berkuasa mengatur perempuan dan anak, akibatnya dalam relasi antara perempuan dan laki-laki mengalami perlakuan yang diskriminatif. Dalam kasus Trafficking perempuan (korban) dianggap sebagai suatu kewajaran (komoditi), karena menurut nilai sosial, suami/laki-laki adalah kepala rumah tangga dan orang yang paling berkuasa. Kultur yang demikian, jelas bertentangan dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang diratifikasi dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. (3), kultur yang berhubungan dengan sikap social, misalnya main hakim sendiri, ini mencerminkan sikap deviasi perilaku yang sangat membahayakan bai proses penegakan Hukum. Dalam Negara Hukum hanya aparat penegAkiukum yang berhak menindak pelaku kejahatan melalui prosedur dan Hukum acara yang berlaku.[29]
Untuk penegakan Hukum terhadap Trafficking yang mendesak dilakukan adalah :
a.       Mereview dan membuat aturan Hukum (pembenahan aspek substansial ) yang lebih a komodatif;
b.      Meningkatkan profesionalisme, perlunya jalinan yang padu dan sistemik antar aparat penegak Hukum, Pemerintah Daerah dan seluruh steakholder yang concern dan terkait dalam upaya penanggulangan maraknya Trafficking, jika perlu dibentuk suatu badan atau komisi yang secara khusus menangani Trafficking (Pembenahan aspek struktural);
c.       Peningkatan pemahaman tentang kejahatan Trafficking, sekaligus untuk mengikis kosntruksi sosial yang mempersiapkan Trafficking sebagai kejahatan biasa /konvensional dan maraknya kultur patriarkhi yang mengakibatkan semakin sulitnya pencegahan dan pemberantasan Trafficking.



[1]Anita Handayani Nursamsi, 2007, Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kajian Viktimologi terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Wilayah Hukum Polwil Banyumas, Tesis Pada Program Magister Hukum Unsoed, Purwokerto. Hlm.1
[2]Kementerian Koordinator Bidang Kesejateraan Rakyat, 2005, Penghapusan Perdagangan Orang (Trafficking in Person ) di Indonesia,Jakarta:Tanpa Penerbit, hlm.8
[3]  Shinta Agustina, 2006, Perdagangan Kejahatan Transnasional Permasalahannya dan Pengangulangan di Indonesia. Dalam Jurnal Hukum Porjustita Volume 24. No.1, hlm 48
[4]  Wahyu Susilo, 2004, The Realitity of Trafficking ini women and children in Indonesia : A Case Study of Advocacy for Indonesia Migrant wokers, Southeast Asia Confemce on Trafficking of children for seksual Purpose, 28 february-march, Medan hlm.1
[5]  Ibid. hlm.2
[6]  Sudarto, 1983, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung:Alumni, hlm.73
[7]   Barda Nawawi Arief,1996. Bunga Rampai Kebijakan hukum pidana , Citra Aditya Bakti Bandung. hlm.29
[8]   Ibid, hlm.30
[9]   Ibid, hlm.2
[10]  Ibid, hlm.32-33
[11]  Teguh Prasetyo, 2005, Politik Pidana kajian Kebijakan Kriminialisasi dan Deskriminalisasi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm.2
[12]  Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, Hlm. 11
[13]  Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbadingan Sistem Hukum, Jakarta :Raja Grafindo Persada, hlm. 11
[14]  Ibid, hl, 13
[15]  R Abdulsalam, 1998, Refleksi Keterpaduan Penyidikan Penuntutan dan Peradilan dalam Penanganan Perkara, Jakarta :Dinas Hukum Polri, Jasgunas Wiratama, hlm. 9
[16]  Riza Nizarli, 2006, Penegakan Hukum DalamRrangka Perlindungan HAM Perempuan dan anak Yang Menjadi Korban Trafficking,Medan:Tanpa Penerbit, hlm. 3-4
[17]  Wawancara dengan AKP Waroko Kaur MinsubagReskrim Polwil Banyumas, Di Purwokerto Tanggal 18 Juli 2009
[18]  Ibid
[19]  Ibid
[20]  Lindra Darnela, Op.cit. hlm, 15
[21]  Ibid, hlm, 19
[22]  M Artief Amrullah, Politik Pidana Perlindungan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Http:/www. Legalitas.org, Diakses 15 Agustus 2009
[23]  Ibid
[24]  Ibid
[25]  Bagong Suyanto, 2001, Pekerja Anak di Sekitar Berbahaya, Surabaya:Tanpa Penerbit. hlm 9-10
[26]  Mokh. Najih, Perlindungan Hak Asuh Anak Dalam Hukum, Jurnal Legality, Vol. 11 No.2. 200, hlm 284
[27]  Riza Nizarli, Op.cit, hlm 13
[28]  Ibid, hlm. 15
[29]  Ibid, hlm. 15



PENUTUP 

A.     Kesimpulan
Dalam penanggulangan Tindak Pidana Trafficking anak dan perempuan dilakukan dengan menerapkan dua metode atau cara yaitu metode preventif dan refresif. Metode yang pertama dilakukan dengan preventif yaitu merupakan suatu usaha yang dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi, fungsinya untuk pencegahan. Metode yang kedua yaitu metode represif yaitu upaya penindakan secara Iangsung terhadap kejahatan.
Faktor yang menghambat dalam penanggulangan tindak Adana perdagangan orang adalah, faktor penegak Hukum , faktor sarana dan fasilitas, dan faktor masyarakat.





DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Pidana.Pt Citra Aditya Bakti, Bandung.
              . 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,PT. Citra Aditya Bakti.
Agustina, Shinta. 2006. Perdagangan Perempuan dan anak Sebagai Kejahatan Dan Penanggulangan di Indonesia, Jurnal Hukum Projustitia.
Atmasasmita, Romli. 1998. Kedudukan dan Peran Kepolisian Sebagai Suatu Studi Perbandingan.
Cristanty Linda, 1994, Nyai dun Masayarakat Koloniul Hindla Relandu, Dalam Prisms 10.
Dawan, Raharjo Sumami. 2006, Masalah Perdagangan Manusia di Indonesia upaya dan hnmhatannyu, Makalah.
Darnels Lindra. 2007, Traffickingin Women sebagai Akibal, Tidak Terpenuhinya Hak-hak Dasar: sesuatu Tujuan Hukum. Jumal YIN YANG, STAIN Purwokerto. Volume 2 Nomor 2
Gallagher.Ane.Hukum Rights Qurlele 23 ROOU 975-1004 C 1001 by the Johns Hopkins, Universiti Press.
Gunarto. Marchus Priyo. Perlindungan Hukum Korban kejahatan Tinjaun dari segi Penegakan hukum dan kepentingan. Mimbar Hukum,Jakarta.
Hatta, Moh. 2008. Menyongsong Penegakan Hukum sistem Peradilan pidana dalam konsepsi dan implementasi). Kapita selekta, Jakarta.
Kementerinn koordinator Bidang, Kesejahteraan Rakyat. 2004, Penghapusan perdagangan orang (Trafficking in Person) Di Indonesia
Kelana Memo, 1994, Hukum Kepolisian, Grapindo, Jakarta.
Lapian, L.M.Gand hi. 20U6..Aspek Hukum penghapusun Trafficking (Perdagangan Manusia Khususnya Wanita dan anak). Dalam Trafficking perempuan dan Konpren. Yayasan Obor Indonesia.
Mukti Arto, A.2008. Majalah Varia Peradilan Tahun ke XXIII No 267. Februari, 2008
Muladi. 1995. Kapita Selekta sistem Peradilnn Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponogoro.
              ,1987. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. PB. Undip Semarang.
Nosa. Anita Handayani. 2007. (Tesis) Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (kajian Karbnn Tindak Pidana Perdagangan Orang di Wilayah HukumPolwil Banyumas. Program Magister Hukum Unsoed, Purwokerto.
Nizarli, Riza. 2006. Penegakan Hukum Dalam Rangka Perlindungan HAM Perempuam Dan Anak Yang Menjadi KorbanTrafficking. Melon.
Najih, Mokh. 2003. Perlindungan Hak Asuh Anak Dalam Hukum. Jurnal Legality, Vol. II.No2.
Prayitno, Kuat Puji. 2008. Sistem Peradilan Pidana Materi Kuliah Program Pascasarjana Unsoed. Purwokerto.
Poernomo, Bambang. 1987. Seminar Hukum Sumbangan Pendidikan Hukum Dalam peningkatan Pelaksanaan Penegakan Hukum Universitas Gajah Mada, Yogakarta
Prakoso joke, 1987. POLRI Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Bina Aksara, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto. 1998. Sistem Peradilan Pidana Dalam Kontrol Sosial. Citra Aditya Bakti, Bandung.
              ,1980. Hukum dan Masyarakat. Angkasa. Bandung.
              ,2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Gema Publishing, Yogyakarta.
Sudarta. 2006. Kapita Seleka Hukum Pidana. Alumni Bandung
Suherman, Ade Maman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Raja Grapindo Pcrsada, Jakarta.
Soesilo, R. 1996. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, serta Komentarnya. Politea, Bogor.
Suyanto, Bagong. 2001. Pekerja Anak di Sektor Berbahaya. Surabaya.
Soerjono, Soekanto. Fakror-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT. Raja Grapindo Persada, Jakarta.
Sunaryo, Sidik. 2004. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Universitas Muhammadiyah Malang.
Susilo,Wahyu. 2004. The Reality of Trafficking in Women and children in Indonesia : A case study of advocacy ,for Indonesia Migrant workers, snatheas Asia Conference on trafficking jrcking of chldrenfin- seksuul purpose. 11 February march, Medan.
Seomitro, Rony Anitijo, 1983, Metode Penelitian Hukum Ghalia Indonesia,Jakarta.
Wagner, Lola. 2004. Trafficking perempuan dan anak eksploitasi Komersil di Batam. Jurnal Perempuan No 24.
Widada. 2008 (Tesis) Kebijakan dalam Penganggu/angan Tindak Pidana Pencurian Kekerasan Oleh Kepolisian Resort Banyumas.. Program Magister Hukum, Unsoed Purwokerto.
Peraturan Perundang-undangan.
Indonesia.Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21. Tahun 2007 Tentang Pemberan-tasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
IndonesiaUndang-undang Republik Indonesia Nomor.23 Tahun2002 Tentang Perlindungan Anak.
Telegram Kapolda Jateng. No. Pol "CR./807/X11. "Tanggal 04 Desember.




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar