JURNAL
CAKRAWALA HUKUM
Gagasan dan Informasi Aktual
Tentang Hukum
STATUS
KETENAGAKERJAAN BAGI PEKERJA OUTSOURCING YANG BEKERJA DIBIDANG JASA
SATUAN PENGAMANAN / SECURITY
H.
Djumadi
JAMINAN KONSTITUSIONAL TERHADAP KEBEBASAN
BERAGAMA DI INDONESIA
H.
Mohammad Effendy
PAJAK DAN RETRIBUSI PENYELENGGARAAN PARKIR
BAGI KONTRIBUSI DAERAH
Indah
Ramadhany
SPESIALISASI TINDAK PIDANA PERS TERHADAP
PERBUATAN YANG DIKATEGORIKAN “TRIAL BY PRESS”
Daddy
Fahmanadie
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENCEGAHAN
DAN PENANGGULANGAN TRAFFICKING ANAK DAN PEREMPUAN
Dadang
Abdullah
EKSISTENSI DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH DALAM KONFIGURASI POLITIK HUKUM
INDONESIA
Rahmida
Erliyani
JCH
|
Volume 1
|
Nomor 2
|
Halaman
122-242
|
Banjarmasin
Mei 2012
|
ISSN
2089-7189
|
Jurnal
CAKRAWALA
HUKUM
Gagasan
dan Informasi Aktual Tentang Hukum
Pelindung
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lambung Mangkurat
&
Ketua Program Magister Ilmu
Hukum
Universitas Lambung Mangkurat
Ketua Penyunting
Prof. Dr.H.M. Hadin Muhjad,
S.H., M.Hum
Dr. Abdurrahman, S.H., M.H
Dr. Effendy, S.H., M.H
Dr. Karlie Hanafi Kalianda,
S.H., M.H
Dr. H. Masdari Tasmin, S.H.,
M.H
Penyunting Pelaksana
H. Rachmadi Usman, S.H., M.H
Zakiyah, S.H., M.H
Syahrida, S.H., M.H
Rolly Muliazi, S.Ag., M.H
Administrasi
Zainal Arifin, S.Sos
Muhammad Eldy, A.Md
Khijratin Ni’mah, S.E
Elly Rachmawati, A.Md
Redaksi
Program Studi Magister Ilmu
Hukum
Universitas Lambung Mangkurat
Jl. Brigjen H. Hasan Basri
Kayu Tangi Banjarmasin
Kalimantan Selatan 70123
Telp. (0511) 3305255-3306114
Fax. (0511) 3305255
email: pmih_unlam@yahoo.co.id
|
DAFTAR ISI
|
|||
Daftar Isi...................................................................................................
Dari Redaksi ...........................................................................................
STATUS KETENAGAKERJAAN BAGI
PEKERJA
OUTSOURCING YANG BEKERJA DIBIDANG
JASA SATUAN PENGAMANAN / SECURITY
H. Djumadi...............................................................................................
JAMINAN KONSTITUSIONAL TERHADAP KEBEBASAN
BERAGAMA DI INDONESIA
H. Mohammad Effendy.............................................................................
PAJAK DAN RETRIBUSI PENYELENGGARAAN PARKIR
BAGI KONTRIBUSI DAERAH
Indah Ramadhany...................................................................................
SPESIALISASI TINDAK PIDANA PERS TERHADAP
PERBUATAN YANG DIKATEGORIKAN “TRIAL BY PRESS”
Daddy Fahmanadie.................................................................................
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENCEGAHAN
DAN PENANGGULANGAN TRAFFICKING ANAK DAN
PEREMPUAN
Dadang Abdullah.....................................................................................
EKSISTENSI DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
DALAM KONFIGURASI POLITIK HUKUM INDONESIA
Rahmida Erliyani......................................................................................
Kisi Cakrawala.........................................................................................
Biodata Penulis........................................................................................
|
Iii
V
122
134
144
178
194
216
238
244
|
|||
Jurnal Cakrawala Hukum
diterbitkan setiap caturwulan oleh Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Lambung Mangkurat, sebagai sarana dalam menuangkan gagasan serta informasi
aktual tentang hukum, redaksi, menerima naskah tentang hasil laporan penelitian
dan analisis masalah hukum, sepanjang sejalan dengan misi Cakrawala Hukum.
Naskah dikirim, minimal 25 halaman kwarto, diketik dengan spasi ganda, dlaam
bentuk cd dan cetak, Redaksi berhak menyunting naskah,
dengan tidak menghilangkan substansi.
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENCEGAHAN DAN
PENANGGULANGAN TRAFFICKING ANAK DAN PEREMPUAN
Dadang Abdullah
ABSTRAK
Trafficking
perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku Trafficking yang mengandung salah satu atau lebih tindakan, perekrutan,
pengangkutan antara daerah dan Negara, pemindahtanganan, pemberangkatan,
penerimaan, penampungan sementara. Dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan
verbal dan fisik, penculikan, penipuan, memanfaatkan posisi kerentanan, atau
memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat
persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain untuk tujuan
eksploitasi, yang secara minimal termasuk eksplitasi seksual lainnya, kerja
paksa atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupai, adopsi illegal atau pengambilan organ-organ tubuh
Kata kunci: Trafficking, tindak pidana, penegakan hukum
|
PENDAHULUAN
Trafficking
adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Trafficking
juga merupakan salah satu bentuk perlakukan dari pelanggaran harkat dan
martabat manusia. Bertambah maraknya masalah Trafficking
di berbagai Negara, teiah menjadi perhatian bangsa Indonesia, masyarkat internasional dan anggota
organisasi internasional, masyarakat internasional dan anggota organisasi
internasional, terutama perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).[1]
Perempuan dan anak
adalah kelompok yang paling banyak menjadi koban tindak pidana Trafficking. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk
eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lainnya,
misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa
perbudakan itu. Pelaku tindakpidana Trafficking melakukan perekrutan,
pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang untuk tujuan
menjebak, menjerumuskan atau memanfaatkan orangtersebut dalam praktik
eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi tertentu. Atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
Perdagangan orang
telah menjadi bisnis yang kuat dan lintas negara karena walaupun ilegal,
hasilnya sangat menggiurkan. Merupakan yang terbesar ke tiga setelah
perdagangan obat-obatan terlarang dan perdagangan senjata. Sehingga tidak
mengherankan jika kejahatan internasional yang terorganisir kemudian dijadikan
prostitusi internasional dan jaringan perdagangan orang sebagai fokus utama
kegiatannya. Untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir dengan sumber
daya manusia yang kuat seperti itu, diperlukan komitmen Pemerintah yang lebih
kuat, bertindak dengan langkah-langkah yang terencana dan konsistenserta
melibatkanjaringan yang luas baik antara daerah di dalam negeri maupun dengan
Negara sahabat dan lembaga internasional.[2]
Di era globalisasi
sekarang ini, modern salvery, marak
kembali dalam wujudnya yang illegal dan terselubung berupa Trafficking. Suatu bentuk penguasaan seseorang atas diri orang lain yang dilakukan
dengan cara membujuk, merayu, menipu bahkan mengancam kelompok yang rentan
(dalam hal ini perempuan dan anak) untuk direkrut dan dibawa ke luar negeri
untuk diperjualbelikan dan dipekerjakan di luar kemampuannya dalam berbagai
bentuk pekerjaan yang bersifat eksploitatif.[3]
Perdagangan
perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dan tindak
kekerasan yang dialami perempuan dan anak. Dari kacamata Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan
pelanggaran dan kejahatan terhadap manusia. Perdagangan perempuan juga dapat
menghampat pembangunan sumber daya manusi mengingat dampak sosial dan
psikologis yang dialami para korban mengalami mereka untuk berfungsi secara sosial. Perbudakan adalah
kondisi seseorang di bawah kepemilikan seseorang dalam kekuasaan serupa
perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain
sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang diperintahkan
oleh orang lain kepadanya, walaupun orang itu berali menjadi perdangan pada
jenis manusia yang lemah yaitu perempuan dan anak-anak. Perdangan perempuan dan
anak merupakansalah satu bentuk perlakuan terburuk dari kekuasaan yang dialami
oleh perempuan dan anak dan juga termasuk sebagai tindak kejahatan dan pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM).[4]
Eksploitasi
perempuan dan anak oleh industri seks lokal maupun global adalah pelang-garan
hak asasi manusia kerena jelas telah mereduksi tubuh mereka menjadi komoditi.
Sementar itu, perdagangan perempuan dan anak-anak telah dianggap sebagai
kenikmatan para pengguna jasa seks dan sebagai sumber penghasilan bagi mereka
yang bergerak di dalam industri seks, prostitusi, perdagangan perempuan dan
praktek-praktek yang berhubungan dengan bisnis. Pada dasarnya, perdagangan anak
dan perempuan ini merupakan bentuk kekerasan seksual dan menempatkan perempuan
dan anak dalam suatu kondisi fisik dan mental yang sangat merusak dan
terdradasi.
Tindak pidana
perdagangan orang khusus perempuan dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan
kejahatan baik teorganisasi maupun tidak terorganisir. Tindak pidana
perdagangan orang bahkan melibatkan korporasi dan penyelenggaraan Negara yang
menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jarringan pelaku tindak pidana
perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya wilayah dalam suatu
Negara tetapi juga antar Negara.[5]
kebijakan criminal
diartikan sebagai upaya rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.[6]Kebijakan
kriminal tersebut harus dilihat dalam upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan merupakan bagian
integral dari pembangunan bangsa sebagai kebijakan sosialnya (social defence planning), yang dilakukan
melalui upaya penal dan non penal. Tujuan akhir dari kebijakan kriminal adalah
perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat.
Usaha dan
kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak
lepas dari tujuan penanggulangan kejahatan, dikemukakan oleh Barda Nawawi
Arief, bahawa kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari
politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal,
maka politik hukum pidana identik dengan pengertian "kebijakan
penangulangan kejahatan dengan hukum pidana.[7]
Kebijakan kriminal tersebut harus dilihat dalam upaya perlindungan masyarakat (social defence)dan merupakan bagian
integral dari pembangunan bangsa sebagai kebijakan sosialnya (social defence planning), yang dilakukan
melalui upaya penal dan non penal. Tujuan akhir dari kebijakan kriminal adalah
perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat.
Usaha
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan
bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakkan hukum pidana). Oleh karena
itu sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan
bagian dari kebijakan penegakakan hukum (law
enforcement policy). Di samping itu usaha penanggulangan kejahatan lewat
pembuatan undang-undang (hukum pidana) pada hakikatnya juga merupakan bagian
integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare)[8]
Dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa 2 (dua)
masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan mengunakan sarana penal (hukum
pidana) ialah masalah penentuan :
1.
Perbuatan apa yang seharusnya
dijadikan tindak pidana, dan
2.
Sanksi apa yang sebaiknya
digunakan atau dikenakan kepada pelanggar.[9]
Terhadap dua masalah sentral tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral
antara kebijakan krinilan dengan kebijakan nasional. Ini berarti pemecahan
masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari
kebijakan sosial politik yang telah diterapkan. Dengan demikian kebijakan hukum
pidana, termasuk pula kebijakan dalam menagani dua masalah sentral di atas,
harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy
oriented approach), sudah barang tentu pendekatan kebijakan yang integral ini
tidak hanya dalam bidang hukum pidana, tetapi juga pada pembangunan hukum
pidana pada umumnya.[10]
Kebijakan
penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu
kebijakan penanggulangan tindak pidana menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan
penaggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non penal policy). Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada
tindakan represif setelah terjadinya suaut tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada
tindak preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana.[11]
Masalah
penanggulangan kejahatan atau tindak pidana pada dasarnya juga merupakan
masalah penegakkan hukum . Sehubungan dengan masalah penegakan hukum, menurut Satjipto Rahardjo, ada dua fungsi yang
dapat dimainkan oleh hukum yakni hukum sebagai social control, dan hukum sebagai social engineering selanjutnya SatjiptoRahardjo
mengatakakan bahwa hukum sebagai kontrol sosial mengandung arti bahwa hukum
bertugas untuk menjaga masyarakat tetap berada di dalam pola-pola tingkah laku
yang telah diterima olehnya. Berkaitan dengan bekerjanya hukum, dalam sistem
hukum mengandung pengertian yang spesifik yang penjelasannya dapat diuraikan
sebagai berikut : Legal system is an
operating set of legal institution procedures, and rules (sistem hukum)
adalah merupakan suatu perangkan alat operasional yang meliputi instituisi,
prosedur, dan aturan aturan).[12]
Menurut Friedman,
sebagaiman dikutip oleh Ade Manan Suherman, sistem hukum meliputi : substansi,
struktural, dan budaya hukum, berikut ini uraian masing-masing elemen :[13]
1.
Substansi hukum adalah aturan,
norma dan pola tingkah laku manusia yang berada dalam sistem itu. Pengertian
substansi tidak hanya terbatas dalam masyarakat;
2.
Struktural dalam hukum adalah yang
merupakan institusionalisasi ke dalam kasasi, serta integrated criminal justice system.[14]
3.
Budaya hukum adalah sikap-sikap
dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dengan lembanganya, baik secara
positif maupun negatif.
Soedikno Mertokusumo berpendapat
bahwa dalam penegakan hukum ada 3 (tiga) unsur yang selalu diperhatikan, yaitu
kepastian Hukum (Rechssicherheid),
kemanfaatan (Zweck massinggkeit) dan
keadilan meskipun hal itu sulit dalam prakteknya. Tanpa kepastian Hukum akan
timbul keresahan, terlalu mengejar kepastian Hukum atau terlalu ketetaatan
mentaati peraturan akan menimbulkan ketidakadilan.[15]
Trafficking
diartikan sebagai suatu fenomena perpindahan orang atau sekelompok orang dari
satu tempat ke tempat yang lain. Yang kemudian dibebani utang untuk biaya
proses berimigrasi ini. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal
297 menyebutkan, "Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup
umur dipidana selama-lamanya enam tahun.
Pengertian Trafficking yang paling sering digunakan adala pengertian yang diberikan oleh
Protokol Perdagangan Manusia. Perdagangan manusia adalah perekrutan,
pengangkutan pemindahtanganan, penampungan atau penerimaan orang, dengan
menggunakan cara-cara ancaman atau keuntungan lain guna mendapat persetujuan
dari seseorang yang mempunyai kendali terhadap orang lain, untuk kepentingan
eksploitasi. Eksploitasi mencakup, sedikitnya eksploitasi prostitusi atau
bentuk-bentuk eksploitasi seksual artinya, kerja paksa, perbudakan atau praktik-praktik
sejenisnya perhambatan atau pengambilan organ-organ tubuh.[16]
Trafficking
merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM terhadap perempuan, karena di
dalamnya ada unsur ancaman, penyiksaan, penyekapan kekerasana seksual, sebagai
komoditi yang dapat diperjual belikan, yang semuanya merupakan pelanggaran
terhadap HAM. Dalam situasi perempuan dan anak yang diperdagangkan, hak hak
mereka terus dilanggar. Karena mereka kemudian ditawan, dilecehkan dan dipaksa
untuk bekerja di luar negeri.
Perlindungan Hukum
terhadap perempuan dan anak terdapat dalam Pasal 351 sampai dengan Pasal 355
KUHP, yang masuk dalam ketentuan pasal-pasal tersebut mengenai penganiayaan,
bagi pelaku penganiayaan berat maupun ringan diancam dengan hukuman penjara,
Pasal 356 KUHP memberikan sepertiga dari ancaman pada penganiayaan yang
dilakukan terhadap orang di luar anggota keluarganya.
Berdasarkan latar
belakang masalah sebagaimana telah diuraikan di atas maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kebijakan penegakan hukum
pidana dalam pencegahan dan penanggulangan Trafficking
anak dan perempuan.
2. Faktor-faktor apa saja yang
menghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana Trafficking
tersebut?
PEMBAHASAN
A. Kebijakan Penegakan Hukum
Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Trafficking anak dan Perempuan.
Kebijakan penegak
Hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana Trafficking
anak dan perempuan oleh Polwil Banyumas dilakukan dengan menerapkan dua
metode/cara yaitumetode preventif dan represif. Metode yang pertama dilakukan
dengan metode preventif yaitu merupakan suatu usaha yang dilakukan sebelum
kejahatan itu terjadi.Fungsinya adalah untuk pencegahan, metode yang kedua
yaitu metode represif yaitu upaya penindakan secara langsung terhadap
kejahatan.
Berdasarkan hasil penelitian
tersebut diperoleh gambaran bahwa faktor-faktor yang menghambat penegakan Hukum
yang dihadapi oleh Polwil Banyumas dalam menanggulangi tindak pidana Trafficking antara lain :
1. Kurangnya kecepatan dari
masyarakat untuk melaporkan kepada pihak kepolisian apabila apabila menjadi
korban, melihat mendengarkan telah terjadinya tindak pidana Trafficking.
2. Minimnya informasi dari korban
maupun dari masyarakat mengenai para pelaku tindak pidana Trafficking.
3.
Kurangnya keberanian dari
masyarakat untuk memberikan informasi tentang keberadaan pelaku tindak Trafficking
4.
Kurangya kemampuan personli dalam
melakukan proses penyelidikan, terutama dalam menggali inforamsi tentang hal-hal
yang berhubungan kejadian tindak pidana Trafficking
5. Personil yang sedang melaksanan
operasi di lapangan masih kurang mendapat dukungan dari anggota kepolisian dari
satuan lain, sertakurangdukungan dan prasarana.
6.
Pelaku tindak pidana Trafficking bersikap tertutup atau tidak bersedia memberikan informasi mengenai
aparat pelaku lain yang belum tertangkap maupun jaringan kelompok pelaku lain,
sedangkan dalam melaksanakan tugasnya petugas kepolisian harus senantiasa
menghormati hak asasi manusia dari si pelaku serta menjunjung dalam
melaksanakan tugasnya petugas kepolisian harus senantias menghormati hak asasi
manusia dari si pelaku serta menjunjung asas praduga tak bersalah dari seorang
tersangka, sehingga tidak boleh memaksa dengan kekerasan untuk mengorek
keterangan.
7. Para pelaku tindak pidana Trafficking biasanya melakukan kejahatannya dengan berkelompok dan merupakan suatu
jaringan mereka sudah terorganisir. Sudah dibekali pengetahuan bagaiman
menhadapi polisi, bahkan sepertinya sudah menyediakan advokat bagi anggotanya
yang tertangkap, hal ini disinyali dari kecepatan mereka menghadirkan penasehat
dalam waktu yang singkat.
8. Pelaku sudah mengorganisir
kejahatan dengan cukup rapih,serta sudah memperhitungkan segala sesuatunya, hal
ini menyebabkan dampak negatif infern dan ekstern. Dampaknegatif intern yang
tinggi untuk melakukan kejahatan dan untuk mengulanginya lagi, mereka percaya
akan jaminan yang disediakan oleh kelompoknya.[17]
Persepektif aparat
penegak Hukum khususnya Polwil Banyumas meliputi faktor-faktor internal dan
eskternal. Faktor internal yang penyidik Polri yang mendapatkan pelatihan dan
pendidikan tentang Trafficking maupun upaya penanganannya sehingga dalam penanganan perkara dalam
penerpan pasalnya masih berbeda-beda. Belum meratanya sosialisasi perundang-undangan
yang terkait dengan penangangan Trafficking di kalangan aparat
penegak Hukum, pada umumnya yang menjadi korban Trafficking
adalah perempuan dan anak sehingga yang berperan dalam penanganan korban adalah
Polwan yang bertugas di Ruang pelayanan Khusus. Saran dan prasarana guna
mendukung perlindungan korban dan pengungkapan sindikat perdangana orang yang
memerlukan biaya yang sangat besar dan beresiko, kendala di bidang penyidikan
berasal dari korban perdagangan orang sendiri di mana korban tidak ingin
kasusnya disidik, ingin cepat pulang ke kampung halaman serta tidak mengenal
agen yang merekrut, korban juga dengan sengaja memalsukan identitas baik nama
maupun usia agar mempermudah proses administrasi pembuatan paspor. Tanpa korban
sendiri telah sengaja melakukan tindak pidana pemalusan dokumen (Pasal 263-287 KUHP). Kendala
eksternal di bidang koordinasi antara instansi terkait, karena belum adanya
sosialisai tentang keharusan memberantas Trafficking
sehingga aparat penegak Hukum Polisi, Jaksa,Hakim dan Pengacara).
B. Faktor Penyebab Terjadinya
Tindak Pidana Trafficking Anak dan Perempuan
Ada beberapa
faktor yang berkaitan dnegan terjadinya Trafficking
di Indonesia dengan melihat sisi sosial, ekonomi, dan budaya yang berkembang di
Indonesia, diantaranya :
a. Posisi Subordinat Perempuan Dalam Sosial dan Budaya.
Perdagangan
manusia yang terjadi di dunia,untuk Indonesia sendiri, informasi yang
disampaikan baik oleh media massa maupun penelitian- penelitian yang dilakukan
di lembaga pendidikan dan LSM menunjukkan bahwa sebagian besar korban
perdagangan manusia adalah juga perempuan dan anak-anak. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa perilaku tidak adil terhadap perempuan dan anak merupakan
ancaman terus menerus bagi perempuan di manapun di dunia utamanya di negara-negara
berkembang.[18]
Dalam
konstruksi sosial, telah diketahui bersama bahwasanya Indonesia adalah suatu
masyarakat yang patriakhal, sebagaimana juga di negara-negara di dunia.
Patriakhal sebagai suatu struktur komunitas di mana kaum lelaki yang memegang
kekuasaan, dipersepsi sebagai struktur yang menderogasi perempuan, yang nyata
baik dalam kebijakan pemerintah maupun dalam perilaku masyarakat"[19]
Sebagai
contoh sederhana saja, perumusan tentang kedudukan isteri dalam Hukum
perkawinan, kecenderungan untuk membayar upah buruh wanita di bawah upah buruh
pria. Serta kecendrungan mengutamakan anak laki-laki daripada perempuan dalam
posisi subordinat dibandingakan dengan laki-laki. Hal ini merupakan tindakan
diskriminasi terhadap perempuan yang semestinya tidak terjadi di Indonesia
sebagai salah satu Negara yang telah meratifikasi Konvesi tentang Penghapusan
Diskriminasi terhdap Perempuan tahun 1979 dengan Undang-Undang No. 7 Tahun
1984.
b.
Faktor Kemiskinan
Kemiskinan
merupakan faktor utama terjadinya Trafficking di Indonesia, sejak
adanya krisis ekonomi, tahun 1997, situasi perekonomian Indonesia belum
memperlihatkan banyak kemajuan. Sulitnya lapangan pekerjaan telah menimbulkan
banyak orang berusaha mengambil jalan pintas, orang tua memaksa anak-anaknya
untuk bekerja. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para agen-agen (calo) merekrut
anak-anak desa untuk bekerja di kota, keberadaan para agen tumbuh subur di desa-desa
miskin untuk mempengaruhi orang agar mengizinkan anak untuk bekerja di desa
sebagai pekerja rumah tangga, pelayan restoran,buruh pabrik dan buruh
perkebunan, atau menikahkan anaknya dengan orang asing. Agen selalu menjanjikan
biaya transportasi dan biaya kebutuhan lain ditanggung oleh agen. Yang pada
proses selanjutnya uang yang dikeluarkan diperhitungkan sebagai hutang yang
harus dibayar.[20]
c.
Rendahnya Pendidikan
Pendidikan
rendah merupakan faktor yang turut menyebabkan kerentanan terhadap Trafficking. Rendahnya pendidikan dan keterampilan para gadis muda untuk mencari
pekerjaan lain atau jalan lain agar dapat menghidupi dirinya dan keluarga,
negara mempunyai kewajiban untuk menjamin persamaan hak bagi perempuan dalam
hal pendidikan sebagai manna pasal 10 konvensi tentang penghapusan diskriminasi
tehradap perempuan tahun 1979 dengan bebera cara : syarat dan akses yang sama
untuk studi,akses kurikulum yang sama, penghapusan stereotif peran perempuan
dalam bidang pendidikan.[21]
1.
Perlindungan Saksi dan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Pasal 43 :
Ketentuan mengenai
perlindungan saksi dan korban dalam perkara tindak pidanaperdagangan orang
dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomro 13 Tahun2006 tentang perlindungan
Saksi dan Korban, Kecuali ditentukan dalam Undang-Undang.
Pasal 44 :
Saksi dan korban
berhak memperoleh kerahasiaan identitas.
Pasal 45 :
Pembentukan ruang
pelayanan khusus pada kantor kepolisian guna melakukanpemeriksaan di tingkat
penyidikan.
Pasal 46 :
Untuk melindungi
saksi dan/atau korban perlu dibentuk pusat pelayanan terpadupada setiap
kabupaten/kota.
Pasal 47 :
untuk melindungi saksi
dan/atau korban perlu dibentuk pusat pelayanan terpadupada setiap
kabupaten/kota dalam hal saksi dan atau organ mendapatkan ancaman,POLRI wajib
memberikan perlindungan baik sebelum, selama maupun sesudahproses pemeriksaan
perkara.
Pasal 48 :
Setiap korban tindak
pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak mendapatrestitusi, berupa
ganti kerugian atas kehilangan kekayaan/penghasilan, penderitaan,perawatan
medis/psikologis, kerugian lain yang diderita korban akibat perdaganganorang.
Pasal 49 :
Pelaksanaan restitusi
dilaporkan kepada ketua pengadilan dan diumumkan di papanpengumuman.
Pasal 50 ;
Apabila restitusi
tidak dipenuhi sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan,korban dan /atau
ahli warisnya memberihtahukan hal tersebut kepada pengadilandan apabila pelaku
tidak mampu membayar ganti kerugian, maka pelaku dikenai pidana kurungan paling
lama 1 tahun.
Pasal 51 :
dalam hal korban
berada di luar negeri memerlukan perlindungan Hukum akibat tindak pidana
perdagangan orang, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di
luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban, dan mengusahakan
untuk memulangkan Korban ke Indonesia atas biaya Negara.
Pasal 52 :
Dalam hal korban
mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat tindak pidana
perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan segera. Maka menteri atau
instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib
memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan
diajukan.
2.
Kebijakan Perlindungan Korban dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Sesuai
dengan ketentuan pasal 43 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 bahwa perlindungan
korban tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang
No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, kecuali ditentukan
lain dalam Undang-undang No. 21 tahun 2007. Jika demikian halnya, maka yang
perlu ditelusuri apakah Undang-undang no. 13 Tahun 2006 telah cukup baik dalam
upaya memberikan perlindungan korban.[22]
Upaya
untuk memberikan perlindungan Hukum kepada korban dalam Undang -Undang No.13
tahun 2006 dapat dilihat dalam bagian konsideran huruf a dan b, sebagai berikut
:
a.
Bahwa salah satu alat bukti yang
sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang
mendengar, melihat atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana;
b.
Bahwa penegak Hukum dalam
menemukan dan mencari kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh
palaku pidana sering mengalami kesulitan Karena dapat menghindarkan saksi
dan/atau korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu;
Berdasarkan
konsideran tersebut, yang merupakan semangat buatnya Undang-undang No.13 Tahun 2006
menunjukkan bahwa pembuat undang-undang berkehendak menempatkan korban agar
dapat ambil bagian dalam sistem peradilan pidana yang selama ini telah
termarginalkan,dan itu sejalan dengan yang telah dikemukakan dalam Guide for Policy Makers dalam rangka
Implementasi Deklarasi PBB mengenai Basic
Principles of Justice for victims of Crime and Abuse of Power. Bahwa in modern criminal justice system,
korban kejahatan dan korban penyalahgunaan wewenang, maka apa yang menjadi
haknya dapat dikatakan telah dilupakan orang.
Perlindungan
Hukum terhadap korban tindak pidana Trafficking semakin menempatkan
tempatnya dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Ketentuan mengenai perlindungan
korban diatur secara khusus dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 53, Pasal 43
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 mengatur "Ketentuan mengenai
perlindungan saksi dan korban dalam tindak pidana Trafficking
dilaksanakan berdasarkan undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan
saksi dan korban kecuali ditentukan Ilan dalam Undang-undang ini.
Dalam
Hukum pidana dikenal dengan adanya cara yang memberikan perlindungan Hukum
terhadap korban kejahatan, yaitu yang dikenal dengan model perlindungan Hukum
malalui "procedural right model"
(model hak-hak procedural) dan "service
model"(model pelayanan). Pada model yang pertama, yaitu procedural righ model, korban kejahatan
diletakan dalam proses penyelesaian kasus yang menyebabkan menjadi pihak yang dirugikan, baik pada
tingkat penuntutan, dengan harapan agar jaksa lebih memperhatikan korban dengan
seksama. Kemudian dalam pemeriksaan di depan persidangan, korban juga
dilibatkan dengan menghadirkannya sebagai saksi korban yang akan memberikan
keterangan dengan peristiwa yang menimpanya. Diharapkan dengan kesaksian korban
akan diperoleh kebenaran materiil, sehingga Hukuman yang akan dijatuhkan hakim
akan lebih tepat dan adil.[23]
Pada
model kedua, yakni service model,
titik berat perlindungan yaitu dengan ditentukan standart baku dalam pembinaan
korban kejahatan. Dalam model ini korban sebagai pihak yang dilayani oleh
aparat penegak Hukum. Sehingga diharapkan korban akan lebih mempercayai lembaga
penegak Hukum dan kepentingan korban akan lebih diperhatikan.[24]
Pengaturan
perlindungan korban kejahatan secara lebih tegas yaitu dalam KUHAP. Bentuk
perlindungan yang diberikan benar-benar ditujukan kepada korban kejahatan,
yaitu jaminan hak-hak korban dalam suatu lembaga parperadilan dan penggabungan
perkara tuntutan ganti kerugian dalam proses acara pidana. Adanya pengaturan
ini diharapkan agar hak-hak korban kejahatan akan lebih diperhatikan.
3.
Landasan Hukum Penanggulangan Tindak Pidana Trafficking
a.
Instrumen Internasional
1)
Konvensi Perbudakan, Konvensi Liga
Bangsa-Bangsa Tahun 1926.
Konvensi
ini memuat definisi internasional pertama dari perbudakan dan merupakan
kerangka kerja penting untuk pencegahan dan pemberantasan perbudakan.
Pasal 1 :
1)
Perbudakan didefinisikan sebagai
status atau kondisi seseorang dimana atas dirinya digunakan atau keseluruhan
kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan, termasuk akses seksual melalui
pemerkosaan atau bentuk kekerasan seksual lainnya.
2)
Melarang semua aspek perdagangan
budak, termasuk perbudakan menangkap, memiliki atau membuang seseorang dengan
tujuan menjatuhkan kepada perbudakan.
Pasal 2 :
Pihak-pihak negara diwajibkan
untuk mencegah dan memberantas perdagangan budak.
Pasal 3 :
Pihak yang mengadakan perjanjian (contracting
parties) yang diwajibkan untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan
untuk mencegah kerja paksa atau agar tidak berkembang menjadi keadaan yang
dpaat dinamakan dengan perbudakan.
2)
Protokol guna Mencegah,
Memberantas, dan Menghukum perdagangan orang,khususnya Perempuan dan Anak-anak
tahun 2000 (Tambahan Konvensi PBB terhadap Kejahatan Terorgansir antar Bangsa).
Protokol
ini mencakup definisi pertama tentang perdagangan orang di dalam instrument
PBB, menskipun hal tersebut dibicarakan pada awal abad lalu dengan perjanjian
untuk memerangi apa yang disebut dengan lalu lintas/perdagangan budak putih (white slave traffic), dan kemudian
diperbaharui pada tahun 1949.
Konvensi ini memuat sejulah ketentuan untuk memerangi kejahatan
terorganisir, termasuk bantuan Hukum bersama di antara Negara-Negara, pelatihan
dan bantuk teknis.
Pasal 3 :
Mendefinisikan Trafficking
sebagai perekrutan, pengiriman pemindahan penampungan atau penerimaan seseorang
dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari
pemaksaan, penculikan, penipuan kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan, atau
memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat
memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain untuk
tujuan eksploitasi, yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi
atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupai, adopsi illegal atau
pengambilan organ-organ tubuh.
4.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)
1. Eksploitasi Seksual
Pasal 285 :
Diancam pidana perkosaan dengan paling lama 12 tahun penjara barang
siapa dengan kekerasan
Pasal 297 :
Perdagangan wanita (usia tidak dikhususkan) dan perdagangan anak laki-laki
yang belum cukup umur,diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun.
Pasal 298 :
Sebagai akibat kejahatannya, hak perwalian pelaku penjualan anak atas
anak tersebut dapat dicabut, jika untuk melakukan pencarian tersebut.
Pasal 506 :
Diancam dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun, barang siapa menarik
keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan sebagi pencarian.
2. Penculikan
Pasal 332 ayat (1) :
Diancam dengan pidana penjara, paling lama tujuh tahun, barang siapa
membawa pergi seorang yang belum dewasa, tanpa dikehendaki orang tuanya atau
walinya tetapi dengan persetujuannya. Dengan maksud untuk memastikan
penguasannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan,
paling lama 9 (sembilan) tahun, barangsiapa membawa pergi
seorang wanita dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan
maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun
di luar perkawinan
Pasal 329 :
Barang siapa dengan
sengaja dan melawan Hukum mengangkut orang di daerah lain, padahal orang itu
telam membuat perjanjian untuk, bekerja di suatu tempat tertentu, diacam dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
3.
Perempuan Kekerasan
Pasal 331 :
Diancam dengan pidana
penjara paling lama 4 tahun, barang siap dengan sengaja menyembunyikan orang
yang belum cukup umur yang ditarik atau menarik sendiri dari kekuasaan yang
menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasaan orang yang
berwenang untuk itu, atau dengan sengaja menariknya dari penyidikan pejabat
kehakiman atau kepolisian jika naka itu umumnya 12 tahun (dua belas), tahun
diancam dengan lama 7 (tujuh) tahun penjara.
Secara yuridis,
Indonesia telah mempunyai seperangkat perundang-undangn untuk menjamin hak-hak
anak untuk mengurangi dampak bekerja dari anak seperti UUD 1945, ratifikasi
Konvensi ILO No. 138 menjadi Undang-Undang No. 20 tahun 1999 tentang usia
minimum untuk diperbolehkan bekerja. Ratifikasi Konvensi ILO 182 menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 2000
tentang pelanggaran dan Tindakan Penghapusan bentuk-bentuk Pekerjaan. Terburuk
untuk anak, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak, Undang-Undang
13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Walaupun ada
seperangkat peraturan perundang-undangan yang melindungi pekerja anak, tetapi
kecendrungan kualitas permasalahan pekerjaan anak dari tahun ke tahun bertambah
komplek menuju bentuk-bentuk pekerjaan terburuk eksploitasi dan membahayakan pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, moral dan intelektual anak. Jadi pekerjaa terburuk
semakin marak ditemukan, seperti anak yang dilacurkan, diperdagangkan. Bekerja
di pertambangan, anak jeram dan lain-lain.
Dari segi hak
anak, yagn sangat memprihatinkan adalah anak yang bekerja umumnya berada dalam
posisi rentan untuk diperlakukan salah, termasuk dari tenaga anak. Berbagai
studi dan pengamatan menunjukkan bahwa pekerja anaka umumnya sangat rentan
tehradap eksploitasi ekonomi, di sektor industri formal, mereka umumnya berada
dalam kondisi jam kerja yang panjang, berupah rendah, menghadapi resiko
kecelakaan kerja dan gangguankesehatan atau menjadi sasaran pelecehan dan
kesewenangan-wenangan dari orang dewasa.[25]
Data lainnya
menunjukkan bahwa eksploitasi anak tidak hanya di sektor industri dan
pekerjaan, sejak lahir hak dan kesejahteraan anak sudah dieksploitasi untuk
dieksploitasi. Untuk memperoleh hak paling awal, yakni hak untuk diakui
identitasnya melalui akta kelahiran, ternyata tidak semua anak mendapatkannya.
Hal ini terjadi karena selain biayanya terlalu mahal, birokrasi pengurusannya
juga berbelit-belit. Menurut data Komnas Perlindungan anak, hampir 75% anak-anak
di seluruh Indonesia belum memiliki akta kelahiran, berda¬sarkan catatan UNICEF
Indonesia, menempati urutan 109 dari 119 negara di dunia dalam hal pengembangan
SDM, cukup ironis jika dibandingkan dengan Vietnam dan Srilangka, ternyata
Indonesia cukup tertinggal.[26]
Untuk penegakan
Hukum perlu mengkaji konsep yang menjelaskan komponen penting dari sebuah
sistem Hukum yaitu : substansi, struktur dan kultur yang berjalannya harus
sinergis dan sistemik untuk mewujudkan penanggulangan Trafficking perempuan dan anak. Dalam perspektif substansi; aturan yang mengatur
tentang pencegahan dan pemberantasan Trafficking masih sangat
Konvensional dan belum dianggap sebagai tindak pidana khusus, sebagian besar
masih berdasarkah KUHP yang secara substansi belum dapat mengakomodir terhadap
upaya pencegahan dan pemberantasan Trafficking secara maksimal Pasal
295 KUHP yang memudahkan perbuana cabul, Pasal 297 KUHP melarang perdagangan
wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur, Pasal 301 KUHP melarang
perdagangan anak yang belum cukup umur untuk melakukan pengemisan atau
pekerjaan yang berbahaya.[27]
Meskipun telah
dikeluarkan KEPPRES No. 88 tahun 2003 tentang Rencana Penghapusan Perempuan dan
Anak realitasnya belum ada Perubahan yang signifikan, tampaknya pemerintah
cukup berpuas diri dengan Keputusan Presiden tersebut tanpa merasa perlu
menerbitkan dan mengimplementasikan kebijkanan peraturan undang-undang yang
diperlukan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Trafficking
perempuan dan anak. Dalam agenda pemerintah, persoalan Trafficking tidak menjadi concern utama, dalam beberapa pertemuan regional yang
terkait (APEC dan ASEAN), pemerintah Indonesia belum mengupayakan mendeksa
agenda Trafficking dalam forum regional. Realitas ini masih diperparah lagi dengan belum
meratanya pemahaman dan upaya pencegahan secara sistemik daripara aparatur
penegak Hukum dan pemerintah daerah di kantong Trafficking
masih ada yang melakukan, pemiaran, dan membecking.[28]
Aspek
lain yang penting adalah kultur Hukum yang kondusif untuk bekerjanya substansi
dan struktur Hukum, kultur Hukum di sini berkaitan dengan sikap sosial nilai-nilai
social yang telah terpatri yang dipergunakan sebagai acuan normatif dalam
perilaku. Permasalah yang krusial di sini, kalau kultur tidak bersinergi dengan
substansi dan struktur yang harus dicegahkan, misal : (1) kultur aparatur
pengak Hukum yang terkooptasi dengan konstruksi sosial yang mempersiapkan Traffickingsebagai
kejahatan biasa, sehingga memposisikan penanganannya dilakukan secara
konvensional, (2) kultur patriatkhi yang mengakibatkan bahwa laki-laki yang
paling berhak dan berkuasa mengatur perempuan dan anak, akibatnya dalam relasi
antara perempuan dan laki-laki mengalami perlakuan yang diskriminatif. Dalam
kasus Trafficking perempuan (korban) dianggap sebagai suatu kewajaran (komoditi), karena
menurut nilai sosial, suami/laki-laki adalah kepala rumah tangga dan orang yang
paling berkuasa. Kultur yang demikian, jelas bertentangan dengan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang diratifikasi
dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. (3), kultur yang berhubungan dengan sikap
social, misalnya main hakim sendiri, ini mencerminkan sikap deviasi perilaku
yang sangat membahayakan bai proses penegakan Hukum. Dalam Negara Hukum hanya
aparat penegAkiukum yang berhak menindak pelaku kejahatan melalui prosedur dan
Hukum acara yang berlaku.[29]
Untuk penegakan Hukum terhadap Trafficking yang mendesak dilakukan adalah :
a.
Mereview dan membuat aturan Hukum
(pembenahan aspek substansial ) yang lebih a komodatif;
b.
Meningkatkan profesionalisme,
perlunya jalinan yang padu dan sistemik antar aparat penegak Hukum, Pemerintah
Daerah dan seluruh steakholder yang concern dan terkait dalam upaya
penanggulangan maraknya Trafficking, jika perlu dibentuk
suatu badan atau komisi yang secara khusus menangani Trafficking (Pembenahan aspek struktural);
c.
Peningkatan pemahaman tentang
kejahatan Trafficking, sekaligus untuk mengikis kosntruksi sosial yang mempersiapkan Trafficking sebagai kejahatan biasa /konvensional dan maraknya kultur patriarkhi
yang mengakibatkan semakin sulitnya pencegahan dan pemberantasan Trafficking.
[1]Anita Handayani Nursamsi, 2007, Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
(Kajian Viktimologi terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Wilayah
Hukum Polwil Banyumas, Tesis Pada Program Magister Hukum Unsoed,
Purwokerto. Hlm.1
[2]Kementerian Koordinator Bidang Kesejateraan
Rakyat, 2005, Penghapusan Perdagangan
Orang (Trafficking in Person ) di Indonesia,Jakarta:Tanpa Penerbit, hlm.8
[3] Shinta
Agustina, 2006, Perdagangan Kejahatan
Transnasional Permasalahannya dan Pengangulangan di Indonesia. Dalam Jurnal
Hukum Porjustita Volume 24. No.1, hlm 48
[4] Wahyu
Susilo, 2004, The Realitity of
Trafficking ini women and children in Indonesia : A Case Study of Advocacy for
Indonesia Migrant wokers, Southeast Asia Confemce on Trafficking of children
for seksual Purpose, 28 february-march, Medan hlm.1
[5] Ibid. hlm.2
[6] Sudarto,
1983, Hukum dan Hukum Pidana,
Bandung:Alumni, hlm.73
[7] Barda
Nawawi Arief,1996. Bunga Rampai Kebijakan
hukum pidana , Citra Aditya Bakti Bandung. hlm.29
[8] Ibid, hlm.30
[9] Ibid, hlm.2
[11] Teguh
Prasetyo, 2005, Politik Pidana kajian
Kebijakan Kriminialisasi dan Deskriminalisasi Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
hlm.2
[12] Satjipto
Rahardjo, 1980, Hukum dan Masyarakat,
Angkasa, Bandung, Hlm. 11
[13] Ade
Maman Suherman, 2004, Pengantar
Perbadingan Sistem Hukum, Jakarta :Raja Grafindo Persada, hlm. 11
[15] R
Abdulsalam, 1998, Refleksi Keterpaduan
Penyidikan Penuntutan dan Peradilan dalam Penanganan Perkara, Jakarta
:Dinas Hukum Polri, Jasgunas Wiratama, hlm. 9
[16] Riza
Nizarli, 2006, Penegakan Hukum
DalamRrangka Perlindungan HAM Perempuan dan anak Yang Menjadi Korban
Trafficking,Medan:Tanpa Penerbit, hlm. 3-4
[17] Wawancara
dengan AKP Waroko Kaur MinsubagReskrim Polwil Banyumas, Di Purwokerto Tanggal
18 Juli 2009
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Lindra
Darnela, Op.cit. hlm, 15
[21] Ibid, hlm, 19
[22] M Artief Amrullah, Politik Pidana
Perlindungan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Http:/www. Legalitas.org, Diakses 15 Agustus
2009
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Bagong
Suyanto, 2001, Pekerja Anak di Sekitar
Berbahaya, Surabaya:Tanpa Penerbit. hlm 9-10
[26] Mokh.
Najih, Perlindungan Hak Asuh Anak Dalam
Hukum, Jurnal Legality, Vol. 11 No.2. 200, hlm 284
[27] Riza
Nizarli, Op.cit, hlm 13
[28] Ibid, hlm. 15
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
penanggulangan Tindak Pidana Trafficking anak dan perempuan
dilakukan dengan menerapkan dua metode atau cara yaitu metode preventif dan
refresif. Metode yang pertama dilakukan dengan preventif yaitu merupakan suatu
usaha yang dilakukan sebelum kejahatan itu terjadi, fungsinya untuk pencegahan.
Metode yang kedua yaitu metode represif yaitu upaya penindakan secara Iangsung
terhadap kejahatan.
Faktor yang
menghambat dalam penanggulangan tindak Adana perdagangan orang adalah, faktor
penegak Hukum , faktor sarana dan fasilitas, dan faktor masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arief,
Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai
Kebijakan Pidana.Pt Citra Aditya Bakti, Bandung.
. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan,PT. Citra Aditya Bakti.
Agustina,
Shinta. 2006. Perdagangan Perempuan dan
anak Sebagai Kejahatan Dan Penanggulangan di Indonesia, Jurnal Hukum
Projustitia.
Atmasasmita,
Romli. 1998. Kedudukan dan Peran
Kepolisian Sebagai Suatu Studi Perbandingan.
Cristanty
Linda, 1994, Nyai dun Masayarakat
Koloniul Hindla Relandu, Dalam Prisms 10.
Dawan,
Raharjo Sumami. 2006, Masalah Perdagangan Manusia di Indonesia upaya dan hnmhatannyu, Makalah.
Darnels
Lindra. 2007, Traffickingin Women sebagai Akibal, Tidak Terpenuhinya Hak-hak Dasar: sesuatu
Tujuan Hukum. Jumal YIN YANG, STAIN Purwokerto. Volume
2 Nomor 2
Gallagher.Ane.Hukum
Rights Qurlele 23 ROOU 975-1004 C 1001 by the Johns Hopkins, Universiti Press.
Gunarto.
Marchus Priyo. Perlindungan Hukum Korban
kejahatan Tinjaun dari segi Penegakan hukum
dan kepentingan. Mimbar Hukum,Jakarta.
Hatta,
Moh. 2008. Menyongsong Penegakan Hukum sistem Peradilan pidana dalam konsepsi dan
implementasi). Kapita selekta, Jakarta.
Kementerinn
koordinator Bidang, Kesejahteraan Rakyat. 2004, Penghapusan perdagangan orang (Trafficking in
Person) Di Indonesia
Kelana
Memo, 1994, Hukum Kepolisian,
Grapindo, Jakarta.
Lapian,
L.M.Gand hi. 20U6..Aspek Hukum
penghapusun Trafficking (Perdagangan Manusia Khususnya Wanita dan anak). Dalam Trafficking perempuan dan Konpren. Yayasan Obor
Indonesia.
Mukti
Arto, A.2008. Majalah Varia Peradilan
Tahun ke XXIII No 267. Februari, 2008
Muladi.
1995. Kapita Selekta sistem Peradilnn Pidana. Badan Penerbit
Universitas Diponogoro.
,1987. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. PB. Undip Semarang.
Nosa.
Anita Handayani. 2007. (Tesis) Korban
Tindak Pidana Perdagangan Orang (kajian Karbnn Tindak Pidana Perdagangan Orang
di Wilayah HukumPolwil Banyumas. Program Magister Hukum Unsoed, Purwokerto.
Nizarli,
Riza. 2006. Penegakan Hukum Dalam Rangka
Perlindungan HAM Perempuam Dan Anak Yang Menjadi KorbanTrafficking. Melon.
Najih,
Mokh. 2003. Perlindungan Hak Asuh Anak
Dalam Hukum. Jurnal Legality, Vol. II.No2.
Prayitno,
Kuat Puji. 2008. Sistem Peradilan Pidana
Materi Kuliah Program Pascasarjana Unsoed. Purwokerto.
Poernomo,
Bambang. 1987. Seminar Hukum Sumbangan
Pendidikan Hukum Dalam peningkatan Pelaksanaan Penegakan Hukum Universitas
Gajah Mada, Yogakarta
Prakoso
joke, 1987. POLRI Sebagai Penyidik Dalam
Penegakan Hukum, Bina Aksara, Jakarta.
Rahardjo,
Satjipto. 1998. Sistem Peradilan Pidana
Dalam Kontrol Sosial. Citra Aditya Bakti, Bandung.
,1980.
Hukum dan Masyarakat. Angkasa. Bandung.
,2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis.
Gema Publishing, Yogyakarta.
Sudarta.
2006. Kapita Seleka Hukum Pidana.
Alumni Bandung
Suherman,
Ade Maman. 2004. Pengantar Perbandingan
Sistem Hukum. Raja Grapindo Pcrsada, Jakarta.
Soesilo,
R. 1996. Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, serta Komentarnya. Politea, Bogor.
Suyanto,
Bagong. 2001. Pekerja Anak di Sektor
Berbahaya. Surabaya.
Soerjono,
Soekanto. Fakror-faktor Yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum. PT. Raja Grapindo Persada, Jakarta.
Sunaryo,
Sidik. 2004. Kapita Selekta Sistem
Peradilan Pidana. Universitas Muhammadiyah Malang.
Susilo,Wahyu.
2004. The Reality of Trafficking in Women and children in Indonesia : A case study of advocacy ,for
Indonesia Migrant workers, snatheas Asia Conference on trafficking jrcking of
chldrenfin- seksuul purpose. 11 February march, Medan.
Seomitro,
Rony Anitijo, 1983, Metode Penelitian
Hukum Ghalia Indonesia,Jakarta.
Wagner,
Lola. 2004. Trafficking
perempuan dan anak eksploitasi Komersil di Batam. Jurnal Perempuan No 24.
Widada.
2008 (Tesis) Kebijakan dalam
Penganggu/angan Tindak Pidana Pencurian Kekerasan Oleh Kepolisian Resort
Banyumas.. Program Magister Hukum, Unsoed Purwokerto.
Peraturan Perundang-undangan.
Indonesia.Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 21. Tahun 2007 Tentang Pemberan-tasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Kitab
Undang-undang Hukum Pidana.
IndonesiaUndang-undang
Republik Indonesia Nomor.23 Tahun2002 Tentang Perlindungan Anak.
Telegram
Kapolda Jateng. No. Pol "CR./807/X11. "Tanggal 04 Desember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar