MAHKAMAH KONSTITUSI PUSAT KAJIAN KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BENGKULU
JURNAL
|
KONSTITUSI
|
PKK FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BENGKULU
KERJASAMA DENGAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA
|
Volume I No. 1, November 2012
|
Pengantar Redaksi ......................................................................................................... v
Kedudukan
Desentralisasi dalam Otonomi Daerah
Berdasarkan
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ardilafiza.................................................................................................................. 1
Perizinan
Investasi di Sektor Perkebunan pada Era Desentralisasi
Azmi Fendri............................................................................................................. 21
Peran
Komisi Yudisial dalam Pengawasan Hakim
Terhadap
Dilema Independensi Kekuasaan Kehakiman
Taufiqurrohman Syahuri............................................................................................ 43
Perlindungan
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam UUD RI Tahun 1945
Serta
Implementasinya di Indonesia
Nuzulia Kumala Sari................................................................................................. 63
Kajian
Filsafat HUkum Tentang Kedudukan Hukum Dalam Negara
Ditinjau
Dari Perspektif Keadilan
Ifrani........................................................................................................................ 79
Pidana
Mati Ditinjau Dari Aspek Konstitusional dan Hak Asasi Manusia
Nirmala Sari............................................................................................................. 99
Opini
yang dimuat dalam jurnal ini tidak mewakili
pendapat
resmi MK & Pengelola Jurnal
|
Legal
Standing Anggota Parlemen Dalam Judicial Review Undang-Undang
(Analisis
Terhadap Putusan MK No.20/PUU-V/2007
Muh. Risnain............................................................................................................ 115
Menelusuri
Jejak Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Negara Hukum
Kesejahteraan(Suatu
Perbandingan Dengan UUD NRI Tahun 1945)
Zainuddin................................................................................................................. 135
Tindakan
Pengusiran Pejabat Diplomatik
Dalam
Hubungannya Dengan Doktrin Imunitas Kedaulatan Negara
St. Ulfah................................................................................................................... 153
Biodata
Penulis............................................................................................................ 179
PIDANA MATI DITINJAU DARI ASPEK
KONSTITUSIONAL DAN HAK ASASI
MANUSIA
Nirmala
Sari
ABSTRACT
Death penalty is not a cruel punishment or degrading
human's dignity. Death penalty is not a contradiction to the human rights
regarding to the understanding that the human rights are not unlimited. The
limitation might be possible due to the law. The death penalty yet has its
relevancy in Indonesia since it is not prohibited under Indonesian law, even
strengthened by the decision of The Constitutional Court No. 2-3/PUU-V/2007.
Keywords : Death Penalty, Human
Rights.
Keywords: Pidana mati, Hak asasi manusia,
A. PENDAHULUAN
Pada tataran
etika, perdebatan tentang pidana mati di bagi dalam dua konteks filosofi utama,
yaitu deontological context dan utilitarian/ consequentialistcontext. Deontologicalcontext
menitikberatkan pada persoalan kebenaran atau kesalahan dari hukuman itu
sendiri (the righteness or wrongness of
the punishment it self), sedangkan utilitarian/
consequentialistcontext
menitikberatkan kepada kepentingan dari konsekuensi yang di timbulkannya.
Keberatan deontological terhadap
pidana mati atas dasar pandangan bahwa pidana mati pada hakekatnya tidak benar dan
merupakan pelanggaran hak hidup yang bersifat universal. Pada sisi lain
pembenaran deontological pidana mati
mendasarkan argumennya bahwa penggunaan pidana mati pada hakekatnya benar,
ketika pembalasan terhadap penjahat atas hak hidup dan kebebasan orang lain
dianggap adil.[1]
Pidana mati
bukanlah suatu masalah baru pada sejarah panjang proses penegakan hukum (law enforcement), melainkan sudah
dipertentangkan sejak berabas-abad silam. Terhadap penerapan pidana mati masih
banyak sikap pro dan kontra dari berbagai kalangan secara umum. Bagi mereka
yang pro pidana mati beralasan bahwa pidana mati adalah tindakan pembalasan
terhadap akibat perbuatannya dan hal ini sudah diatur dalam ketentuan
undang-undang. Selain itu kalangan pro berusaha mempertahankan dengan alasan
bahwa pidana mati telah sesuai dengan ajaran agama (Islam), dan UndangUndang
Dasar 1945. Secara singkat pihak yang setuju berargumentasi bahwa pidana mati
masih relevan diterapkan di Indonesia dan masih banyak peraturan perundang-undangan yang
mencantumkan ancaman pidana mati dalam hukum posistif Indonesia.
Sedangkan Pihak
yang tidak setuju terutama kalangan pengusung HAM menyatakan pidana mati
bertentangan dengan hak asasi manusia, dengan mengacu kepada UUD 45 yang
mengutip Pasal 28 A perubahan kedua yang menyatakan "setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya" dengan
demikian hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable human right).[2]
Isu pidana mati
selalu menjadi debat yang kontroversial. Pro dan kontra penerapan pidana mati
selalu bertarung di tingkatan masyarakat, maupun para pengambil kebijakan.
Kontroversi pidana mati juga eksis baik itu di panggung internasional maupun
nasional. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang masih menerapkan
pidana mati dalam aturan pidananya. Padahal, hingga Juni 2006, lebih dari
setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek pidana mati baik
secara de jure atau de facto. Hal ini akhirnya berimbas bagi
Indonesia karena kembali memunculkan pro-kontra penerapan pidana mati, karena
tampak tak sejalan dengan komitmen Indonesia untuk tunduk pada kesepakatan internasional
yang tertuang dalam International
Covenant on Civil and Political Right (ICCPR).
Oleh karena itu
wajakrlah bahwa pidana mati merupakan suatu problem yang paling kontroversial.
Kontroversial dalam arti bahwa ada dua pemikiran dengan pangkal tolak yang sama
tetapi berakhir dengan hasil yang berlawanan. Juga kontroversial dalam arti ada
dua buah landasan pemikiran yang jelas berbeda atau bertolak belakang sejak
semula. Bahkan kontroversial pula karena tidak ada kata sepakat tentang sarana
pelaksanaan pidana mati.[3]
Ditengah
pro-kontra yang muncul terhadap pidana mati, maka dalam tulisan ini penulis
mencoba untuk menelaah pidana mati dengan menelaah dari sudut pandang
konstitusionalitas pidana mati itu sendiri.
B. PEMBAHASAN
1.
Legalitas Pelaksanaan Pidana mati Dalam Kaitannya Dengan Hak Asasi
Manusia
Jika
di tinjau secara Konstitusional, hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Namun dalam prakteknya pidana mati
masih berlaku di Indonesia sehingga perdebatan muncul ketika banyak orang yang
mulai menanyakan apakah pidana mati masih relevan atau layak diterapkan sebagai
suatu hukuman di Indonesia. Pertanyaan tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan,
namun kebanyakan dari mereka menganggap pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia
(HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu terdapat dalam UUD 1945 pasal 28A yang
mengatakan "setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya". Sehingga mereka menganggap bahwa
hak hidup merupakan
hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Muncul
pendapat yang menyatakan pidana mati sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman.
Karena dari studi ilmiah terhadap hukuman-pidana mati yang dilakukan beberapa
lembaga di dunia pun menunjukkan bahwa pidana mati gagal membuat jera dan tidak
efektif dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Hasil survei PBB antara 1998
hingga 2002 tentang korelasi antara praktek pidana mati dan angka kejahatan
menyebutkan hukuman tidak lebih baik daripada hukuman seumur hidup dalam
memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Hasil studi tersebut secara
signifikan mempengaruhi keputusan beberapa negara untuk menghapuskan pidana
mati. Hingga saat ini terdapat 68 negara yang masih menerapkan praktek pidana
mati, termasuk Indonesia. Sedangkan Negara yang menghapuskan pidana mati untuk
seluruh kejahatan adalah sebanyak 75 negara. Selain itu, terdapat 14 negara
yang menghapuskan pidana mati untuk kategori kejahatan pidana, 34 negara yang
secara de facto tidak menerapkan
pidana mati walaupun terdapat ketentuan pidana mati. Dengan demikian,
perdebatan tentang pidana mati walaupun telah berlangsung lama, masih tetap
akan ada dan berlanjut di masa yang akan datang.[4]
Dalam
perdebatan pidana mati di Indonesia, ada dua mainstream wacana yang
berhadap-hadapan, yakni yang setuju terhadap pidana mati (abolisionis), pihak yang setuju terhadap pidana mati setidaknya
berpendapat bahwa pidana mati diperlukan untuk mengurangi kejahatan, selain itu
juga dapat menjadi pelajaran bagi yang lain untuk melakukan kejahatan,
sedangkan bagi yang tidak setuju menyampaikan alasannya yang hampir senada
dengan komunitas internasional dan juga keraguan terhadap sistem peradilan
pidana di Indonesia yang masih tidak kredibel. Alasan penghapusan pidana mati
lazimnya tidak bersangkut paut dengan soal-soal yang terletak dalam bidang
politik atau keyakinan ideology. Pada umumnya permasalahan penghapusan
pidana mati selain merupakan suatu persoalan teoritis-akademis lebih-lebih
merupakan problem ilmiah praktis yang di dukung oleh berbagai data dan fakta.[5]
Untuk
menjawab perdebatan yang muncul tersebut, maka perlunya kiranya terlebih dahulu
dengan menelaah dari pidana mati yang berlaku saat ini. Menelaah pidana mati
dapat dimulai dengan meninjau dulu dari hukum internasional. Secara
internasional ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak
hidup dapat ditemukan dalam International
Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup
(right to life). Dari ketentuan Pasal
6 ICCPR ternyata pidana mati tersebut masih diakui untuk dapat diterapkan
dinegara-negara yang telah meratifikasi Kovenan ini. Bahwa Pasal 6 ICCPR masih
mengakui pidana mati juga mengingat adanya ketentuan-ketentuan yang
mengikutinya yang mengatur pembatasan terhadap hukum mati. Ketentuan-ketentuan
yang mengikuti pasal 6 ayat (1), yaitu pasal 6 ayat (2) sampai dengan (6)
adalah:
( 1)
setiap manusia berhak atas hak
untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut
hak itu.
( 2)
Di negara-negara yang belum
menghapuskan pidana mati, utusan pidana mati hanya dapat dijatuhkan terhadap
kejahatan yang paling berat sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat
dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan
Kovenan ini dan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida.
( 3)
Hukuman ini hanya dapat
dilaksanakan atas dasar putusan akhir yang dijatuhkan oleh pengadilan yang
berwenang (competent).
( 4)
Siapapun yang dijatuhi hukum mati
mempunyai hak untuk mendapatkan pengampunan atau keringanan hukuman. Amnesti,
pengampunan atau pengurangan pidana mati dapat diberikan dalam semua kasus.
( 5)
Pidana mati tidak dapat dijatuhkan
atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dibawah usia delapan belas tahun, dan tidak dapat
dilaksanakan pada perempuan yang tengah mengandung.
( 6)
Tidak ada satupun dalam Pasal ini
yang dapat digunakan untuk menunda atau mencegah penghapusan pidana mati oleh
Negara-negara Pihak pada Kovenan. ini.
Selanjutnya
mencermati pidana mati dalam hukum positif Indonesia maka dapat dimulai dari
KUHP Bab II mengenai Pidana, pada Pasal 10 menyatakan mengenai macam-macam
bentuk pidana, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Dan pidana
mati termasuk jenis pidana pokok yang menempati urutan yang pertama.[6]
Peraturan
perundang-undang yang lain yang ada di Indonesia, juga banyak yang mencantumkan
ancaman pemidanaan berupa pidana mati, misalkan Undang-undang No. 7/ Drt/1955
tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang
Narkotika, Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang
No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 26 tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Perppu Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang telah disahkan menjadi Undang-undang.
Dari
adanya pidana mati tersebut maka ditinjau dari segi HAM sebagaimana ada dalam
undang-undang yang mengatur mengenai HAM, yaitu Undang-undang No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia sesungguhnya pembahasan tentang pidana mati harus
dimulai dari pembicaraan hak untuk hidup terlebih dahulu. Dalam undang-undang
No. 39 tahun 1999 mengenai hak hidup tercantum dalam Pasal 9 ayat 1 yang
menyatakan "setiap orang berhak untuk hidup dan meningkatkan taraf
kehidupannya", secara sekilas pasal ini tidak jauh dengan ketentuan Pasal
28A UUD 1945.
Sesungguhnya
jika teliti lagi dengan. menelaah Pasal 28A UUD 1945 dan Penjelasan Pasal 9
Undang-undang No: 39 tahun 1999, dalam penjelasan Pasal 9 ini menyatakan :
"setiap
orang berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf
kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang baru lahir
atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa
yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan
pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam
hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut
itulah hak untuk hidup dibatasi."
Dari
penjelasan tersebut dapat kita garis bawahi pada kalimat "...berdasarkan
putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana
mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan..." sehingga
dapat ditarik kesimpulan, bahwa walaupun setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya namun dalam keadaan tertentu hak
untuk hidup dapat dihilangkan atau dicabut. Apa yang tersebut dalam Pasal 9 dan
Penjelasan Pasal 9 Undang-undang No. 39 tahun. 1999 merupakan pengecualian yang
telah disebutkan dengan tegas dalam undang-undang jadi jika seseorang terbukti
melalukan tindak pidana dan melalui putusan pengadilan menjatuhkan pidana mati
maka ini dibenarkan oleh hukum.
Apalagi
melalui Putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 maka legalitas pidana mati untuk
diterapkan di Indonesia semakin kuat karena melalui putusan MK ini pidana mati
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 ini terkait
dengan perkara pengujian ketentuan pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) terhadap UUD 1945 yang diajukan
oleh Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani (Melisa Aprilia), Myuran (Nomor
Perkara 02/PUU-V/2007) dan Scott Anthony Rush (Nomor Perkara 03/PUU-V/2007) dan
karena menyangkut perkara yang sama maka oleh MK di gabungkan dan disidangkan
secara bersama-sama.
Salah
satu pertimbangan dari Mahkamah Konstitusi terkait dengan Putusan MK No.
2-3/PUU-V/2007 dibangun melalui pemahaman tentang HAM karena tatkala merumuskan
Bab XA (Hak Asasi Manusia) rujukannya atau yang melatarbelakanginya adalah
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998, dari Ketetapan MPR inilah yang akhirnya
melahirkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Semangat yang dibangun oleh Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah sama yaitu menganut
pendirian bahwa HAM bukanlah tanpa batas. Dikatakan pula semangat yang sama
juga terdapat dalam UUD 1945, yaitu bahwa HAM bukanlah sebebas-bebasnya
melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang.
Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Oleh karena itu, penerapan
pidana mati di Indonesia bukanlah hal yang melanggar HAM jika dilihat dari
aspek peraturan perundang-undangan.
Mahkamah
Konstitusi telah mempertimbangkan konstitusional-tidaknya pidana mati dengan mengaitkannya pada
kewenangan yang di miliki oleh Mahkamah Konstitusi dalam tugasnya untuk
menyelenggarakan peradilan bukan saja untuk menegakkan hukum tetapi juga
keadilan. Dalam hubungannya dengan isu pidana mati, menurut Mahkamah Konstitusi
keadilan yang ditegakkan berdasar atas hukum itu haruslah senantiasa di buat
dengan mengingat pertimbangan-pertimbangan dari berbagai perspektif, yaitu
perspektif pidana atau pidana mati itu sendiri, kejahatan yang diancam dengan
pidana mati, dan yang tidak kalah pentingnya dari perspektif korban serta
keluarga korban dari kejahatan yang diancam pidana mati itu.
Oleh
sebab itu, bicara pidana mati tidaklah adil apabila pertimbangan di buat dengan
hanya memfokuskan diri pada pandangan dari perspektif pidana mati dan
orang-orang yang di hukum pidana mati belaka dengan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan dari
perspektif kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana mati itu dan
dari perspektif korban serta keluarga korban. Untuk itu dalam mencermati pidana
mati ini, haruslah pula melihat pada kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati yang
merupakan kejahatan yang secara langsung maupun tidak langsung menyerang hak
untuk hidup (right to life) dan hak
atas kehidupan (right of life).
Apalagi sesungguhnya pengancaman dengan pidana mati ini justru diterapkan
terhadap kejahatan yang justru telah mencederai hak untuk hidup dan hak atas
kehidupan.
Jadi
perlu diluruskan bahwa anggapan yang mengatakan pidana mati adalah merupakan pelanggaran
Hak Asasi Manusia adalah sebenarnya tidak benar karena itu secara hukum
nasional pun sebagaimana tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesia yang masih merupakan warisan Belanda dan saat ini juga telah ada
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana masih mempertahankan pidana mati.
didalam KUHP ini sendiri juga tetap ada mengatur tentang pidana mati dan jenis
kejahatan yang diancamkan pidana mati dengan jenis kejahatan yang ada. Namun
dalam hal tertentu antara Kejahatan yang Ada di Kitab Undang-undang Hukum
Pidana dengan didalam Undang-undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999
memiliki beberapa perbedaaan namun perbedaan ini dikarenakan Kejahatan
Pembunuhan yang dilakukan didalam pengaturan di KUHP menekankan kepada
perorangan sedangkan Kejahatan Pembunuhan yang dilakukan pengaturannnya dalam
Undang-undang Hak Asasi Manusia adalah pembunuhan yang dilakukan bersifat untuk
sekelompok tertentu apa itu kelompok bangsa, kelompok etnis maupun kelompok
bangsa.[7]
Oleh
karena itu, belum diterimanya penghapusan pidana mati di Indonesia harus
dipahami bahwa kesadaran sejarah masyarakat Indonesia belum dapat menerima
penghapusan pidana mati. Pidana mati masih dipahami masih dipahami sebagai
sesuatu yang sah secara hukum maupun moral. Kalaupun- pidana mati melanggar hak
hidup, pelanggaran tersebut dapat dibenarkan sebagai hukuman atas tindak pidana
tertentu. Namur, kesadaran sejarah tersebut tentu akan mengalami
perubahan seiring dengan perubahan masyarakat Indonesia dan munculnya
pemikiran-pemikiran baru yang mendasari upaya penghapusan pidana mati.[8]
2.
Penegakan Hukum Melalui Pidana mati
Sejalan
dengan perkataaan "pidana" berasal dari bahasa sansekerta, dalam
bahasa Belanda disebut "straf"
dan dalam bahas inggris disebut "penalty"
yang artinya "hukuman". Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam
bukunya kamus hukum, "pidana" adalah "hukuman", maka
"pidana mati" berarti hukuman yang dikenakan terhadap pelaku tindak
pidana dengan menghabisi nyawanya.[9]
Sehingga menurut teori absolut Pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah
melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada
sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar
pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu
sendiri.
Hukuman
dan kemanusiaan adalah dua keping dari mata uang keadaban yang sama. Manusia
adalah satu-satunya makhluk tuhan yang dikaruniai kehendak bebas. Dengan
kehendak sadarnya manusia memilih untuk berbuat jahat. Untuk itu, hukuman hanya
dapat ditimpakan pada manusia. Bentuk hukuman yang paling ultim adalah pidana
mati. Disebut ultim sebab pelaku tidak sekedar diisolasi sementara dari
masyarakat melainkan dilenyapkan secara total hak hidupnya.[10]
Pidana
mati pun bukanlah suatu hal yang baru dalam sejarah kemanusiaan. Ungkapan hakim
Inggris dalam abad ke- 18 yang kini sudah termasyhur dalam kalangan sarjana
hukum pidana dan terutama dalam kalangan sarjana kriminologi ialah: "you are to be hanged, not because you have
stolen a sheep but in order that others may not
steal sheep". Ternyata pidana mati bukanlah obat
yang mujarab sebab domba-domba tetap di curi sampa sekarang.[11]
Sesungguhnya
demikian pula di Indonesia, kendatipun adanya ancaman pidana mati namun tetap
saja terjadi kasus-kasus yang di ancamkan dengan hukuman tersebut tetap
terjadi. Namun dari kasus-kasus tersebut tidak semuanya dijatuhkan pidana mati, walaupun memang
penulis tidak memperoleh data empiris pasti terkait dengan penjatuhan pidana
mati di Indonesia. Namun kenyataannya hakim di Indonesia memang jarang
menerapkan pidana mati ini.
Adanya
ancaman pidana mati adalah sebagai suatu Social
Defence, menurut Hartawi A.M
"Pidana mati merupakan suatu alat pertahanan sosial untuk menghindarkan
masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman bahaya besar yang
mungkin terjadi dan yang akan menimap masyarakat yang telah atau mengakibatkan
kesengsaraan dan mengganggu kehidupan bermasyarakat, beragama, dan
bernegara".[12]
Jika
pihak yang menentang adanya pidana mati ditinjau dari argumentasi yang bertolak
pada hak untuk hidup orang yang dijatuhi pidana mati maka sesungguhnya
pandangan ini malah menghilangkan kualitas sifat jahat dari perbuatan atau
kejahatan yang dilakukan oleh si pelaku sehingga yang bersangkutan diancam
pidana mati. Padahal jika kejahatan tersebut diancam pidana mati itu adalah
kejahatan yang sesungguhnya secara langsung maupun tidak langsung menyerang hak
untuk hidup dan hak atas kehidupan.
Pengancaman
pidana mati terhadap pelaku dirasa sudah tepat dalam hal tujuan pemidanaan,
jika dengan alasan HAM berupa hak hidup seorang terpidana yang misalnya, telah
terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi pidana mati dipersoalkan,
lantas bagaimana dengan hak hidup hidup masyarakat terhadap akibat dari
perbuatan pelaku. Tampak, penolakan hukum mati itu lebih untuk menyelamatkan
pelaku tetapi mengabaikan hak hidup masyarakat umumnya. Sehingga kalau
dengan alasan pelangggaran HAM, pidana mati ingin dihapuskan hal tersebut yang
justru mengingkari kostitusi.
Sesungguhnya
jika hanya berpandangan dari segi pidana mati bagi si pelaku tanpa melihat pada
korban maka ini akan mencederai rasa keadilan itu sendiri. Tentunya juga harus
dilihat secara proporsional antara si pelaku dan si korban. Pidana mati tidak
bisa dikatakan bertentangan dengan Hak asasi manusia hal ini disebabkan karena
negara akan menghukum mati apabila yang bersangkutan telah menempuh segala
jalur hukum yang telah ditentukan. Kalau orang tidak salah tidak diadili terus
ditembak itu Baru melanggar Hak Asasi Manusia. Disamping itu Indonesia
menerapkan pidana mati bukan berarti nilai-nilai kemanusiaan dikesampingkan,
ketentuan-ketentuan
hukum pidana Indonesia disamping memuat sistem pidana mati, juga memuat
Fasilitas-fasilitas berupa upaya-upaya hukum seperti: banding, kasasi
peninjauan kembali ataupun grasi, yang memungkinkan siterhukum lepas dari
pidana mati.
Penjatuhan
hukuman dalam hal ini merupakan bagian dari kewenangan dan tugas pemerintah
yang juga diatur dalam undang-undang. Dalam konteks penjatuhan Pidana mati, hal tersebut tidak bisa
dikatakan bertentangan dengan HAM, karena negara melalui pemerintah akan
menjatuhkan pidana mati tentunya apabila yang bersangkutan telah memenuhi
unsur-unsur perbuatan pidana sehingga dapat dipidana. Dengan kata lain
pemberlakuan tersebut nantinya melalui beberapa tahapan proses terlebih dahulu.
Salah
satu kekuasaan yang dimiliki oleh Negara adalah kekuasaan membentuk dan
menegakkan hukum. Dengan sendirinya hukum juga harus dibuat dan ditegakkan
dengan orientasi utama untuk memberikan perlindungan HAM. Hukum inilah yang
menjadi dasar legitimasi dari setiap tindakan yang dilakukan oleh Negara.[13]
Dengan
ditiadakannya pidana mati, seseorang bisa saja tidak takut melakukan kejahatan,
karena pelaku berpandangan bahwa ia tidak akan dihukum mati. Akibatnya, masyarakat direnggut haknya untuk mendapatkan
rasa aman dan bebas dari ancaman.
Bahwa
dengan adanya lembaga pidana mati yang dilaksanakan oleh pengadilan ini sejak
dulu kala mengundang berbagai pendapat yang sampai kini belum menemui kata
sepakat. Memang dapatlah dikatakan bahwa lembaga pidana mati merupakan salah
satu jenis pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP. Disamping itu
pidana mati juga merupakan hal yang kontroversial, dalam arti bahwa ada dua
pendapat dengan pangkal tolak yang sama tetapi berakhir dengan hasil yang
berlainan. Perbedaan pendapat tersebut dikarenakan disatu pihak tidak
menyetujui pidana mati. Hal ini tentunya dengan argumentasi masing- masing.
Bahwa
masalah pidana mati bukanlah merupakan permasalahan yang timbul hanya di
Indonesia saja serta bukan pula merupakan monopoli Indonesia, oleh karena telah
berabad-abad pelaksanaan pidana mati selalu terdengar dimana-mana menjadi
pembahasan yang nampaknya tidak akan kunjung habis selama dunia ini berputar.
Eksistensi
pidana mati dalam mengarungi sejarah hidupnya didalam perundang-undangan pidana
Indonesia telah banyak sarjana/ ahli hukum yang menentangnya, namun
kenyataannya sampai sekarang pidana mati masih mempunyai hak hidup dalam
perundang-undangan pidana di negara RI.
Memang
penolakan eksistensi pidana mati maupun adanya himbauan penundaan pelaksanaan
pidana mati mempunyai dasar pemikiran yang dalam, terlebih-lebih dikaitkan
dengan dasar falsafah bangsa dan negara yaitu Pancasila. Yang antara lain
didalamnya terdapat sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila Kemanusiaan yang adil
dan beradab.
Pancasila
meletakkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dan Kemanusiaan
yang adil dan beradab sebagai sila kedua. Pengakuan bahwa bangsa Indonesia
berketuhanan YME ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
agamis dan tidak beragama. Hal ini juga dibuktikan dengan pengakuan Negara atas
beragam agama yang dianut oleh masyarakat serta adanya jaminan dari
Negara atas kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya
masing-masing.
Apabila
masalah ancaman pidana mati kita kaitkan dengan sila-sila tersebut, nampak
sekali seolah-olah pidana mati itu tidak dijiwai oleh sila-sila tersebut. Namun apakah falsafah bangsa
dan negara kita yaitu Pancasila dengan sila Ketuhahan Yang Maha Esa menurut
Kemanusiaan yang adil dan beradab itu hanya berlaku dan melindungi si terpidana
mati ansich, ataukah berlaku untuk melindungi juga para korban yang telah dibunuh
secara kejam oleh si terpidana mati itu?.
Dalam
hubungan ini penulis berpendapat bahwa tidak suatu masyarakat pun di dunia yang
secara asasi membiarkan perbuatan-perbuatan pembunuhan, perampokan, pemerkosaan dengan keji dan
sebagainya, kecuali dimana hukum dari yang paling kuat yang berlaku. Mengingat
ancaman pidana mati di Indonesia sampai sekarang tercantum dalam hukum positif
melalui Pasal 10 a KUHP selaku salah satu jenis hukum pokok, permasalahannya
sekarang ialah : bagaimana kita dapat menggunakan dan memanfaatkan pidana mati
tersebut secara tepat dan penuh tanggung jawab dan penerapan ancaman pidana
mati tersebut sebagai tindakan. terakhir.
Selanjutnya
apakah ancaman pidan mati masih perlu dipertahankan dalam perundang-undangan
positif di negara kita, mengingat negara RI adalah negara yang memiliki dasar
negara Pancasila. Dalam hubungan ini, sebagaimana diketahui bahwa penerapan
ancaman pidana mati adalah sebagai tindakan terakhir. Hal ini berarti bahwa
tindakan terakhir itu ialah suatu keadaan yang sedemikian rupa dan dipandang
dari sudut etika dan Pancasila penjatuhan pidana mati itu dapat dibenarkan.
Hal
ini sesuai dengan pendapat Bung Hatta yang mengatakan bahwa: "Ketuhanan
Yang Maha Esa menjiwai cita-cita hukum Indonesia", oleh karena itu ancaman
dan pelaksanaan pidana harus berpedoman kepada sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sehingga dalam membicarakan pidana mati dan Ketuhanan Yang Maha Esa harus
dilihat dari segi agama. Keadaan ini membawa konsekwensi logis, yaitu para hakim dalam
mengadili suatu perkara pidana yang dapat diancam pidana mati tidak selalu
menjatuhkan putusan pidana mati.
Selanjutnya
dengan mengingat bahwa dasar negara kita adalah secara idiil yaitu Pancasila
dan secara konstitusionil ialah Undang Undang Dasar 1945 serta bermaksud untuk
melindungi rakyat banyak yang sedang melaksanakan pembangunan nasional sesuai
dengan asas keserasian, keselarasan dan keseimbangan, serta mengingat pula
bahwa negara dan bangsa Indonesia sampai sekarang masih menghadapi usaha-usaha
subversi dan unsur-unsur lainnya (Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/1978), maka
ancaman pidana mati masih diperlukan dan dipertahankan di dalam
perundang-undangan pidana, baik didalam KUHP maupun diluar KUHP.
C. PENUTUP
Pidana mati di Indonesia masih
tetap diterapkan karena sesungguhnya pidana mati bukanlah tindakan yang
inskonstitusional dan melanggar HAM karena secara yuridis formal dengan
berdasarkan pada International Covenant
on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life), juga hukum nasional
menurut UUD 1945, Pasal 9 beserta penjelasan Undang-undang No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia maupun melalui Putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 maka
legalitas pidana mati untuk diterapkan di Indonesia semakin kuat.
Pengancaman pidana
mati terhadap pelaku dirasa sudah tepat dalam hal tujuan pemidanaan, jika
dengan alasan HAM berupa hak hidup seorang terpidana yang misalnya, telah
terbukti melakukan tindak pidana korupsi pidana mati dipersoalkan, lantas bagaimana
dengan hak hidup hidup masyarakat terhadap akibat dari perbuatan pelaku.
Tampak, penolakan hukum mati itu lebih untuk menyelamatkan pelaku tetapi
mengabaikan hak hidup masyarakat umumnya. Sehingga kalau dengan alasan
pelangggaran HAM pidana mati ingin dihapuskan hal tersebut yang justru
mengingkari kostitusi.
[1]J.
E Sahetapi. Ancaman Pidana Mati Terhadap
Pembunuhan Berencana. (Malang: Setara Press). 2009, hlm. xxii
[2]Penghapusan Pidana Mati Menuntut Sejumlah
Perubahan Undang-Undang, http:/www.solusihukunt com. diakses 12 Februari
2012.
[3]J.E
Sahetapy. Op. cit, hlm. 94.
[4]Todung
Mulya Lubis dan Alexander Lay. Kontroversi
Hukuman Mati (Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi). (Jakarta: Kompas).
2009. hlm. Xi.
[5]J.
E Sahetapi. Op. cit, hlm. Xxvii.
[6]Nelvitia
Purba, Kajian Hak Asasi Manusia Terhadap
Pelaksanaan Hukuman Mati Di Kota Medan, (Medan: Makalah), 2007. hlm. 9.
[7]Muladi
& Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan
Kebijakan pidana, Bandung : Alumni Bandung, 1984, hlm. 10-11.
[8]Todung
Mulya Lubis dan Alexander Lay. Op. cit,
hlm. Xiii.
[9]Subekti
dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta-
Pradnya Paramita), 1980, hlm. 83.
[10]Tim
Imparsial. Menggugat Hukuman Mati di
Indonesia. (Jakarta: Imparsial). 2010, hlm xv
[11]J.
E Sahetapy. Op. cit, hlm. 17.
[12]Hartawi.
A.M, dalam Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana
Mati di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 1983, hlm. 29.
DAFTAR
PUSTAKA
Penghapusan Pidana Mati
Menuntut Sejumlah Perubahan Undang-Undang,
http:/www.solusihukum.com. diakses 12 Februari 2012.
Hartawi.
A.M, dalam Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, 1983. Pidana Mati di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, Jakarta.
J. E
Sahetapi. 2009. Ancaman Pidana Mati
Terhadap Pembunuhan Berencana. (Malang: Setara Press).
Muladi
& Barda Nawawi Arief, 1984. Teori-teori
dan Kebijakan pidana, Bandung: Alumni.
Nelvitia
Purba, 2007. Kajian Hak Asasi Manusia
Terhadap Pelaksanaan Pidana mati Di Kota Medan, Medan: Makalah.
Subekti
dan Tjitrosoedibio, 1980. Kamus Hukum,
Jakarta: Pradnya Paramita.
Tim
Imparsial. 2010. Menggugat Pidana mati di
Indonesia. (Jakarta: Imparsial).
Todung
Mulya Lubis dan Alexander Lay. 2009, Kontroversi Pidana mati (Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi).
(Jakarta: Kompas).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar