Senin, 22 September 2014

Pidana Mati Ditinjau Dari Aspek Konstitusional Dan Hak Asasi Manusia Volume I No.1 November 2012



MAHKAMAH KONSTITUSI                           PUSAT KAJIAN KONSTITUSI
    REPUBLIK INDONESIA                FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BENGKULU



JURNAL
KONSTITUSI
PKK FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BENGKULU
KERJASAMA DENGAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Volume I No. 1, November 2012



 


Daftar Isi
 


Pengantar Redaksi .........................................................................................................      v

      Kedudukan Desentralisasi dalam Otonomi Daerah
Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Ardilafiza..................................................................................................................      1

       Perizinan Investasi di Sektor Perkebunan pada Era Desentralisasi
Azmi Fendri.............................................................................................................    21

       Peran Komisi Yudisial dalam Pengawasan Hakim
Terhadap Dilema Independensi Kekuasaan Kehakiman
Taufiqurrohman Syahuri............................................................................................    43

       Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dalam UUD RI Tahun 1945
Serta Implementasinya di Indonesia
Nuzulia Kumala Sari.................................................................................................    63

       Kajian Filsafat HUkum Tentang Kedudukan Hukum Dalam Negara
Ditinjau Dari Perspektif Keadilan
Ifrani........................................................................................................................    79

       Pidana Mati Ditinjau Dari Aspek Konstitusional dan Hak Asasi Manusia
Nirmala Sari.............................................................................................................    99








Opini yang dimuat dalam jurnal ini tidak mewakili
pendapat resmi MK & Pengelola Jurnal



 


 



       Legal Standing Anggota Parlemen Dalam Judicial Review Undang-Undang
(Analisis Terhadap Putusan MK No.20/PUU-V/2007
Muh. Risnain............................................................................................................ 115

       Menelusuri Jejak Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Negara Hukum
Kesejahteraan(Suatu Perbandingan Dengan UUD NRI Tahun 1945)
Zainuddin................................................................................................................. 135

       Tindakan Pengusiran Pejabat Diplomatik
Dalam Hubungannya Dengan Doktrin Imunitas Kedaulatan Negara
St. Ulfah................................................................................................................... 153


Biodata Penulis............................................................................................................ 179


Ketentuan Penulisan Jurnal Konstitusi...................................................................... 183











PIDANA MATI DITINJAU DARI ASPEK
KONSTITUSIONAL DAN HAK ASASI
MANUSIA



Nirmala Sari



ABSTRACT

Death penalty is not a cruel punishment or degrading human's dignity. Death penalty is not a contradiction to the human rights regarding to the understanding that the human rights are not unlimited. The limitation might be possible due to the law. The death penalty yet has its relevancy in Indonesia since it is not prohibited under Indonesian law, even strengthened by the decision of The Constitutional Court No. 2-3/PUU-V/2007.



Keywords : Death Penalty, Human Rights.

Keywords: Pidana mati, Hak asasi manusia,


A.     PENDAHULUAN



Pada tataran etika, perdebatan tentang pidana mati di bagi dalam dua konteks filosofi utama, yaitu deontological context dan utilitarian/ consequentialistcontext. Deontologicalcontext menitikberatkan pada persoalan kebenaran atau kesalahan dari hukuman itu sendiri (the righteness or wrongness of the punishment it self), sedangkan utilitarian/ consequentialistcontext menitikberatkan kepada kepentingan dari konsekuensi yang di timbulkannya. Keberatan deontological terhadap pidana mati atas dasar pandangan bahwa pidana mati pada hakekatnya tidak benar dan merupakan pelanggaran hak hidup yang bersifat universal. Pada sisi lain pembenaran deontological pidana mati mendasarkan argumennya bahwa penggunaan pidana mati pada hakekatnya benar, ketika pembalasan terhadap penjahat atas hak hidup dan kebebasan orang lain dianggap adil.[1]

Pidana mati bukanlah suatu masalah baru pada sejarah panjang proses penegakan hukum (law enforcement), melainkan sudah dipertentangkan sejak berabas-abad silam. Terhadap penerapan pidana mati masih banyak sikap pro dan kontra dari berbagai kalangan secara umum. Bagi mereka yang pro pidana mati beralasan bahwa pidana mati adalah tindakan pembalasan terhadap akibat perbuatannya dan hal ini sudah diatur dalam ketentuan undang-undang. Selain itu kalangan pro berusaha mempertahankan dengan alasan bahwa pidana mati telah sesuai dengan ajaran agama (Islam), dan UndangUndang Dasar 1945. Secara singkat pihak yang setuju berargumentasi bahwa pidana mati masih relevan diterapkan di Indonesia dan masih banyak peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman pidana mati dalam hukum posistif Indonesia.
Sedangkan Pihak yang tidak setuju terutama kalangan pengusung HAM menyatakan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia, dengan mengacu kepada UUD 45 yang mengutip Pasal 28 A perubahan kedua yang menyatakan "setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya" dengan demikian hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable human right).[2]
Isu pidana mati selalu menjadi debat yang kontroversial. Pro dan kontra penerapan pidana mati selalu bertarung di tingkatan masyarakat, maupun para pengambil kebijakan. Kontroversi pidana mati juga eksis baik itu di panggung internasional maupun nasional. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang masih menerapkan pidana mati dalam aturan pidananya. Padahal, hingga Juni 2006, lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek pidana mati baik secara de jure atau de facto. Hal ini akhirnya berimbas bagi Indonesia karena kembali memunculkan pro-kontra penerapan pidana mati, karena tampak tak sejalan dengan komitmen Indonesia untuk tunduk pada kesepakatan internasional yang tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR).
Oleh karena itu wajakrlah bahwa pidana mati merupakan suatu problem yang paling kontroversial. Kontroversial dalam arti bahwa ada dua pemikiran dengan pangkal tolak yang sama tetapi berakhir dengan hasil yang berlawanan. Juga kontroversial dalam arti ada dua buah landasan pemikiran yang jelas berbeda atau bertolak belakang sejak semula. Bahkan kontroversial pula karena tidak ada kata sepakat tentang sarana pelaksanaan pidana mati.[3]
Ditengah pro-kontra yang muncul terhadap pidana mati, maka dalam tulisan ini penulis mencoba untuk menelaah pidana mati dengan menelaah dari sudut pandang konstitusionalitas pidana mati itu sendiri.



B.     PEMBAHASAN

1.      Legalitas Pelaksanaan Pidana mati Dalam Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia



Jika di tinjau secara Konstitusional, hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun. Namun dalam prakteknya pidana mati masih berlaku di Indonesia sehingga perdebatan muncul ketika banyak orang yang mulai menanyakan apakah pidana mati masih relevan atau layak diterapkan sebagai suatu hukuman di Indonesia. Pertanyaan tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan, namun kebanyakan dari mereka menganggap pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu terdapat dalam UUD 1945 pasal 28A yang mengatakan "setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya". Sehingga mereka menganggap bahwa

hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Muncul pendapat yang menyatakan pidana mati sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman. Karena dari studi ilmiah terhadap hukuman-pidana mati yang dilakukan beberapa lembaga di dunia pun menunjukkan bahwa pidana mati gagal membuat jera dan tidak efektif dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Hasil survei PBB antara 1998 hingga 2002 tentang korelasi antara praktek pidana mati dan angka kejahatan menyebutkan hukuman tidak lebih baik daripada hukuman seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Hasil studi tersebut secara signifikan mempengaruhi keputusan beberapa negara untuk menghapuskan pidana mati. Hingga saat ini terdapat 68 negara yang masih menerapkan praktek pidana mati, termasuk Indonesia. Sedangkan Negara yang menghapuskan pidana mati untuk seluruh kejahatan adalah sebanyak 75 negara. Selain itu, terdapat 14 negara yang menghapuskan pidana mati untuk kategori kejahatan pidana, 34 negara yang secara de facto tidak menerapkan pidana mati walaupun terdapat ketentuan pidana mati. Dengan demikian, perdebatan tentang pidana mati walaupun telah berlangsung lama, masih tetap akan ada dan berlanjut di masa yang akan datang.[4]
Dalam perdebatan pidana mati di Indonesia, ada dua mainstream wacana yang berhadap-hadapan, yakni yang setuju terhadap pidana mati (abolisionis), pihak yang setuju terhadap pidana mati setidaknya berpendapat bahwa pidana mati diperlukan untuk mengurangi kejahatan, selain itu juga dapat menjadi pelajaran bagi yang lain untuk melakukan kejahatan, sedangkan bagi yang tidak setuju menyampaikan alasannya yang hampir senada dengan komunitas internasional dan juga keraguan terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia yang masih tidak kredibel. Alasan penghapusan pidana mati lazimnya tidak bersangkut paut dengan soal-soal yang terletak dalam bidang politik atau keyakinan ideology. Pada umumnya permasalahan penghapusan pidana mati selain merupakan suatu persoalan teoritis-akademis lebih-lebih merupakan problem ilmiah praktis yang di dukung oleh berbagai data dan fakta.[5]
Untuk menjawab perdebatan yang muncul tersebut, maka perlunya kiranya terlebih dahulu dengan menelaah dari pidana mati yang berlaku saat ini. Menelaah pidana mati dapat dimulai dengan meninjau dulu dari hukum internasional. Secara internasional ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak hidup dapat ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life). Dari ketentuan Pasal 6 ICCPR ternyata pidana mati tersebut masih diakui untuk dapat diterapkan dinegara-negara yang telah meratifikasi Kovenan ini. Bahwa Pasal 6 ICCPR masih mengakui pidana mati juga mengingat adanya ketentuan-ketentuan yang mengikutinya yang mengatur pembatasan terhadap hukum mati. Ketentuan-ketentuan yang mengikuti pasal 6 ayat (1), yaitu pasal 6 ayat (2) sampai dengan (6) adalah:
(    1)   setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu.
(   2)   Di negara-negara yang belum menghapuskan pidana mati, utusan pidana mati hanya dapat dijatuhkan terhadap kejahatan yang paling berat sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan ini dan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida.
(    3)   Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar putusan akhir yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang (competent).
(    4)   Siapapun yang dijatuhi hukum mati mempunyai hak untuk mendapatkan pengampunan atau keringanan hukuman. Amnesti, pengampunan atau pengurangan pidana mati dapat diberikan dalam semua kasus.
(    5)   Pidana mati tidak dapat dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dibawah usia delapan belas tahun, dan tidak dapat dilaksanakan pada perempuan yang tengah mengandung.
(   6)   Tidak ada satupun dalam Pasal ini yang dapat digunakan untuk menunda atau mencegah penghapusan pidana mati oleh Negara-negara Pihak pada Kovenan. ini.
Selanjutnya mencermati pidana mati dalam hukum positif Indonesia maka dapat dimulai dari KUHP Bab II mengenai Pidana, pada Pasal 10 menyatakan mengenai macam-macam bentuk pidana, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Dan pidana mati termasuk jenis pidana pokok yang menempati urutan yang pertama.[6]
Peraturan perundang-undang yang lain yang ada di Indonesia, juga banyak yang mencantumkan ancaman pemidanaan berupa pidana mati, misalkan Undang-undang No. 7/ Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Perppu Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah disahkan menjadi Undang-undang.
Dari adanya pidana mati tersebut maka ditinjau dari segi HAM sebagaimana ada dalam undang-undang yang mengatur mengenai HAM, yaitu Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sesungguhnya pembahasan tentang pidana mati harus dimulai dari pembicaraan hak untuk hidup terlebih dahulu. Dalam undang-undang No. 39 tahun 1999 mengenai hak hidup tercantum dalam Pasal 9 ayat 1 yang menyatakan "setiap orang berhak untuk hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya", secara sekilas pasal ini tidak jauh dengan ketentuan Pasal 28A UUD 1945.
Sesungguhnya jika teliti lagi dengan. menelaah Pasal 28A UUD 1945 dan Penjelasan Pasal 9 Undang-undang No: 39 tahun 1999, dalam penjelasan Pasal 9 ini menyatakan :
"setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang baru lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dibatasi."


Dari penjelasan tersebut dapat kita garis bawahi pada kalimat "...berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan..." sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa walaupun setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya namun dalam keadaan tertentu hak untuk hidup dapat dihilangkan atau dicabut. Apa yang tersebut dalam Pasal 9 dan Penjelasan Pasal 9 Undang-undang No. 39 tahun. 1999 merupakan pengecualian yang telah disebutkan dengan tegas dalam undang-undang jadi jika seseorang terbukti melalukan tindak pidana dan melalui putusan pengadilan menjatuhkan pidana mati maka ini dibenarkan oleh hukum.

Apalagi melalui Putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 maka legalitas pidana mati untuk diterapkan di Indonesia semakin kuat karena melalui putusan MK ini pidana mati tidak bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 ini terkait dengan perkara pengujian ketentuan pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani (Melisa Aprilia), Myuran (Nomor Perkara 02/PUU-V/2007) dan Scott Anthony Rush (Nomor Perkara 03/PUU-V/2007) dan karena menyangkut perkara yang sama maka oleh MK di gabungkan dan disidangkan secara bersama-sama.
Salah satu pertimbangan dari Mahkamah Konstitusi terkait dengan Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 dibangun melalui pemahaman tentang HAM karena tatkala merumuskan Bab XA (Hak Asasi Manusia) rujukannya atau yang melatarbelakanginya adalah Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998, dari Ketetapan MPR inilah yang akhirnya melahirkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Semangat yang dibangun oleh Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah sama yaitu menganut pendirian bahwa HAM bukanlah tanpa batas. Dikatakan pula semangat yang sama juga terdapat dalam UUD 1945, yaitu bahwa HAM bukanlah sebebas-bebasnya melainkan dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Oleh karena itu, penerapan pidana mati di Indonesia bukanlah hal yang melanggar HAM jika dilihat dari aspek peraturan perundang-undangan.
Mahkamah Konstitusi telah mempertimbangkan konstitusional-tidaknya pidana mati dengan mengaitkannya pada kewenangan yang di miliki oleh Mahkamah Konstitusi dalam tugasnya untuk menyelenggarakan peradilan bukan saja untuk menegakkan hukum tetapi juga keadilan. Dalam hubungannya dengan isu pidana mati, menurut Mahkamah Konstitusi keadilan yang ditegakkan berdasar atas hukum itu haruslah senantiasa di buat dengan mengingat pertimbangan-pertimbangan dari berbagai perspektif, yaitu perspektif pidana atau pidana mati itu sendiri, kejahatan yang diancam dengan pidana mati, dan yang tidak kalah pentingnya dari perspektif korban serta keluarga korban dari kejahatan yang diancam pidana mati itu.
Oleh sebab itu, bicara pidana mati tidaklah adil apabila pertimbangan di buat dengan hanya memfokuskan diri pada pandangan dari perspektif pidana mati dan orang-orang yang di hukum pidana mati belaka dengan mengabaikan pertimbangan-pertimbangan dari perspektif kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana mati itu dan dari perspektif korban serta keluarga korban. Untuk itu dalam mencermati pidana mati ini, haruslah pula melihat pada kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati yang merupakan kejahatan yang secara langsung maupun tidak langsung menyerang hak untuk hidup (right to life) dan hak atas kehidupan (right of life). Apalagi sesungguhnya pengancaman dengan pidana mati ini justru diterapkan terhadap kejahatan yang justru telah mencederai hak untuk hidup dan hak atas kehidupan.
Jadi perlu diluruskan bahwa anggapan yang mengatakan pidana mati adalah merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah sebenarnya tidak benar karena itu secara hukum nasional pun sebagaimana tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia yang masih merupakan warisan Belanda dan saat ini juga telah ada Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana masih mempertahankan pidana mati. didalam KUHP ini sendiri juga tetap ada mengatur tentang pidana mati dan jenis kejahatan yang diancamkan pidana mati dengan jenis kejahatan yang ada. Namun dalam hal tertentu antara Kejahatan yang Ada di Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan didalam Undang-undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 memiliki beberapa perbedaaan namun perbedaan ini dikarenakan Kejahatan Pembunuhan yang dilakukan didalam pengaturan di KUHP menekankan kepada perorangan sedangkan Kejahatan Pembunuhan yang dilakukan pengaturannnya dalam Undang-undang Hak Asasi Manusia adalah pembunuhan yang dilakukan bersifat untuk sekelompok tertentu apa itu kelompok bangsa, kelompok etnis maupun kelompok bangsa.[7]
Oleh karena itu, belum diterimanya penghapusan pidana mati di Indonesia harus dipahami bahwa kesadaran sejarah masyarakat Indonesia belum dapat menerima penghapusan pidana mati. Pidana mati masih dipahami masih dipahami sebagai sesuatu yang sah secara hukum maupun moral. Kalaupun- pidana mati melanggar hak hidup, pelanggaran tersebut dapat dibenarkan sebagai hukuman atas tindak pidana tertentu. Namur, kesadaran sejarah tersebut tentu akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan masyarakat Indonesia dan munculnya pemikiran-pemikiran baru yang mendasari upaya penghapusan pidana mati.[8]




2.      Penegakan Hukum Melalui Pidana mati

Sejalan dengan perkataaan "pidana" berasal dari bahasa sansekerta, dalam bahasa Belanda disebut "straf" dan dalam bahas inggris disebut "penalty" yang artinya "hukuman". Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam bukunya kamus hukum, "pidana" adalah "hukuman", maka "pidana mati" berarti hukuman yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana dengan menghabisi nyawanya.[9] Sehingga menurut teori absolut Pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.

Hukuman dan kemanusiaan adalah dua keping dari mata uang keadaban yang sama. Manusia adalah satu-satunya makhluk tuhan yang dikaruniai kehendak bebas. Dengan kehendak sadarnya manusia memilih untuk berbuat jahat. Untuk itu, hukuman hanya dapat ditimpakan pada manusia. Bentuk hukuman yang paling ultim adalah pidana mati. Disebut ultim sebab pelaku tidak sekedar diisolasi sementara dari masyarakat melainkan dilenyapkan secara total hak hidupnya.[10]
Pidana mati pun bukanlah suatu hal yang baru dalam sejarah kemanusiaan. Ungkapan hakim Inggris dalam abad ke- 18 yang kini sudah termasyhur dalam kalangan sarjana hukum pidana dan terutama dalam kalangan sarjana kriminologi ialah: "you are to be hanged, not because you have stolen a sheep but in order that others may not steal sheep". Ternyata pidana mati bukanlah obat yang mujarab sebab domba-domba tetap di curi sampa sekarang.[11]
Sesungguhnya demikian pula di Indonesia, kendatipun adanya ancaman pidana mati namun tetap saja terjadi kasus-kasus yang di ancamkan dengan hukuman tersebut tetap terjadi. Namun dari kasus-kasus tersebut tidak semuanya dijatuhkan pidana mati, walaupun memang penulis tidak memperoleh data empiris pasti terkait dengan penjatuhan pidana mati di Indonesia. Namun kenyataannya hakim di Indonesia memang jarang menerapkan pidana mati ini.
Adanya ancaman pidana mati adalah sebagai suatu Social Defence, menurut Hartawi A.M "Pidana mati merupakan suatu alat pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi dan yang akan menimap masyarakat yang telah atau mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggu kehidupan bermasyarakat, beragama, dan bernegara".[12]
Jika pihak yang menentang adanya pidana mati ditinjau dari argumentasi yang bertolak pada hak untuk hidup orang yang dijatuhi pidana mati maka sesungguhnya pandangan ini malah menghilangkan kualitas sifat jahat dari perbuatan atau kejahatan yang dilakukan oleh si pelaku sehingga yang bersangkutan diancam pidana mati. Padahal jika kejahatan tersebut diancam pidana mati itu adalah kejahatan yang sesungguhnya secara langsung maupun tidak langsung menyerang hak untuk hidup dan hak atas kehidupan.
Pengancaman pidana mati terhadap pelaku dirasa sudah tepat dalam hal tujuan pemidanaan, jika dengan alasan HAM berupa hak hidup seorang terpidana yang misalnya, telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi pidana mati dipersoalkan, lantas bagaimana dengan hak hidup hidup masyarakat terhadap akibat dari perbuatan pelaku. Tampak, penolakan hukum mati itu lebih untuk menyelamatkan pelaku tetapi mengabaikan hak hidup masyarakat umumnya. Sehingga kalau dengan alasan pelangggaran HAM, pidana mati ingin dihapuskan hal tersebut yang justru mengingkari kostitusi.
Sesungguhnya jika hanya berpandangan dari segi pidana mati bagi si pelaku tanpa melihat pada korban maka ini akan mencederai rasa keadilan itu sendiri. Tentunya juga harus dilihat secara proporsional antara si pelaku dan si korban. Pidana mati tidak bisa dikatakan bertentangan dengan Hak asasi manusia hal ini disebabkan karena negara akan menghukum mati apabila yang bersangkutan telah menempuh segala jalur hukum yang telah ditentukan. Kalau orang tidak salah tidak diadili terus ditembak itu Baru melanggar Hak Asasi Manusia. Disamping itu Indonesia menerapkan pidana mati bukan berarti nilai-nilai kemanusiaan dikesampingkan, ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia disamping memuat sistem pidana mati, juga memuat Fasilitas-fasilitas berupa upaya-upaya hukum seperti: banding, kasasi peninjauan kembali ataupun grasi, yang memungkinkan siterhukum lepas dari pidana mati.
Penjatuhan hukuman dalam hal ini merupakan bagian dari kewenangan dan tugas pemerintah yang juga diatur dalam undang-undang. Dalam konteks penjatuhan Pidana mati, hal tersebut tidak bisa dikatakan bertentangan dengan HAM, karena negara melalui pemerintah akan menjatuhkan pidana mati tentunya apabila yang bersangkutan telah memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana sehingga dapat dipidana. Dengan kata lain pemberlakuan tersebut nantinya melalui beberapa tahapan proses terlebih dahulu.
Salah satu kekuasaan yang dimiliki oleh Negara adalah kekuasaan membentuk dan menegakkan hukum. Dengan sendirinya hukum juga harus dibuat dan ditegakkan dengan orientasi utama untuk memberikan perlindungan HAM. Hukum inilah yang menjadi dasar legitimasi dari setiap tindakan yang dilakukan oleh Negara.[13]
Dengan ditiadakannya pidana mati, seseorang bisa saja tidak takut melakukan kejahatan, karena pelaku berpandangan bahwa ia tidak akan dihukum mati. Akibatnya, masyarakat direnggut haknya untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari ancaman.
Bahwa dengan adanya lembaga pidana mati yang dilaksanakan oleh pengadilan ini sejak dulu kala mengundang berbagai pendapat yang sampai kini belum menemui kata sepakat. Memang dapatlah dikatakan bahwa lembaga pidana mati merupakan salah satu jenis pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP. Disamping itu pidana mati juga merupakan hal yang kontroversial, dalam arti bahwa ada dua pendapat dengan pangkal tolak yang sama tetapi berakhir dengan hasil yang berlainan. Perbedaan pendapat tersebut dikarenakan disatu pihak tidak menyetujui pidana mati. Hal ini tentunya dengan argumentasi masing- masing.
Bahwa masalah pidana mati bukanlah merupakan permasalahan yang timbul hanya di Indonesia saja serta bukan pula merupakan monopoli Indonesia, oleh karena telah berabad-abad pelaksanaan pidana mati selalu terdengar dimana-mana menjadi pembahasan yang nampaknya tidak akan kunjung habis selama dunia ini berputar.
Eksistensi pidana mati dalam mengarungi sejarah hidupnya didalam perundang-undangan pidana Indonesia telah banyak sarjana/ ahli hukum yang menentangnya, namun kenyataannya sampai sekarang pidana mati masih mempunyai hak hidup dalam perundang-undangan pidana di negara RI.
Memang penolakan eksistensi pidana mati maupun adanya himbauan penundaan pelaksanaan pidana mati mempunyai dasar pemikiran yang dalam, terlebih-lebih dikaitkan dengan dasar falsafah bangsa dan negara yaitu Pancasila. Yang antara lain didalamnya terdapat sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pancasila meletakkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dan Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai sila kedua. Pengakuan bahwa bangsa Indonesia berketuhanan YME ini membuktikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang agamis dan tidak beragama. Hal ini juga dibuktikan dengan pengakuan Negara atas beragam agama yang dianut oleh masyarakat serta adanya jaminan dari Negara atas kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya masing-masing.
Apabila masalah ancaman pidana mati kita kaitkan dengan sila-sila tersebut, nampak sekali seolah-olah pidana mati itu tidak dijiwai oleh sila-sila tersebut. Namun apakah falsafah bangsa dan negara kita yaitu Pancasila dengan sila Ketuhahan Yang Maha Esa menurut Kemanusiaan yang adil dan beradab itu hanya berlaku dan melindungi si terpidana mati ansich, ataukah berlaku untuk melindungi juga para korban yang telah dibunuh secara kejam oleh si terpidana mati itu?.
Dalam hubungan ini penulis berpendapat bahwa tidak suatu masyarakat pun di dunia yang secara asasi membiarkan perbuatan-perbuatan pembunuhan, perampokan, pemerkosaan dengan keji dan sebagainya, kecuali dimana hukum dari yang paling kuat yang berlaku. Mengingat ancaman pidana mati di Indonesia sampai sekarang tercantum dalam hukum positif melalui Pasal 10 a KUHP selaku salah satu jenis hukum pokok, permasalahannya sekarang ialah : bagaimana kita dapat menggunakan dan memanfaatkan pidana mati tersebut secara tepat dan penuh tanggung jawab dan penerapan ancaman pidana mati tersebut sebagai tindakan. terakhir.
Selanjutnya apakah ancaman pidan mati masih perlu dipertahankan dalam perundang-undangan positif di negara kita, mengingat negara RI adalah negara yang memiliki dasar negara Pancasila. Dalam hubungan ini, sebagaimana diketahui bahwa penerapan ancaman pidana mati adalah sebagai tindakan terakhir. Hal ini berarti bahwa tindakan terakhir itu ialah suatu keadaan yang sedemikian rupa dan dipandang dari sudut etika dan Pancasila penjatuhan pidana mati itu dapat dibenarkan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Bung Hatta yang mengatakan bahwa: "Ketuhanan Yang Maha Esa menjiwai cita-cita hukum Indonesia", oleh karena itu ancaman dan pelaksanaan pidana harus berpedoman kepada sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga dalam membicarakan pidana mati dan Ketuhanan Yang Maha Esa harus dilihat dari segi agama. Keadaan ini membawa konsekwensi logis, yaitu para hakim dalam mengadili suatu perkara pidana yang dapat diancam pidana mati tidak selalu menjatuhkan putusan pidana mati.
Selanjutnya dengan mengingat bahwa dasar negara kita adalah secara idiil yaitu Pancasila dan secara konstitusionil ialah Undang Undang Dasar 1945 serta bermaksud untuk melindungi rakyat banyak yang sedang melaksanakan pembangunan nasional sesuai dengan asas keserasian, keselarasan dan keseimbangan, serta mengingat pula bahwa negara dan bangsa Indonesia sampai sekarang masih menghadapi usaha-usaha subversi dan unsur-unsur lainnya (Ketetapan MPR RI Nomor VIII/MPR/1978), maka ancaman pidana mati masih diperlukan dan dipertahankan di dalam perundang-undangan pidana, baik didalam KUHP maupun diluar KUHP.





C.     PENUTUP


Pidana mati di Indonesia masih tetap diterapkan karena sesungguhnya pidana mati bukanlah tindakan yang inskonstitusional dan melanggar HAM karena secara yuridis formal dengan berdasarkan pada International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life), juga hukum nasional menurut UUD 1945, Pasal 9 beserta penjelasan Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun melalui Putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 maka legalitas pidana mati untuk diterapkan di Indonesia semakin kuat.

Pengancaman pidana mati terhadap pelaku dirasa sudah tepat dalam hal tujuan pemidanaan, jika dengan alasan HAM berupa hak hidup seorang terpidana yang misalnya, telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi pidana mati dipersoalkan, lantas bagaimana dengan hak hidup hidup masyarakat terhadap akibat dari perbuatan pelaku. Tampak, penolakan hukum mati itu lebih untuk menyelamatkan pelaku tetapi mengabaikan hak hidup masyarakat umumnya. Sehingga kalau dengan alasan pelangggaran HAM pidana mati ingin dihapuskan hal tersebut yang justru mengingkari kostitusi.







[1]J. E Sahetapi. Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. (Malang: Setara Press).  2009, hlm. xxii
[2]Penghapusan Pidana Mati Menuntut Sejumlah Perubahan Undang-Undang, http:/www.solusihukunt com. diakses 12 Februari 2012.
[3]J.E Sahetapy. Op. cit, hlm. 94.
[4]Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay. Kontroversi Hukuman Mati (Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi). (Jakarta: Kompas). 2009. hlm. Xi.
[5]J. E Sahetapi. Op. cit, hlm. Xxvii.
[6]Nelvitia Purba, Kajian Hak Asasi Manusia Terhadap Pelaksanaan Hukuman Mati Di Kota Medan, (Medan: Makalah), 2007. hlm. 9.
[7]Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan pidana, Bandung : Alumni Bandung, 1984, hlm. 10-11.
[8]Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay. Op. cit, hlm. Xiii.
[9]Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta- Pradnya Paramita), 1980, hlm. 83.
[10]Tim Imparsial. Menggugat Hukuman Mati di Indonesia. (Jakarta: Imparsial). 2010, hlm xv
[11]J. E Sahetapy. Op. cit, hlm. 17.
[12]Hartawi. A.M, dalam Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 1983, hlm. 29.
[13]Tim Imparsial. Op. cit, hlm. 53.

  

DAFTAR PUSTAKA




Penghapusan Pidana Mati Menuntut Sejumlah Perubahan Undang-Undang, http:/www.solusihukum.com. diakses 12 Februari 2012.
Hartawi. A.M, dalam Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, 1983. Pidana Mati di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, Jakarta.
J. E Sahetapi. 2009. Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. (Malang: Setara Press).
Muladi & Barda Nawawi Arief, 1984. Teori-teori dan Kebijakan pidana, Bandung: Alumni.
Nelvitia Purba, 2007. Kajian Hak Asasi Manusia Terhadap Pelaksanaan Pidana mati Di Kota Medan, Medan: Makalah.
Subekti dan Tjitrosoedibio, 1980. Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita.
Tim Imparsial. 2010. Menggugat Pidana mati di Indonesia. (Jakarta: Imparsial).
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay. 2009, Kontroversi Pidana mati (Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi). (Jakarta: Kompas).
 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar