Dr.
Nirmalasari SH., MHum.
PERTAMBANGAN BATUBARA
Kajian dari
Sudut Pandang Kebijakan Hukum Pidana
PERTAMBANGAN BATUBARA
-
Kajian dari Sudut Pandang Kebijakan Hukum Pidana -
Oleh: NIRMALA SARI
Tentang Penulis
Penulis
lahir di Banjarmasin, tahun 1962. Lulus Fakultas Hukum Universitas Lambung
Mangkurat tahun 1986.
Melanjutkan
dan lulus studi pasca sarjana untuk memperoleh gelar Master Humaniora pada Program
Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro tahun 1999. Saat ini sedang menempuh
pendidikan pada Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro, Semarang.
Menjadi
Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat sejak tahun 1989.
Penulis
menaruh perhatian khusus terhadap masalah-masalah lingkungan hidup, jender dan
perkembangan hukum pidana.
Kata Pengantar
Pembangunan
di masa depan sangat tergantung pada ketersediaan jangka panjang energi,
padahal sumber energi primer masa kini sebagian besar bersifat tidak dapat
diperbaharui, seperti migas.
Salah
satu sumber energi yang diharapkan dapat menggantikan bahan bakar migas di masa
yang akan datang adalah batubara. Saat ini Indonesia memiliki cadangan batubara
sekitar 276 milyar ton yang tersebar di beberapa pulau, khususnya Sumatera dan
Kalimantan.
Dengan
potensi cadangan batubara yang besar, kebijakan di sektor pertambangan
diarahkan untuk menghasilkan batubara sebagai bahan baku bagi industri dalam
negeri maupun sebagai sumber devisa, sehingga dapat menghasilkan nilai tambah
yang setinggi-tingginya dan menciptakan lapangan kerja yang sebesar-besarnya.
Pembangunan sektor ini juga diharapkan membawa manfaat yang sebesar-besarnya
bagi pengembangan wilayah, pembangunan daerah, dan peningkatan kesejahteraan
rakyat Indonesia.
Dengan dilakukannya
eksploitasi besar-besaran terhadap tambang batubara, maka timbul dampak negatif
berupa tercemar dan rusaknya lingkungan hidup baik dalam skala lokal maupun
global. Dalam skala lokal, lahan bekas penambangan batubara yang tidak segera
dilakukan reklamasi mengakibatkan timbulnya kerusakan morfologi dan bentang
alam atau struktur tanah. Tanah yang pada mulanya berbentuk perbukitan, berubah
menjadi goa-goa besar, danau-danau raksasa yang airnya meluap keluar dan
membanjiri daerah pemukiman penduduk. Di musim hujan tebing ‘danau-danau’ itu
longsor dan menutupi daerah persawahan. Limbah cair bekas penambangan mencemari
sungai-sungai sehingga mengakibatkan turunnya kualitas air yang menjadi sumber
kehidupan penduduk di sekitarnya. Debu tanah dan debu batubara yang tebal
menyebabkan turunnya kualitas udara yang sangat potensial menimbulkan berbagai
macam penyakit, khususnya berbagai jenis penyakit pernafasan.
Dampak
dalam skala global, adalah semakin panasnya temperatur bumi akibat pembakaran
batubara, perombakan hutan untuk melakukan penambangan yang tidak terkendali (deforestation) yang dapat merusak
lapisan ozon yang berfungsi melindungi kehidupan makhluk dan tata lingkung
permukaan bumi.
Buku
dengan judul “Pertambangan Batubara –Kajian dari Sudut Pandang Kebijakan Hukum
Pidana-” ini memaparkan tentang pengusahaan pertambangan batubara di Indonesia.
Pemaparan tentang pengusahaan pertambangan batubara berikut dampak lingkungan
hidup yang timbul, dikaji dari sudut pandang kebijakan hukum pidana.
Sampai
saat ini, kebijakan untuk menggunakan sarana hukum pidana dalam rangka
memberikan jaminan ditaatinya ketentuan perundang-undangan di bidang
pertambangan dan lingkungan hidup masih diperlukan. Hal tersebut tidak terlepas
dari fungsi hukum pidana sebagai administrative
penal law.
Penulisan
buku ini tidak terlepas dari dorongan, dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak, baik secara perorangan maupun kelembagaan. Untuk itu dalam kesempatan
ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada
pihak-pihak yang membantu penyusunan buku ini.
Terimakasih
penulis sampaikan kepada Kakanwil Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan
Selatan dan Bapak Darwoto, atas bantuan dan bimbingan yang telah diberikan.
Terimakasih kepada Direktur dan Staf PT.
Adaro Indonesia, Pengurus dan karyawan KUD Bersama Binuang, serta Pengurus dan
karyawan KUD Usaha Karya, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada
penulis untuk melakukan penelitian di lokasi pertambangan batubara yang
bersangkutan. Terimakasih juga tak lupa penulis haturkan kepada kedua orang tua
penulis, Guru-guru penulis, suami penulis, anak-anak penulis, kakak-kakak dan
adik-adik penulis, serta teman-teman penulis, yang tanpa mereka penulis merasa tidak
berarti apa-apa.
Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa, buku ini tidak lepas dari berbagai kekurangan.
Kritik dan saran kostruktif dari pembaca sangat penulis harapkan. Akhirnya,
semoga buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Penulis
Nirmala Sari
DAFTAR ISI
Pengantar
Penulis ...................................................................................
iv
Bab I Pendahuluan............................................................................ 1
Bab II Pengusahaan
Pertambangan batu Bara
.....................................16
A. Tinjauan
umum tentang Batubara........................................16
B. Kebijakan
Pengembangan Pertambangan Batubara.............27
Bab
III Dampak Lingkungan Hidup dan Korban
yang Timbul
akibat
Pengusahaan Pertambangan batu bara............................40
A.
Tinjauan Umum tentang Dampak Lingkungan
Hidup
akibat Pengusahaan Pertambangan Batubara............40
B.
Korban yang Timbul Akibat Pengusahaan
Pertambangan Batu Bara...................................................46
Bab IV Kebijakan
Hukum Pidana dalam Penanggulangan
Dampak
Lingkungan Hidup akibat
Pengusahaan
Pertambangan Batubara.....................................59
A. Pengertian
dan Ruang Lingkup Kebijakan
hukum Pidana..................................................................59
B.
Kedudukan kebijakan Hukum Pidana dalam
Kebijakan
Hukum Lingkungan.........................................74
C. Peranan hukum Pidana dalam Penanggulangan
Dampak
Lingkungan Hidup Akibat
Pengusahaan
Pertambangan Batubara..............................85
Bab
V Penutup................................................................................104
A. Kesimpulan
Umum.........................................................104B. Kesimpulan Khusus.......................................................106
C. Rekomendasi/Saran......................................................108
BAB
I
PENDAHULUAN
Bangsa
Indonesia menyadari bahwa kekayaan alam adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa
yang wajib dilestarikan dan dikembangkan agar dapat tetap menjadi sumber dan
penunjang hidup manusia serta makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan
kualitas kehidupan itu sendiri. Hal tersebut sejalan dengan apa yang
diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 bahwa, bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Dalam
rangka pendayagunaan sumber daya alam sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat,
maka pembangunan dilakukan secara terencana, rasional, optimal,
bertanggungjawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya, dengan
mengutamakan sebesar-besar kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian
fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Tata ruang nasional yang berwawasan nusantara dijadikan pedoman bagi
perencanaan pembangunan agar penataan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber
daya alam dapat dilakukan secara aman, tertib, efisien, dan efektif.[1]
Pembangunan
ekonomi yang mengelola kekayaan bumi Indonesia seperti kehutanan dan
pertambangan, dilakukan dengan memperhatikan bahwa pengelolaan sumber daya alam
disamping untuk memberi kemanfaatan masa kini, juga harus menjamin kehidupan
masa depan. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resource) seperti hutan, harus dikelola secara bijaksana
sehingga fungsinya dapat selalu terpelihara, sedangkan sumber daya alam yang
tidak dapat diperbaharui (non-renewable
resource) seperti tambang minyak dan gas (migas), batubara, biji besi dan
lain-lainnya harus digunakan secara rasional dan bijaksana, sehingga
pemanfaatannya dapat bertahan selama mungkin.[2]
Hal ini berarti sangat disadari bahwa tanpa pengelolaan yang rasional dan
bijaksana, sebesar apapun sumber daya alam itu, tidak akan mendatangkan
kemanfaatan yang maksimal bagi kesejahteraan bangsa, khususnya generasi yang
akan datang.
Pembangunan
di masa depan sangat tergantung pada ketersediaan jangka panjang energi,
padahal sumber energi primer masa kini sebagian besar bersifat tidak dapat
diperbaharui seperti migas. Menurut perhitungan para ahli, hingga saat ini
tidak ada satupun sumber atau gabungan beberapa sumber energi yang ada, dapat
memenuhi kebutuhan masa depan tersebut.[3]
Meskipun sebenarnya sumber energi primer lainnya seperti matahari, angin dan
gelombang masih sangat besar, akan tetapi pemanfaatannya memerlukan teknologi
tinggi yang berarti memerlukan biaya besar pula.
Salah
satu sumber energi yang diharapkan dapat menggantikan bahan bakar migas di masa
yang akan datang adalah batubara.[4]
Saat ini Indonesia memiliki cadangan batubara sekitar 276 milyar ton yang
tersebar di beberapa pulau, khususnya Sumatera dan Kalimantan.[5] Dengan potensi cadangan batubara –di samping
bahan tambang lainnya- yang besar, kebijakan di sektor pertambangan diarahkan
untuk menghasilkan bahan tambang sebagai bahan baku bagi industri dalam negeri,
sehingga dapat menghasilkan nilai tambah yang setinggi-tingginya dan
menciptakan lapangan kerja yang sebesar-besarnya. Pembangunan sektor ini juga
diharapkan membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengembangan wilayah,
pembangunan daerah, dan peningkatan taraf hidup rakyat.[6]
Untuk
keperluan tersebut di atas, maka ketentuan tentang pengusahaan pertambangan
dituangkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara (Undang-undang Minerba)[7]
serta berbagai peraturan pelaksanaannya. Peraturan perundang-undangan tersebut
tujuannya di samping untuk memacu perkembangan kegiatan pertambangan juga untuk
memberikan landasan legalitas yang kuat sebagai jaminan perlindungan hukum bagi
investor serta masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan
peraturan-peraturan pertambangan itulah eksplorasi dan eksploitasi terhadap
tambang batubara terus digalakkan guna memenuhi kebutuhan dalam negeri serta
menghasilkan devisa bagi Negara. Dengan dilakukannya eksploitasi besar-besaran
terhadap tambang batubara, maka timbul permasalahan yang merupakan dampak
negatif dari pengusahaan pertambangan tersebut. Dampak itu antara lain berupa
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup baik dalam skala lokal maupun global,
yang potensial menimbulkan berbagai penyakit.
Dalam
skala lokal, hasil penelitian menunjukkan bahwa, lahan bekas penambangan
batubara yang tidak segera dilakukan reklamasi mengakibatkan timbulnya
kerusakan morfologi dan bentang alam atau struktur tanah. Tanah yang pada
mulanya berbentuk perbukitan, berubah menjadi goa-goa besar, danau-danau
raksasa yang airnya meluap keluar dan membanjiri daerah pemukiman penduduk. Di
musim hujan tebing ‘danau-danau’ itu longsor dan menutupi daerah persawahan.
Limbah cair bekas penambangan mencemari sungai-sungai sehingga mengakibatkan
turunnya kualitas air yang menjadi sumber kehidupan penduduk di sekitarnya.
Debu tanah dan debu batubara yang tebal menyebabkan turunnya kualitas udara
yang sangat potensial menimbulkan berbagai macam penyakit, khususnya berbagai
jenis penyakit pernafasan.[8]
Dampak
dalam skala global yang kemungkinan besar akan terjadi –dampak lingkungan
sebagian besar tidak terjadi secara serta merta- adalah semakin panasnya
temperatur bumi akibat pembakaran batubara, perombakan hutan untuk melakukan
penambangan yang tidak terkendali (deforestation)
yang dapat merusak lapisan ozon yang berfungsi melindungi kehidupan makhluk dan
tata lingkung permukaan bumi. Lubang pada ozon merupakan ancaman serius bagi
bumi[9]
karena panas yang makin memuncak akan mengakibatkan naiknya permukaan air laut
dan mencairnya gunung-gunung es di Kutub Utara. Meningkatnya tempertur bumi
(efek rumah kaca) akan mengakibatkan pula tenggelamnya beberapa pulau di muka
bumi.
Sejalan
dengan meningkatnya kepedulian terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup
pada tingkat internasional, khususnya dengan diselenggarakannya Konferensi PBB
tentang Lingkungan hidup Manusia di Stockholm pada tahun 1972, maka Indonesia
mencanangkan pola pembangunan berwawasan lingkungan sebagaimana tertuang dalam
GBHN 1978.
Salah
satu bentuk kepedulian Indonesia terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup
ini antara lain tertuang dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup (UULH), yang kemudian dirubah dan
diganti dengan Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPLH). UUPLH selanjutnya dirubah dan diganti lagi dengan Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH).
Dalam
kaitannya dengan kegiatan pengusahaan sumber daya alam, pada dasarnya UUPPLH
menekankan pentingnya konservasi sumber daya alam, yakni pengelolaan sumber
daya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan
sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta
keanekaragamannya. Mengenai pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana ini,
Emil Salim mengemukakan:[10]
‘Pembangungan
berkelanjutan mengharuskan kita mengelola sumber alam serasional mungkin. Ini
berarti bahwa keempat kelompok sumber alam seperti pertambangan, hutan
pelestarian alam, hutan lindung dan hutan produksi bias diolah asalkan secara
rasional dan bijaksana. Untuk ini diperlukan pendekatan pembangunan dengan
pengembangan lingkungan hidup yaitu eco-development. Pendekatan ini tidak
menolak diubah dan diolahnya sumber alam untuk pembangunan dan kesejahteraan
manusia. Tetapi ‘kesejahteraan manusia’ mengandung makna yang lebih luas,
mencakup tidak hanya kesejahteraan material, pemenuhan kebutuhan generasi kini,
tetapi juga mencakup kesejahteraan nonfisik, mutu kualitas hidup dengan
lingkungan hidup yang layak dihidupi (liveable environment) dan jaminan bahwa
kesejahteraan terpelihara kesinambungannya bagi generasi depan. Pengelolaan
sumber daya alam yang tidak rasional dan kurang bijaksana harus dicegah agar
kesejahteraan generasi masa kini dicapai dengan tidak menghancurkan lingkungan
bagi peningkatan kesejahteraan generasi masa depan. Dalam pendekatan ini
berlaku dalil apa yang diambil dari alam harus kembali kepada alam,
sekurang-kurangnya diganti dengan hal yang berperan serupa kepada alam’
Saling
keterkaitan antara pembangunan (development)
dan kualitas lingkungan hidup (quality of life environment) saat ini menjadi
isu sentral dunia internasional. Keterkaitan antara kedua masalah tersebut
menjadi pokok perhatian sebagaimana yang terlihat dalam perkembangan
Kongres-kongres PBB mengenai The
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders pada dua dekade terakhir
ini.[11]
Kongres-kongres
tersebut menyoroti bentuk-bentuk dimensi kejahatan terhadap pembangunan (crimes against development),
kejahatan-kejahatan terhadap kesejahteraan sosial (crimes against social welfare) dan kejahatan-kejahatan terhadap
kualitas lingkungan hidup (crimes against
the quality of life environment). Ketiga bentuk kejahatan ini saling
berhubungan erat, karena tidak dapat dipisahlepaskan keterkaitan
masalah-masalah pembangunan dengan masalah-masalah kesejahteraan masyarakat dan
masalah lingkungan hidup.[12]
Hubungan
erat itu terlihat dalam salah satu laporan Kongres PBB ke-7 yang menyatakan
bahwa, kejahatan lingkungan (ecological/environmental
crimes) itu:[13]
a. Mengganggu
kualitas lingkungan hidup (impinged on
quality of life);
b. Mengganggu
kesejahteraan material seluruh masyarakat (impinged
on material well-being of entire societies); dan
c. Mempunyai
pengaruh negatif terhadap usaha-usaha pembangunan bangsa (had negative impact on the development efforts of nations).
Kecenderungan
perhatian yang besar terhadap lingkungan hidup dalam skala internasional,
menyebabkan maraknya isu tentang tindak pidana lingkungan hidup (TPLH). Hal ini
dikaitkan dengan kerugian yang timbul baik dari sudut pandang social, ekonomi
maupun politik akibat eksploitasi sumber daya alam, khususnya dalam hubungannya
dengan masalah hak-hak asasi manusia.
Apa
yang dikemukakan di atas tidak berlebihan, karena hak untuk memperoleh
lingkungan hidup yang sehat (the right to
healthy environment) merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang
diatur di dalam Universal Declaration of
Human Rights 1948 (article 25), dan diatur pula dalam International convenan on Economic, Social Rights (article 11).[14]
Untuk
mengamankan dan menunjang kebijakan-kebijakan pembangunan, sekaligus melindungi
kelestarian fungsi lingkungan hidup, maka diperlukan sarana hukum, baik di
bidang administrasi, perdata maupun pidana. Kebijakan untuk menggunakan sarana
hukum pidana (penal policy) dalam rangka memberikan
jaminan ditaatinya ketentuan perundang-undangan di bidang pertambangan dan
lingkungan hidup ini, merupakan fungsi hukum
pidana sebagai administrative penal law,
yang merupakan penunjang/pendukung sanksi administrasi.
Upaya
penanggulangan masalah lingkungan hidup dengan hukum pidana ini ditegaskan pula dalam
Kongres PBB ke-8 tahun 1990 di Havana, Cuba dan Kongres PBB ke-9 tahun 1995 di
Kairo, Mesir. Di dalam Draft Resolution
mengenai The Role of Criminal Law in the Protection of Nature and the
Environment, antara lain dinyatakan bahwa, di samping tindakan-tindakan
berdasarkan hukum administrasi dan pertanggungjawaban berdasarkan hukum perdata, juga perlu diambil tindakan-tindakan
berdasarkan hukum
pidana terhadap masalah lingkungan hidup. Negara-negara anggota (PBB) dihimbau
untuk mengimplementasikan secara efektif hukum nasional (termasuk hukum pidana), yang berhubungan dengan
perlindungan lingkungan hidup.[15]
Dalam
kebijakan hukum pidana ini pada dasarnya terdapat dua masalah sentral, yakni
penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa
yang sebaiknya digunakan atau dikenakan terhadap pelanggar.[16]
Penganalisisan terhadap dua masalah sentral tersebut menurut Barda Nawawi
Arief, tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan criminal
dengan kebijakan social atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti
pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan social politik yang telah ditetapkan.
Dengan demikian kebijakan hukum
pidana harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).[17]
Hal tersebut dikemukakan pula dalam tulisan Satjipto Rahardjo[18]
yang menyatakan bahwa tidak dijumpai perbedaan antara fungsi hukum sebelum dan sesudah kemerdekaan.
Perbedaannya terletak pada keputusan politik yang diambil dalam kedua masa
tersebut. Apabila keputusan politik yang diambil setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah
mengutamakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, maka keputusan demikian
harus dirumuskan dalam kaidah-kaidah hukum
dan struktur hukumnya pun
harus menyediakan kemungkinan untuk melakukan itu. Sudarto juga pernah
mengemukakan bahwa apabila hukum pidana hendak digunakan, hendaknya dilihat
dalam hubungan keseluruhan politik criminal
atau social defence planning dan harus merupakan bagian integral dari
rencana pembangunan nasional.[19]
Dengan
berlakunya UUPPLH yang merupakan undang-undang induk atau undang-undang payung (kader-wet atau umbrella act) bagi
setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur TPLH, maka ketentuan pidana
yang tertuang dalam UU Minerba sepanjang menyangkut perbuatan/kegiatan yang
menimbulkan perusakan dan/atau pencemaran LH mengacu pada UUPPLH.
Masih
berlakunya UU Minerba secara administratif mempunyai pengaruh terhadap
penerapan sanksi pidana yang diancamkan oleh UUPLH, hal ini merupakan suatu
keterkaitan (bahkan ketergantungan) hukum pidana terhadap pertimbangan
administratif dalam penanggulangan dampak pertambangan batubara.[20]
Dengan ketergantungan ini, hanya pemegang KP yang melanggar peraturan
perundang-undangan administratif di bidang pertambangan dan mengakibatkan
timbulnya perusakan dan atau pencemaran lingkungan yang dapat dikenakan sanksi
pidana, sedangkan bagi pemegang KP yang tidak melanggar ketentuan
perundang-undangan administratif di bidang pertambangan, ketentuan pidana ini
tidak bisa diterapkan.
Secara
ekologis, ketergantungan ini tentu saja sangat merugikan. Karena tidak sedikit
pemegang KP yang tidak melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan
administrative pertambangan –dalam arti memenuhi segala kewajibannya, seperti
memiliki Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL), membuat Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dan Rencana Pengelolaan
Lingkungan (RKL), melakukan reklamasi, membayar pajak dan iuran, membuat
laporan secara berkala dan lain sebagainya- tetapi masih menimbulkan kerusakan
dan/atau tercemarnya lingkungan hidup. Terhadap pemegang KP yang demikian
ketentuan pidana dalam UUPLH tidak dapat diterapkan. Secara yuridis hal ini menimbulkan
kurangnya kepastian hukum
dan keadilan.
Pola
ketergantungan kebijakan hukum pidana terhadap kebijakan hukum administrasi pertambangan ini karena
adanya fragmentasi tanggung jawab secara sektoral, dan organisasi sektoral
cenderung mengejar tujuan-tujuan sektoral dan memandang dampaknya pada sektor lain sebagai efek samping. Pandangan
sektoral inilah yang masih melekat pada pembuat kebijakan, sehingga timbul
kekurangserasian/kekurangselarasan pada kebijakan-kebijakan yang dihasilkan.
Padahal kebijakan di bidang hukum
–khususnya kebijakan hukum
pidana- tidak bisa
berdiri sendiri dan sangat tergantung pada berfungsinya banyak hal, termasuk
system administrasi dan birokrasi. Keadaan tersebut sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Komisis Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan:[21]
‘Kelemahan
pokok dalam pendekatan menurut cakupan permasalahan adalah bahwa masalah
lingkungan diperlakukan sebagai masalah sektoral yang seolah-olah memiliki
dunianya sendiri. Sebagai sektor,
maka sering
dipertentangkan dengan pembangunan sehingga orang seakan-akan dihadapkan pada
pilihan antara “lingkungan” di satu pihak dengan “pembangunan” di pihak lain.
Padahal lingkungan merupakan masalah yang saling kait mengkait dengan
pembangunan. Sifat interdependensi yang terdapat dalam lingkungan menyebabkan
sulit memperlakukannya sebagai sektor
yang terisolasi dengan dunianya sendiri. Oleh karena dirasa perlu mencari
cakupan permasalahan yang mempertautkan lingkungan dengan pembangunan, maka
tumbuh kebutuhan untuk mengusahakan agenda alternative, yakni suatu agenda yang
memungkinkan pendekatan lintas sektoral dan melarutkan pandangan lingkungan
dalam pembangunan’.
Agenda
yang memungkinkan pendekatan lintas sektoral tersebut hanya dapat dilakukan
apabila terdapat sinkronisasi dalam kebijakan-kebijakan, khususnya kebijakan
kriminalnya. Tanpa adanya sinkronisasi, maka akan sulit diperoleh kesamaan visi
dalam menyelesaikan masalah lingkungan hidup yang timbul akibat kebijakan di sektor pembangunan lainnya.
Menurut
Muladi, sinkronisasi sesuai dengan makna dan ruang lingkup system dapat
bersifat fisik dalam arti sinkronisasi structural (structural syncronisation),
dapat bersifat substansial (substantial syncronisation) dan dapat pula bersifat
cultural (cultural syncronisation).[22]
Jadi secara structural, kebijakan hukum
pidana dalam penanggulangan dampak pertambangan batubara harus sesuai/tertib
secara hirarkis dengan perundang-undangan lainnya, secara substansial
diperlukan ketaatan
hukum pidana dalam
setiap kebijakan; dan secara cultural, menjadi keharusan adanya integralisasi
dan koordinasi dalam penegakan hukum
pidana oleh setiap pihak yang terkait.
Dengan
memperhatikan hal-hal yang tertuang dalam uraian di atas, maka selain memerlukan
sinkronisasi kebijakan hukum
pidana, diperlukan pula pemberdayaan upaya-upaya preventif dalam menanggulangi
dampak pertambangan batubara, hal tersebut didasarkan pada antara lain:
Pertama,
bahwa pengusahaan pertambangan batubara merupakan salah satu sumber pembiayaan
penting bagi pembangunan, akan tetapi pengusahaan pertambangan batubara sangat
potensial menimbulkan perusakan dan/atau
pencemaran lingkungan hidup serta menimbulkan korban. Sehingga diperlukan
re-evaluasi dan re-orientasi terhadap berbagai ketentuan perundang-undangan
yang mengaturnya.
Kedua,
Kebijakan hukum
pidana di bidang lingkungan hidup yang tertuang dalam UUPPLH sangat tergantung
pada aspek administrative dari pengusahaan pertambangan batubara. Ketergantungan secara
administrative dari hukum
pidana, potensial mempengaruhi efektivitas penegakan hukum pidana dalam memberikan perlindungan
baik terhadap lingkungan hidup maupun korban yang timbul akibat pengusahaan
pertambangan batubara.
Ketiga,
Kebijakan hukum
pidana yang tertuang dalam perundang-undangan yang mengatur dampak lingkungan
hidup dari pengusahaan pertambangan batubara seyogyanya tertib secara hirarkis
perundang-undangan, taat asa, memperhatikan perkembangan pembangunan sistem hukum nasional, serta mengacu pula pada
perkembangan standar-standar baku internasional untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan. Berdasarkan pada
uraian di atas, maka perlu pembahasan yang lebih mendalam menyangkut bagaimana
kebijakan hukum
pidana dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan penanggulangan dampak
lingkungan hidup, khususnya akibat pengusahaan pertambangan batubara.
[1] Arah Pembangunan Jangka Panjang
Kedua (PJP II), dikutip dari Tap MPR No. II/MPR/1998
[2] Ibid. Lihat juga: Emil Salim (I),
Pembangunan Berwawasan Lingkungan, LP3ES, Jakarta, Cet. Keenam, 1993, hal. 169
[3] Komisi Dunia untuk Lingkungan
dan Pembangunan, Hari Depan Kita Bersama, PT. Gramedia, Jakarta, 1998, hal 229
[4] Lihat: Harian Kompas, Jumat, 19
Februari 2010, Bandingkan: Soetaryo Sigit (I), Industri Pertambangan Batubara
Indonesia, PT. Geoservices (LTD), Bandung, 1997, hal. xid
[5] Jumlah ini kemungkinan masih
akan bertambah sejalan dengan penyelidikan umum terhadap potensi tambang
batubara yang terus dilakukan di berbagai tempat.
[6] GBHN 1998
[7] Undang-undang yang menggantikan Undang-undang
no. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan Umum (UUPU)
[8] Lihat: Laporan Penelitian tentang
Pelaksanaan Reklamasi Lahan Bekas Penambangan Batubara di Propinsi Kalimantan
Selatan, oleh Nirmala Sari, 1997
[9]
Lihat: John Naisbitt,
Global Paradox, (terj. Budijanto), Binarupa Aksara, Jakarta, 1994, hal. 171.
Lihat juga: John Salindeho, Undang-undang Gangguan dan Masalah Lingkungan, Sinar
Grafika, Ujung Pandang, 1998, hal 11
[10] Emil Salim, op cit., hal 184
[11] Barda Nawawi Arief, dalam Muladi
& Barda Nawawi Arief (I), Bunga
Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hal. 169
[12] Ibid
[13] Ibid. Lihat juga: Muladi (II),
Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Perradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP,
Semarang, 1997, hal. 187
[14] United Nations, A Compilation of
International Instrument, Human Rights, Vol. I (First Part), New York, 1993,
hal. 8 dan 12
[15] Dokumen No. A/CONF.144/L.4
tanggal 3 September 1990 dan Dokumen No. A/CONF.169/L.2 tanggal 13 Desember
1994. Lihat juga: Barda Nawawi Arief, dalam Muladi & Barda Nawawi Arief
(I), op cit., hal. 169
[16] Lihat: Barda Nawawi Arief (I),
Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996,
hal. 32
[17] Ibid
[18] Satjipto Rahardjo, dalam Barda
Nawawi Arief (I), ibid, hal. 33
[19] Sudarto (I), Hukum dan HUkum
Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal 104
[20] Lihat: M.G. Faure, Dampak
Ketergantungan Administratif Hukum Pidana Lingkungan: Suatu Inventarisasi Permasalahan,
dalam Kekhawatiran Masa Kini, Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Lingkungan dalam
Teori dan Praktek, (terj. Tristam P. Muliono), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1994, hal. 31-38
[21] Komisi Dunia Untuk Lingkungan
dan Pembangunan (The World Commission on Environment and Development), Hari
Depan Kita Bersama, PT. Gramedia, Jakarta, 1988, hal. xxiii
[22] Muladi (I), Kapita Selekta
Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1995, hal.1
BAB II
PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA
A. Tinjauan Umum tentang Batubara
1. Pembentukan Batubara
Dalam pengertian geologi, batubara
termasuk batuan sedimen yang terbentuk dari akumulasi pengendapan bahan
tetumbuhan (fosil) dalam kondisi tertutup dari udara, serta mengalami kenaikan
temperatur dan proses pemadatan. Proses sedimentasi (pengendapan) yang
berlangsung dalam suatu
"cekungan" (basin) dapat berlangsung lama apabila dasar cekungan mengalami proses
penurunan terus menerus. Semakin lama proses pengendapan berlangsung akan
semakin tebal lapisan pengendapan (batuan ataupun batubara.) yang terbentuk.[1]
Sesuai proses pembentukannya, lapisan
batubara terdapat dalam susunan formasi batuan sedimen lainnya (biasanya lempung, pasir, lempung
pasiran yang sedikit berkapur dan sebagainya) yang sama‑sama terendapkan dalam
satu cekungan yang sama. Dalam keadaan asli dan 'belum terganggu', letak
lapisan batubara dan batu sedimen lainnya biasanya rata (tidak menunjukkan
kemiringan). Proses geologi yang menimbulkan gerakan dapat menyebabkan formasi
batuan dan lapisan‑lapisan batubara di dalamnya terangkat, terlipat patah,
tergeser, dan lain sebagainya.
Formasi batuan sedimen dengan lapisan‑lapisan
batubara yang terangkat oleh proses geologi membentuk tanah tinggi atau perbukitan.
Proses erosi, pelapukan batuan, degradasi dan seterusnya menyebabkan
tersingkapnya lapisan‑lapisan batuan dan batubara yang semula tidak tampak
dipermukaan.
Dilihat dari sifatnya, batubara
merupakan salah satu jenis bahan bakar untuk pembangkit energi,[2] disamping gas
alam dan minyak bumi. Berdasarkan atas cara penggunaannya sebagai penghasil
energi diklasifikasikan :
a. Penghasil energi primer, dimana
batubara langsung dipergunakan untuk industri misalnya pemakaian batubara
sebagai burner dalam industri semen dan pembangkit listrik tenaga
uap; pembakaran kapur, bata, genting; bahan bakar lokomotif, pereduksi proses
metalurgi; kokas konvensional; bahan bakar tidak berasap (smokelessfuels).
b. Penghasil energi sekunder dimana
batubara yang tidak langsung dipergunakan untuk industri misalnya pemakaian
batubara sebagai bahan bakar padat (briket); bahan bakar cair (konversi menjadi
bahan bakar air) dan gas (konversi menjadi bahan bakar gas); bahan bakar dalam
industri penuangan logam (dalam bentuk kokas). Selain itu batubara dipergunakan
bukan sebagai bahan bakar antara lain sebagai reduktor pada peleburan timah,
pabrik ferro nikel, industri besi dan baja; pemumian pada industri kimia (dalam
bentuk karbon aktif); pembuatan kalsium karbida (dalam bentuk kokas atau semi
kokas).
Berdasarkan dari mutunya/tingkatannya
batubara dikelompokkan menjadi kelas antrasit, bitumine, subbitumine dan
lignit. Perhitungan cadangan dalam Tabel I berikut ini termasuk cadangan
terukur, teruntuk (terindikasi, tereka dan hipotesis).
Tabel 1
Cadangan Batubara di Indonesia (dalam juta ton)
No |
Daerah |
Terukur |
Terunjuk |
Tereka |
Hipotesis |
Jumlah |
A. |
Sumatera
|
2.887.881
|
11.165.455
|
2.279.911
|
8.342.990
|
24.676.237
|
1.Sumatera Utara |
‑ |
1.272.000 |
2.000 |
433.000 |
1.707.000 |
|
2.Sumatera Tengah |
717.820 |
2.370.939 |
58.000 |
1.019.000 |
4.165.759 |
|
3.
Sumatera Selatan
|
2.143.024
|
7.505.500
|
2.204.000
|
6.890.990
|
18.743.514
|
|
4.Bengkulu |
27.037 |
17.016 |
15.911 |
‑ |
59.964 |
|
B. |
Kalimantan |
1.985.613 |
1.494.268 |
3.789.503 |
4.231.241 |
11.500.625 |
1.Kalimantan Selatan |
1.112.730 |
668.219 |
1.848.277 |
‑ |
3.629.226 |
|
2.Kalimantan Barat |
1.801 |
68.921 |
211.477 |
1.837.900 |
2.120.099 |
|
3.Kalimantan Tengah |
871.082 |
‑ |
‑ |
436.310 |
436.310 |
|
4.Kalimantan Timur |
757.128 |
1.729.749 |
1.957.031 |
5.314.990 |
||
C. |
Jawa |
12.148 |
28.616 |
‑ |
19.953 |
60.717 |
D. |
Sulawesi |
5.476 |
12.169 |
6.616 |
‑ |
24.261 |
E. |
Irian Jaya |
‑ |
79.500 |
3.614 |
‑ |
83.114 |
Jumlah
|
4.891.118
|
12.780.008
|
6.079.644
|
12.594.184
|
36.344.594
|
|
Produksi 1965‑1993
|
75.000
|
|||||
Jumlah Seluruhnya |
4.966.118 |
12.780.008 |
6.079.644 |
12.594.184 |
36.344.954 |
Sumber : Direktorat Batubara vide Ambyo (1993)
2. Peranan Batubara di Indonesia
Masyarakat pemakai sumber daya energi
di Indonesia terutama yang menggunakan energi untuk keperluan pembakaran dalam jumlah besar
seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan industri semen, mulai
menyadari bahwa penggunaan batubara mempunyai kelebihan.[3] Kelebihan
tersebut antara lain adalah biaya operasi yang dapat ditekan karena harga
batubara (per satuan energi) yang lebih murah daripadajenis energi yang lain.
Masyarakat industri mulai sadar akan
manfaat batubara dalam melaksanakan kegiatannya. Sesudah terjadi krisis minyak
pada tahun 1973/1974 yang melambungkan harga minyak babak pertama (US$. 10 ‑
US$.12/bbl) yang kemudian diperkuat lagi dengan krisis minyak kedua pada waktu
pecah perang Iran‑Irak 1979 menyebabkan harga minyak melambung sampai
US$.40/bbl.
Dengan terjadinya krisis minyak,
dunia mulai sadar bahwa konsumsi energi terlalu besar bertumpu pada minyak dan
hal ini tentu saja tidak mengenakkan, sehingga diperlukan energi alterriatif
Energi alternatif yang dimaksud bukan saja terdiri dari batubara tetapi
sementara itu sumber daya gas alam, dan nuklir telah pula dimanfaatkan dalam jumlah yang tidak
sedikit dan juga dikembangkan tenaga geotermal dan tenaga tenaga yang dapat
diperbaharui. Di dalam pemilihan energi alternatif yang dapat menggantikan
sebagian besar peranan yang diambil oleh minyak terutama dalam situasi dan
kondisi Indonesia, diantara sekian energi alternatif yang tersedia, batubara
akan mengambil peranan yang cukup besar.
Beberapa faktor obyektif yang
mendukung asumsi tersebut adalah:[4]
a. Diantara bahan bakar hidrokarbon yang
terdapat di dunia (juga di Indonesia) Batubara merupakan bahan yang paling
melimpah;
b. Batubara dapat diusahakan/disediakan
sampai jauh di abad ke 21 bahkan abad ke 22;
c. Penambangan dan penggunaan batubara
merupakan teknologi yang sudah dikenal dan dapat diandalkan;
d. Batubara dapat diangkut dan ditimbun
dengan mudah;
e. Batubara merupakan bahan bakar murah,
bahkan kemungkinan besar yang termurah dihitung per satuan energi.
3. Sejarah Pertambangan Batubara
Pertambangan batubara di Indonesia
dimulai pada tahun 1849 di Pengaron, Kalimantan Selatan. ATV Oost Borneo Maatchappij suatu perusahaan
swasta memulai kegiatan pada tahun 1888 di Pelarang, sebelah tenggara
Samarinda. Menjelang Perang Dunia I ada beberapa perusahaan kecil yang bekerja
di Kalimantan Timur. Di Sumatera kegiatan pertama untuk melakukan penambangan
batubara secara besar‑besaran dimulai tahun 1880 di lapangan Sungai Durian di
Sumatera Barat. Usaha ini gagal karena kesulitan pengangkutan. Setelah
penyelidikan seksama pada tahun 1868‑1873, yaitu setelah ditemukannya lapangan
batubara pada tahun 1868 dibukalah pada tahun 1892 Tambang Batubara Ombilin. Di
Sumatera Selatan, penyelidikan antara tahun 1915‑1918 menghasilkan Pembukaan
Tambang Batubara Bukit Asam ada tahun 1919. Tambang Batubara Ombilin dan Bukit
Asam segera menjadi dua penghasil batubara terpenting di Indonesia.[5]
Antara tahun‑tahun 1923‑1927,
kegiatan penyelidikan terhadap batubara Indonesia mengambil bentuk lain, yaitu
usaha untuk membuat kokas dari batubara Indonesia sehubungan dengan keinginan sementara
kalangan pengusaha dan Pemerintah (Hindia Belanda) untuk mengembangkan industri besi baja di
Indonesia. Penyelidikan ini tidak memberikan hasil yang diharapkan, diperoleh
petunjuk bahwa pada umumnya batubara Indonesia tidak memiliki sifat‑sifat meng‑kokas,
tetapi sebaliknya cukup baik sebagai bahan bakar karena kadar abunya cukup rendah, kadar bahan
terbang (volatile matter) tinggi,
nilai kalori cukup tinggi sedang kadar belerangnya rata‑rata sangat rendah.[6]
Antara tahun‑tahun 1943‑1945 kita
ketahui bahwa Pemerintah Pendudukan Jepang telah sempat pula mengembangkan,
atau mencoba mengembangkan, beberapa tambang batubara baru, antara lain di
Pulau Laut, Jawa Barat, Sumatera Tengah dan lain sebagainya.
Setelah perang selesai, terbukti
bahwa usaha‑usaha masa perang ini sesungguhnya tidak satupun yang ekonomis.
Setelah Perang Dunia II berakhir, pasaran bagi batubara Indonesia menyusut dengan cepat. Ekspor
menurun dan kemudian berhenti, sedang kapalkapal laut kebanyakan tidak lagi
menggunakan tenaga uap. Produksi tambang‑tambang batubara yang adapun menurun
terus, dan keadaan perusahaan semakin mundur.
Antara tahun 1954‑1965 Pemerintah
masih mengadakan penyelidikan kokas secara besar‑besaran dalam rangka Proyek
Besibaja, tanpa memberikan hasil‑hasil baru.. Sementara itu Rencana Pembangunan
Semesta I yang tersusun dalam tahun 1960 masih mencanangkan proyek pengembangan
kembali batubara Indonesia secara terintegrasi (khususnya dengan usaha
peningkatan perlistrikan dan perkeretaapian). Tetapi rencana ini kandas di
jalan, dan pola pengembangan batubara yang telah tersusun ketika itu menjadi
terlupakan sama sekali karena dengan harga minyak bumi yang begitu murah ketika
itu (US$.l per barel), sulit bagi batubara untuk mendapatkan kembali
pemasarannya.
Jangka waktu antara 1966‑1973
merupakan periode kemunduran besar‑besaran bagi pertambangan batubara
Indonesia. Pada tahun 1970 tiga tambang batubara masih bekerja, yaitu Tambang
Batubara Ombilin di Sumatera Barat, Bukit Asam di Sumatera Selatan dan Mahakam
di Kalimantan Timur disatukan dalam PN. Batubara yang didirikan berdasarkan
atas Peraturan pemerintah Nomor 23) tahun 1968. Ketiga tambang ini dikenal pula
sebagai Unit I,
Unit II dan Unit III.
4. Hakekat dan Ciri Usaha Pertambangan Batubara
Pada dasarriya hakekat dan ciri usaha
pertambangan bersifat khas, karena
1. Lokasi, cara dan juga umur
pengusahaan sudah ditentukan oleh proses alam sebelumnya;
2. Risiko usaha tinggi, khususnya pada
tahapan survei
dan eksplorasi;
3. Tidak "quick yielding ", memelukan tahap pra produksi antara 5 ‑
10 tahun;
4. Pada umumnya padat modal, harus
menggunakan cara dan teknologi canggih untuk dapat bersaing;
5.
Umur usaha terbatas oleh besar kecilnya cadangan mineral/bahan tambang
yang tidak dapat ditumbuhkan ("depleting
asset');
6. Pada umumnya produk usaha tambang
dijual di pasaran intemasional dan harus menghadapi persaingan global;
7. Fluktuasi harga produk tambang di
pasaran internasional sangat tidak menentu, serintg berlangsung berkepanjangan
dan menimbulkan akibat parah pada dunia usaha.
Perizinan di bidang pertambangan
dikaitkan dengan pemberian Kuasa Pertambangan (KP). Istilah KP untuk pertama
kali digunakan dalam UU No. 37 Prp tahun 1960. Undang‑undang ini mencabut Indiesche Mijnwet (Stb 1899/214 jo. Stb
1906/434). Peraturan pelaksanaannya yaitu Mijn
Ordonantie 1930 (Stb 1930/38) tetap
berlaku.
Kuasa Pertambangan (KP) menggantikan
pengertian konsesi atas dasar Indiesche
Mijnwet, karena hak yang ada pada pemegang konsesi adalah kuat, tidak
sesuai dengan ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang‑undang Dasar 1945.
Dengan pernyataan sebagaimana tercantum dalam pasal 33 ayat (3) tersebut, maka
semua bahan‑bahan galian dikuasai oleh Negara dan dipergunakan oleh Negara
untuk sebesar‑besar kemakmuran rakyat.[7]
Di dalam penjelasan Pasal 2 UUPU
berkaitan dengan istilah KP,[8] dikemukakan
bahwa perbedaan pokok antara pengertian konsesi lama dengan KP ialah bahwa yang
diberikan dengan KP hanyalah kekuasaan untuk melaksanakan usaha pertambangan
kepada si pemegang KP. Dalam Keputusan menteri yang memberikan KP dijelaskan
sampai Seberapajauh pemberian KP tadi serta usaha pertambangan apa yang
diliputi oleh KP itu.
Jadi yang dimaksud dengan KP adalah
wewenang yang diberikan olch Pemerintah kepada Badan/Perorangan untuk
melaksanakan usaha pertambangan. Usaha pertambangan hanya dapat dilakukan oleh
Badan/Perorangan apabila kepadanya telah diberikan KP.
Bentuk‑bentuk Kuasa Pertambangan (KP):
1. SK Penugasan Pertambangan, diberikan
kepada Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Pertambangan dan Energi;
2. SK. Perjanjian Kontrak Karya,
diberikan kepada Badan Usaha PMA/PMDN setelah berkonsultasi dengan DPR, untuk
semua jenis bahan galian
kecuali batubara, migas dan bahan radioaktif,
3. SK Pemberian Kuasa Pertambangan,
diberikan oleh Direktur Jenderal Pertambangan Umum untuk dan atas nama Menteri
Pertambangan dan Energi kepada Perusahaan
Negara/Daerah/Badan/Koperasi/Perorangan untuk bahan galian Gol. A dan B;
4. SK Ijin Pertambangan Rakyat,
diberikan oleh Menteri Pertambangan dan Energi kepada rakyat setempat, untuk
usaha pertambangan secara kecil‑kecilan dengan luas terbatas atau diberikan
oleh Gubemur kepada rakyat setempat, untuk usaha kecilkecilan, peralatan
sederhana dan luas terbatas;
5. SK Ijin Pertambangan Daerah,
diberikan oleh Gubemur/Dinas Per‑tambangan kepada Perusahaan Negara/Daerah/Koperasi/Badan Usaha/Perorangan untuk
mengusahakan bahan galian Gol. C.
Jenis‑jenis Kuasa Pertambangan (KP) terdiri dari:
1. KP Penyelidikan Umum, adalah
penyelidikan secara geologi umum, geoftsika, di daratan, perairan dan udara,
segala sesuatu dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk
menetapkan tanda‑tanda adanya bahan galian pada umumnya;
2. KP Eksplorasi, adalah segala
penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti/seksama adanya
dan sifat letakan bahan galian. Kegiatan tersebut termasuk kegiatan Studi Kelayakan,
Studi AMDAL dan persiapan pembangunan fasilitas eksploitasi;
3. KP Eksploitasi, adalah usaha
pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya
4. KP Pengolahan dan Pemurnian, adalah
pekerjaan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk memperoleh unsur‑unsur
yang tedapat pada bahan galian itu
5. KP Pengangkutan dan Penjualan, adalah
usaha pemindahan dan penjualan bahan galian dari tempat eksploitasi atau tempat
pengolahan/pemumian.
B. Kebijakan Pengembangan Pertambangan Batubara
1. Kebijakan Pertambangan di Indonesia
Kebijakan pertambangan Indonesia
memberikan kesempatan dan dorongan cukup besar kepada modal swasta nasional
maupun asing untuk turut serta mengembangkan usaha pertambangan di Indonesia.
Peraturan dasar yang mengatur usaha
pertambangan di Indonesia adalah:
a. Undang‑undang
Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan‑ketentuan Pokok Pertambangan; yang telah
dirubah dan diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba)
b. Peraturan
Pemerintah Nomor 32 tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang‑undang Nomor 11 tahun
1967.[9]
Pokok‑pokok terpenting dalam undang‑undang
pertambangan Indonesia dapat dirangkum sebagai berikut:
a. Segala bahan galian yang terdapat
dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia adalah kekayaan nasional Yang
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besamya untuk kemakmuran rakyat.
b. Bahan galian dibagi atas tiga
golongan, yaitu Golongan A (strategis), Golongan B (vital) dan Golongan C (Yang
tidak termasuk strategis maupun vital). Batubara termasuk bahan galian Golongan
A (strategis).
c. Pada dasamya, pelaksanaan penguasaan
negara dan pencaturan usaha pertambangan untuk bahan galian Got. A dan B
dilakukan oleh menteri yang membidangi tugas bidang pertambangan.
d. Usaha bahan galian Got. A hanya dapat
dilakukan oleh instansi pemerintah dan/atau perusahaan milik negara.
e. Usaha pertambangan dapat meliputi
kegiatan‑kegiatan:
1)
Penyelidikan
umum;
2)
Eksplorasi;
3)
Eksploitasi;
4)
Pengolahan
dan pemurnian;
5)
Pengangkutan
dan penjualan.
f. Pada
dasamya usaha pertambangan bahan galian Got. A dan B hanya dapat dilakukan olch
perusahaan atau perorangan berdasarkan Kuasa Pertambangan (KP) Yang diberikan
dengan surat keputusan menteri. Usaha pertambangan bahan galian Got. C dapat
dilakukan dengan Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD).
g. Menteri dapat menunjuk pihak lain,
termasuk swasta nasional maupun swasta asing sebagai kontraktor guna
melaksanakan pekerjaan yang belum atau tidak dapat ditangani sendiri oleh
instansi pemerintah atau perusahaannegara pemegang Kuasa Pertambangan; dalam
hubungan ini pelaksanaan pekerjaan oleh kontraktor didasarkan pada Perjanjian
Karya. Apabila usaha pertambangan yang dilaksanakan olch kontraktor menyangkut
eksploitasi bahan galian Gol. A, atau Perjanjian Karyanya berbentuk penanaman
modal asing, maka Perianjian Karya tersebut mulai berlaku setdah disahkan oleh
pemerintah sesudah berkonsultasi dengan DPR.
h. Untuk memberikan kesempatan lebih
luas kepada pihak swasta nasional dan rakyat secara perorangan, masih dibuka kesempatan
dan pengecualian untuk pengembangan cadangan berukuran terbatas sebagai berikut
:
1) Bahan galian Gol. A dapat pula
diusahakan oleh pihak swasta nasional yang memenuhi syarat, apabila
memenuhi pendapat menteri berdasarkan per‑timbangan ekonomi dan penambangan,
cadangan bahan galian tersebut akan menguntungkan bagi negara apabila
diusahakan oleh swasta;
2) Dengan memperhatikan kepentingan
daerah khususnya dan negara pada umumnya, menteri dapat menyerahkan pengaturan
usaha penambangan bahan galian vital tertentu kepada pemerintah daerah tingkat
I tempat terdapatnya bahan galian itu;
3) Apabila jumlah cadangan bahan galian
Gol. A tertentu sedemikian kecilnya sehingga menurut pendapat menteri akan
lebih menguntungkan jika diusahakan secara sederhana atau kecil‑kecilan, maka
cadangan bahan galian tersebut dapat diusahakan secara pertambangan rakyat,
yang perijinannya diatur oleh pemerintah daerah.
i. Pihak
yang berhak atas muka tanah diwajlbkan mengijinkan pemegang Kuasa Pertambangan
untuk melaksanakan usahanya, setelah ada kemufakatan mengenai ganti rugi hak
tanah yang bersangkutan.
j.
Pemegang
KP wajib membayar iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran eksploitasi dan/atau
pembayaran lain yang berhubungan dengan KP.
k. Apabila selesai melakukan usaha
pertambangan, pemegang Kuasa Pertambangan wajib mengembalikan tanah sedemikian
rupa sehingga tidak menimbulkan penyakit atau bahaya bagi masyarakat sekitamya.
l. Jangka
waktu berlakunya KP (sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 11 tahun
1969 tentang Pelaksanaan UU No. 11/ 1967) adalah:
1) untuk KP Penyelidikan Umum: selama‑lamanya
satu tahun dan dapat diperpanjang selama satu tahun lagi ;
2) untuk KP Eksplorasi: selama‑lamanya
tiga tahun, dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali, masing‑masing untuk satu tahun ;
3) untuk KP Eksploitasi : selama‑lamanya
30 tahun dan dapat diperpanjang dua kali, masing‑masing untuk 10 tahun.
Dengan terbitnya Undang‑undang Nomor
4 tahun 1982 (UULH) yang diperbaharui dengan Undang‑undang Nomor 23 tahun 1997
(UUPLH), dan diperbaharui kembali dengan Undang-undang Nomor 32 tahun
2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), maka rencana eksplorasi
dan eksploitasi pertambangan yang akan mempunyai dampak terhadap lingkungan
hidup harus dilengkapi dengan "Analisa Mengenai Dampak Lingkungan"
(AMDAL), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dan Rencana Pengelolaan Lingkungan
(RKL).
2. Kebijakan Pengembangan Pengusahaan Pertambangan Batubara (PPBB)
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa pertambangan batubara di Indonesia sempat berkembang
dengan baik sejak akhir abad ke 19 sampai pecah perang Pacific (1942). Meskipun
setelah selesai Perang Dunia II, beberapa tambang sempat direhabilitasi, tetapi
usaha pertambangan batubara terus mengalami kemunduran sejak akhir tahun 1950-an
sampai dengan pertengahan tahun 1970‑an.
Kemunduran
usaha pertambangan batubara ini antara lain disebabkan oleh:
a. Saingan dari bahan bakar minyak yang
sangat murah;
b. Terus berkurangnya pasaran batubara
di indonesia;
c. Kurangnya pengetahuan kita mengenai
potensi cadangan batubara Indonesia (terutama yang ada di kalimantan);
d. Tidak adanya kebijaksanaan
diversifikasi sumber energi di Indonesia;
e. Kurangnya perhatian pemerintah dan
tiadanya minat investor (khususnya dari Iuar) untuk mengembangkan batubara
Indonesia.
Krisis minyak bumi tahun 1973/1974
merupakan titik awal perubahan perkembangan batubara Indonesia. Berturut‑turut
terjadi perkembangan berikut:
a. Harga bahan bakar minyak naik tajam,
batubara mampu menyaingi harga minyak bumi;
b. Perusahaan asing Shell Mijnbouw NV masuk Indonesia dan mengadakan kontrak bagi hasit
dengan PT. Tambang Batubara;
c. Terbitnya Instruksi Presiden RI dalam
tahun 1976 yang menginstruksikan Menteri Perindustrian dan Pekerjaan Umum untuk
memprioritaskan pemakaian sumber energi batubara (untuk industri dan PLTU).
Mengacu pada UUPU, kebijakan
pengembangan pertambangan batubara di Indonesia dapat dirangkum sebagai
berikut:
a. Daerah‑daerah cadangan batubara
berpotensi besar dijadikan cadangan negara dan dikembangkan sendiri oleh
pemerintah cq. Badan Usaha Milik Negara (BUNfN) ataupun oleh BUMN bekerjasama
dengan kontraktor swasta (dalam rangka PMA ataupun PMDN);
b. Daerah‑daerah cadangan batubara.
berpotensi kecil ataupun terbatas (sampai kurang lebih 10 juta ton) dapat dikembangkan oleh
swasta nasional, koperasi ataupun penambangan rakyat;
c. Usaha pertambangan batubara oleh
pemerintah disatukan dalam satu BUNIN saja sejak tahun 1990, yaitu PT. Tambang
Batubara Bukit Asam;
d. BUMN maupun pihak‑pihak swasta bebas
melakukan pemasaran dan ekspor batubara;
e. Batubara dipacu pengembangannya untuk juga menjadi penghasil devisa, disamping
peningkatan peranannya sebagai sumber energi di dalam negeri;
f. Pengembangan batubara. yang
memerlukan pembangunan sarana angkutan darat dan air berkapasitas besar, perlu
dikaitkan dengan usaha pembukaan daerah dan pengembangan wilayah.
Dalam bidang penelitian, kegiatan
yang berkaitan. dengan perbatubaraan antara lain ditujukan pada:
a. Pemakaian batubara, sebagai sumber
energi untuk industri kecil dan rumah tangga;
b. Mengatasi masalah kerusakan
lingkungan dan bahaya akibat pertambangan batubara.
Kebijaksanaan pengembangan batubara
Indonesia yang cukup baik akan mampu memacu perkembangan batubara dengan cepat
karena:
a. Potensi cadangan batubara Indonesia
sangat besar;
b. Dengan kadar abu dan kadar
belerangnya. yang rendah, batubara Indonesia berpeluang besar memasuki pasaran
intemasional secara meluas;
c. Biaya produksi batubara, Indonesia
cukup murah, antara lain karena rendahnya upah tenaga kerja, sistem penambangan
secara terbuka, lokasi kebanyakan tambang, yang berdekatan dengan sungai besar atau pantai,
serta iklim/cuaca yang memungkinkan pelaksanaan kegiatan pertambangan
berlangsung sepanjang tahun;
d. Pasaran batubara di dalam negeri
memiliki prospek cerah, khususnya dengan rencana pengembangan proyek‑proyek
PLTU berukuran besar;
e. Stabilitas politik dalam negeri cukup
mendukung perkembangan usaha.
Menghadapi kebutuhan pengembangan
batubara secara besar‑besaran dikemudian hari, Indonesia masih perlu menyiapkan
kebijaksanaan yang bersifat menyeluruh dan terpadu mencakup seluruh proses
pemanfaatan batubara, dari sejak eksplorasi dan eksploitasi, pengangkutan,
penumpukan/penyimpanan, pemasaran, sampai dengan penggunaannya.
Dengan terbitnya Keppres No. 75 tahun
1996, maka penanaman modal swasta (PMA maupun PMDN) dalam bidang usaha
pertambangan batubara tidak lagi didasarkan pada kerjasama antara pihak investor swasta
dengan BUMN (d.h.i. PT. Bukit Asam) tetapi antara pihak swasta langsung dengan
pemerintah. Pola kontraknya tidak lagi berbentuk Kontrak Kerjasama Pengusahaan
Batubara (KKSPB) melainkan merupakan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara (PKP2B).
Keputusan Presiden No. 75/1996
tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
(PKP2B) pada intinya dapat dirangkum sebagai berikut:
a. Pola perjanjian adalah Kontrak Karya
antara investor swasta sebagai kontraktor dan pemerintah sebagai prinsipal;
b. Kontraktor bertanggungjawab penuh
atas pengusahaan dan pengelolaan, serta menanggung semua biaya dan resiko proyek;
c. Impor barang modal dan bahan bebas
bea masuk, pungutan impor dan bea balik nama sesuai peraturan perundangan yang
berlaku;
d. Kontraktor wajib membayar kepada
pemerintah:
1) 13,5% dari harga hasil produksi
batubara;
2) Pajak‑pajak sesuai peraturan yang
berlaku;
3) Pungutan‑pungutan daerah yang
disahkan oleh Pemerintah Pusat;
4) Biaya administrasi umum;
5) Iuran tetap berdasarkan luas wilayah
Kontrak Karya Pertambangan.
Keppres No. 75/1996 ini dilengkapi
dengan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 680.K/29/RI.PE/1997
tentang Pelaksanaan Keppres No. 75/1996, yang pada intinya memuat hal‑hal
sebagai berikut:
a. Beralihnya urusan mengenai
pengusahaan pertambangan batubara dari PT. Tambang Batubara Bukit Asam kepada
Menteri Pertambangan dan Energi dan dilaksanakan oleh Dirjen Pertambangan Umum;
b. Wilayah Kuasa Pertambangan berubah
menjadi Wilayah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara;
c. Produksi batubara bagian pemerintah,
baik yang telah diterima maupun yang belum akan diterima PT. Tambang Batubara Bukit Asam, disetorkan
langsung ke rekening Kas Negara pada Bank Indonesia.
3. Jaminan Reklamasi Lahan Bekas Penambangan Batubara
Salah satu kewajiban pemegang Kuasa
Pertambangan berdasarkan UUPU dan peraturan‑peraturan pelaksanaannya adalah
bahwa apabila telah selesai melakukan kegiatan penambangan, maka pemegang KP
wajib mengembalikan lahan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya
bagi masyarakat sekitamya.
Mengacu pula pada Keputusan Menteri
Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tanggal 17 Juli 1995 tentang
Pencegahan dan Penangaulangan perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan
Usaha Pertambangan Umum, dimana dalam Pasal 29 ditentukan bahwa untuk menjamin
terlaksananya reklamasi secara tepat tanpa membebani iklim investasi di bidang
pertambangan umum, maka dikeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Pertambangan
Umum Nomor 336.K/271/DDPJ/1996 tentang Jaminan Reklamasi.
Keputusan Dirjen Pertambangan Umum
mengenai Jaminan Reklamasi tersebut di atas, pada intinya dapat dirangkum
sebagai berikut:
a. Jaminan reklamasi adalah dana yang
disediakan oleh perusahaan pertambangan sebagai jaminan untuk melakukan
reklamasi di bidang pertambangan umum;
Reklamasi adalah kegiatan yang
bertujuan memperbaiki atau menata keguanaan lahan yang terganggu sebagai akibat
kegiatan usaha pertambangan umum agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai per‑untukannya;
Jaminan reklamasi dikenakan bagi
seluruh perusahaan per‑tambangan pada tahap penambangan atau operasi produksi
b. Jumlah jaminan reklamasi ditetapkan
berdasarkan biaya reklamasi sesuai dengan Rencana Tahunan Pengelolaan
Lingkungan (RTPL) untuk angka waktu lima tahun,
c. Bentuk jaminan reklamasi dapat berupa
deposito berjangka yang ditempatkan pada bank pemerintah atas nama Diden qq.
Perusahaan. yang bersangkutan dan/atau "accounting
reserve dan/atau jaminan pihak ketiga.
d. Jaminan reklamasi harus ditempatkan
sebelum melakukan kegiatan penambangan dan perusahaan‑yang bersangkutan harus
mengajukan kepada Dirjen untuk jaminan yang akan ditempatkan, yang akan
menerbitkan Surat Perintah pelaksanaan Jamman Reklamasi.
e. Pencairan dana jaminan reklamasi
dapat dilakukan sesuai tahapan pelaksanaan reklamasi, yaitu:
1. 60% setelah selesai :
a. Pengisian kembali lahan bekas tambang
dan penataan lahan baGI pertambangan yang kegiatannya dilakukan. pengisian
kembali; atau
b. Bagi kegiatan pertambangan yang
kegiatannya tidak dapat dilakukan pengisian kembali, penataan kegunaan lahan dilakukan sesuai
dengan peruntukannya sebagaimana disepakati dalam RTPL.
2. 20% setelah selesai:
a. Melakukan revegetasi kecuali
ditentukan lain;
b. Pekerjaan sipil dan/atau kegiatan
reklamasi lainnya sebagaimana disepakati dalam RTPL.
3. 20%
setelah kegiatan reklamasi dinyatakan selesai oleh Direktur Jenderal.
f. Bagi perusahaan pertambangan yang
telah mendapatkan penghargaan lingkungan, maka kepada perusahaan tersebut akan
diberikan 50‑10 keringanan dari besarnya jumlah jaminan reklamasi yang telah ditetapkan untuk satu
tahun berikutnya.
g. Sanksi‑sanksi:
1) Dirjen memberikan peringatan secara
tertulis kepada perusahaan pertambangan apabila tidak menunjukkan kesungguhan,
gagal atau lalai dalam melaksanakan reklamasi sesuai dengan RTPL;
2) Apabila dalam jangka waktu 60 hari
setelah menerima surat peringatan, perusahaan pertambangan tersebut tidak
melaksanakan reklamasi, Dirjen melakukan tindakan sebagai berikut:
a. Menunjuk pihak ketiga untuk
menyelesaikan reklamasi dengan menggunakan sebagian atau seluruh jaminan
reklamasi yang ditempatkan;
b. Menghentikan atau menutup sementara
sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangannya.
Perusahaan
pertambangan yang kegiatan usaha pertambangannya dihentikan karena lalai atau
gagal melaksanakan kewajiban reklamasi maka perusahaan pertambangan dan
pemegang saham mayoritas tidak diberikan lagi kesempatan untuk berusaha di
bidang pertambangan umum
[1]
Soetaryo Sigit,(1), Industri Pertambangan Batubara Indonesia, PT.
Geoservices (LTD), Bandung,1997, hal. 3
[2] Secara umum, nilai kalor yang
dihasilkan 1 ton batubara equivalent dengan 3 bbl minyak burni. Lihat:
Sukandarrumidi, Op cit. Hat. 25
[3]
Peranan batubara dibandingkan
dengan sumber energi yang lain sarnpai pada akhir tahun 1984 masih sangat
rendah, ialah hanya 0,51% dari total konsurnsi energi, sedangkan pada tahun
1994 telah meningkat menjadi sekitar 8,8%.
[4] Ibid., hal. 3‑4
[5] Ibid., hal. 7
[6]
Soetaryo Sigid, (11), Kemungkinan Peranan Batubara dalam Pola Pengembangan
Energi Nasional, Jakarta, 27 Juji 1974.
[7]
Koesnadi Hardjasoemantri, (11), Hukum Tata Lingkungan, Edisi keenam
Cetakan keduabelas, Gajahmada University Press, 1996, hal. 146
[8] Dalam UU Minerba (UU No.4/2009)
istilah Kuasa Pertambangan(KP) dirubah menjadi Ijin Usaha Pertambangan (IUP).
Dalam Aturan Peralihan UU Minerba, disebutkan bahwa KK dan PKP Batubara yang
telah ada sebelum UU ini, masih tetap diberlakukan sampai jangka waktu
berakhirnya kontrak.
[9] Peraturan Pemerintah tentang
Pelaksanaan UU No. 4/2009 belum ada.
BAB III
DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP DAN KORBAN YANG TIMBUL AKIBAT PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA (PPB)
A. Tinjauan Umum tentang Dampak Lingkungan Akibat PPB
Embargo minyak dari negara‑negara
Arab (OPEC) pada tahun 1973 sebagai salah satu akibat dari Perang Teluk,
menyentakkan seluruh dunia dan
menimbulkan kesadaran bahwa minyak bukanlah bahan bakar yang tidak terbatas
jumlahnya, padahal minyak merupakan sumber energi utama yang menyangkut
kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan. Karena itu kelangkaan dan
kenaikan harga minyak sangat mempengaruhi perekonomian hampir seluruh negara. (baik
negara maju maupun negara berkembang),
dan pada gilirannya mengguncang seluruh sistem perekonomian internasional.[1]
Kesadaran akan vitalnya energi,
menimbulkan gejala bahwa, orang bersedia untuk sedikit atau banyak mengorbankan
lingkungan hidup (LH). Hal ini tidak lain karena makin banyak orang memandang
permasalahan LH bersifat abstrak, dan kerusakan/ pencemaran LH tersebut
akibatnya tidak dirasakan seketika. Misalnya di Amerika Serikat, salah satu
akibat embargo minyak ialah dikendorkannya 'baku mutu' oleh Nixon. Dengan
pengendoran itu, bahan bakar yang mengandung lebih banyak belerang dapat
digunakan, padahal pembakaran bahan bakar ini akan menaikkan gas CO2 dalam udara. Hal ini juga dapat tejadi di Indonesia.
Eksploitasi bahan bakar akan terus meningkat termasuk batubara. yang banyak
mengandung belerang.[2]
Di Indonesia, pengusahaan
pertambangan batubara telah
memperlihatkan hasil positif khususnya yang berhubungan dengan peningkatan
perekonomian baik tingkat nasional, daerah, maupun dalam skala yang lebih
kecil, yakni peningkatan penghasilan masyarakat di sekitar lokasi penambangan
karena terbukanya kesempatan kerja dan peluang berusaha. Namun sudah menjadi
hukum alam, setiap kegiatan manusia selalu menimbulkan akibat positif dan
negatif. Demikian pula dengan pengusahaan pertambangan batubara ini.
Disamping dampak positif yang
ditimbulkannya, maka dampak negatif juga menyertainya, khususnya yang
berhubungan dengan kerusakan lingkungan. Pengusahaan
pertambangan batubara mencakup berbagai tahap kegiatan, yang terdiri dari: (a)
tahap penambangan, pencucian dan penumpukan; (b) tahap pengangkutan dan penimbunan‑penyimpanan;
dan (c) tahap
penggunaan/pemanfaatan.
Dari keseluruhan rangkaian kegiatan
usaha pertambangan batubara, kegiatan pada tahap penambangan merupakan kegiatan
yang paling besar menyebabkan kerusakan pada lingkungan, karena kegiatan ini pada hakekatnya adalah membongkar tanah dan batuan
untuk mengambil sesuatu yang berharga (batubara) yang terkandung di dalamnya.
Teknik penambangan juga turut
menentukan tingkat kerusakan lingkungan. Sistem dan cara penambangan secara
umum dapat digolongkan menjadi
tiga yaitu:
1. Tambang Terbuka (surface mining), yaitu sistem penambangan endapan bahan galian yang pelaksanaannya
berbatasan langsung dengan udara bebas atau atmosfir. Sistem penambangan ini
dibagi lagi berdasarkan jenis endapan bahan galian yang dikedakan yaitu:
a. Open pit‑mining, untuk penambangan endapan bijih (ore) seperti batubara;
b. Alluvial mining, untuk penambangan endapan‑endapan
alluvial, misainya: timah sekunder, emas sekunder, pasir besi dan lain‑lain;
c. Strip mining, untuk
endapan sedimen yang letak endapannya kurang lebih mendatar, misaInya:
batubara, garam batu dan. lain‑lain;
d. Quaary, untuk
endapan bahan galian industri, yaitu batu gamping, batu kalsit, marmer dan lain‑lain.
2. Tambang bawah tanah, yaitu sitem
penambangan yang seluruh aktivitas kerjanya tidak berhubungan secara langsung
dengan udara atau atmosfir. Pada garis besarnya penambangan dengan sistem ini
terdiri dari:
a. Sistem terowongan vertikal (ke bawah)
b. Sistem terowongan horizontal
(mendatar) ; dan
c. Sistem kombinasi terowongan vertikal
dan horizontal.
3. Tambang bawah air, yaitu sistem
penambangan untuk endapan bahan galian yang seluruhnya terdapat di bawah
permukaan air. Berdasarkan lokasi endapan bahan galian, dibagi menjadi: (1)
Bawah permukaan air darat (sungal, rawa, dangu dan lain‑lain) dan (2) Bawah
permukaan laut (dangkal, dalam).
Berdasarkan
data dari hasil penyelidikan umum dapat diketahui dimana terdapatnya dan
bagaimana cara terbentuknya bahan galian, maka dapat ditentukan pula bagaimana
cara penambangan yang paling tepat. Dalam pengusahaan penambangan batubara,
sistem penambangan yang dipakai pada umumnya adalah sistem tambang terbuka khususnya open pit‑mining.
Dengan adanya kegiatan penambangan
batubara, terjadi perubahan‑perubahan terhadap kualitas tanah, air dan udara,
seperti morfologi dan bentang alam; erosi tanah; kualitas air; dan kualitas
udara baik dalam skala lokal maupun global.[3]
Dampak lingkungan yang timbul akibat
pengusahaan pertambangan batubara pada setiap tahapannya adalah sebagai
berikut:
1. Tahap penambangan, dampak yang timbul
antara lain:
a. Kerusakan dan perubahan muka tanah;
b. Debu tanah dan debu batubara;
c. Pembuangan/ penimbunan tanah kupasan/galian;
d. Erosi dan pembuangan air dari tambang;
e. Pembuangan air limbah cucian batubara;
f. Gangguan kebisingan suara;
g. Kesehatan dan keselamatan kerja
tambang;
h. Kesehatan masyarakat di sekitar lokasi
penambangan;
i. Bahaya kebakaran batubara.
2.
Pada
tahap pengangkutan dan penumpukan‑penyimpanan, dampak yang timbul antara lain:
· Ceceran batubara dan pengotoran.
lingkungan
· Bahaya kebakaran. batubara
· Bahaya lalu lintas angkutan
· Gangguan ketenangan lingkungan
3. Sedangkan
pada tahap penggunaan/pemakaian, dampak yang timbul antara lain:
·
Pelepasan
abu ke udara (fly ash)
·
Pengotoran
udara dan kesehatan lingkungan
·
Emisi
gas'yang mengandung SOx, NOx dan C02
·
Hujan
asam, kerusakan. fauna dan flora
·
Perubahan
iklim (efek rumah‑kaca)
·
Pembuangan/penumpukan
debu sisa pembakaran.
Dari uraian di atas, dapat dirinci
juga komponen lingkungan hidup[4] yang terkena
dampak akibat kegiatan pengusahaan pertambangan batubara. Komponen‑komponen
tersebut meliputi:
1. Fisik‑Kimia yang mencakup: morfologi,
geoteknik dan air tanah, tanah, hidrooseanografl, kualitas air, serta iklim dan
kualitas udara.
2. Biologi, yang mencakup: (a) biota
darat: flora darat dan fauna darat; dan (b) biota perairan
3. Sosial Budaya yang mencakup: a)
kesempatan kerja; dan b) migrasi
Pengusahaan pertambangan batubara
sebagai kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang potensial menimbulkan
perubahan ekosistem yang mendasar. Perencanaan kegiatan tersebut perlu
dilengkapi dengan analisis terhadap dampak lingkungan sebagaimana yang
ditentukan dalam PP No. 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL).
AMDAL merupakan hasil studi mengenai
dampak penting suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. Hasil studi ini terdiri dari
beberapa dokumen,
yakni Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).[5]
(RKL) berfungsi sebagai pedoman dalam
menanggulangi dampak. Dengan demikian RKL dapat mengikat semua pihak untuk
membantu menanggulangi kemungkinan dampak negatif dalam pembangunan. Sedangkan
RPL merupakan pedoman yang lebih rinci tentang bagaimana seharusnya pemantauan
lingkungan dilaksanakan, kapan dilaksanakan dan siapa yang bertanggungjawab.
B. Korban yang Timbul Akibat Pengusahaan Pertambangan Batubara (PPB)
Secara
terminologis, korban (victim) adalah orang atau sekelompok orang yang menderita
kerugian akibat dilakukannya suatu kejahatan. Dalam Black’s Law Dictionary
disebutkan bahwa, Victim, the person who is the object of crime or tort, as the
victim of a robbary is the person robbed. Person who court determines has
suffered pecuniary damages as result of defendant’s criminal activities, that
person may be individual, public or private corporation, government,
partnership, or unincorporated association.[6]
Korban
dalam pengertian yang cukup luas dinyatakan dalam Declaration on Basic
Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, korban (victim)
ialah:
‘person
who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or
mental injury, emotional, economic loss or substantial impairment of their
fundamental rights, thought acts or omissions that are in violation of criminal
laws operative whitin member states, including those laws proscribing criminal
abuse of power’.
Menurut
kesepakatan internasional yang tertuang dalam Resolusi MU-PBB tersebut di atas
dinyatakan bahwa, yang dimaksud dengan ‘korban’ ialah orang-orang, baik secara
individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak
berbuat) yang melanggar hukum
pidana yang berlaku di suatu Negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang
penyalahgunaan kekuasaan. Dalam bagian lain dinyatakan, khususnya sewaktu menjelaskan
‘victims of Abuse of Power’, bahwa dalam pengertian ‘korban’ termasuk juga
orang-orang yang menjadi korban dari perbuatan-perbuatan (tidak berbuat) yang
walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi
sudah merupakan pelanggaran menurut norma-norma HAM yang diakui secara
internasional.[7]
Dalam
perkembangan selanjutnya, korban diartikan lebih luas lagi, yaitu segala
sesuatu (orang, orang-orang, lembaga, lingkungan hidup, dan lain sebagainya)
yang dirugikan akibat dilakukannya (tidak dilakukannya) suatu perbuatan.
Pengertian
korban dalam tulisan
ini adalah korban dalam pengertian yang luas. Korban di sini juga meliputi
korban nyata (real victim) maupun korban potensial (potential victim), yang
timbul akibat pengusahaan pertambangan batubara.
Pemahaman terhadap korban akibat
tercemarnya atau rusaknya
lingkungan hidup (LH) dapat dimulal dengan konsep hak mendasar setiap orang (HAM)
atas lingkungan hidup yang sehat. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UUPLH, setiap orang
mempunyai hak yang sama atas LH yang baik dan sehat (the right to a healthy environment).[8]
Tercemamya dan/atau rusaknya LH
merupakan pelanggaran terhadap HAM yang dikategorikan sebagai tindak pidana lingkungan hidup (TPLH), pelakunya dapat
bersifat perorangan atau kolektif. Dampak lingkungan hidup akibat pengusahaan
pertambangan batubara (PPB) dapat menimbulkan korban baik terhadap LH itu
sendiri, perorangan, maupun kelompok. Dalam pengertian yang cukup Was dinyatakan dalam Declaration on Basic Principles of Justice
for Victims of Crime and Abuse of Power, korban (victim) ialah:[9]
"person who, individually or colletively, have
suffered harm, including physical Or mental injury, emotional suffering, economic
loss or substansial impairment of their fundamental rights, thought acts or
ommisions that are in violation of criminal laws operative within Member
states, including those laws proscribing criminal abuse Of power
Dalam kaitannya dengan korban
pencemaran/perusakan LH, maka perlu diingat bahwa dalam TPLH hal yang paling
mendasar adalah kualifikasinya sebagai tindak pidana ekonomi (economic crimes).[10]
Tindak pidana ekonomi seringkali diistilahkan sebagai white collar crime yang menimbulkan kerugian pada kepentingan
negara dan kepentingan masyarakat, karena tindak pidana ekonomi selalu
berkaitan dengan sistem ekonomi suatu bangsa.[11]
Selain lingkungan hidup dan sistem
perekonomian
negara, korban‑korban potensial dari tindak pidana lingkungan hidup ini adalah:
1. Manusia perorangan atau kolektif yang
menderita fisik maupun mental;
2. Perusahaan saingan yang kalah efisien
karena taat pada ketentuan pengelolaan lingkungan hidup yang memerlukan biaya
yang besar;
3. Karyawan (employees) karena bekerja pada lingkungan yang tidak aman/sehat.[12]
Melihat luasnya cakupan korban yang
timbul akibat TPLH, maka perlindungan terhadap korban merupakan suatu keharusan sebagai bagian
dari pemenuhan hak asasi manusia dan kelangsungan masa depan kemanusiaan.
Masalah perlindungan korban dan HAM mempunyai keterkaitan yang erat, seperti
yang dinyatakan oleh Zvonimir‑Paul Separovic, "the rights of the victim are a component part of the concept of
human rights ".[13]
Masalah perlindungan korban termasuk
salah satu masalah yang juga
mendapat perhatian dunia internasional. Dalam Kongres PBB V11/1985 di Milan (tent.ang Prevention Crime and the Treatment of
Offenders) dikemukakan bahwa, hak‑hak korban seyogyanya dilihat sebagai
bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana victim's rights should be perceived an integral aspect of the total
criminal justice system).[14] Dari Kongres
ini pula diajukan rancangan resolusi tentang perlindungan korban ke Majelis Umum PBB, yang
kemudian menjadi Resolusi MU‑PBB No. 40/34 tertanggal 29 November 1985 tentang "Declaration of Basic Principles of
Justice for k‑victim of Crime and Abuse of Power".
Ruang lingkup dan tipologi korban
telah banyak dibahas. Menurut kesepakatan internasional yang tertuang dalam Resolusi
MU‑PBB tersebut di atas dinyatakan[15] bahwa yang dimaksud dengan 'korban' ialah
orang‑orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian
akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di
suatu negara, termasuk peraturan‑peraturan yang melarang penyalahgunaan
kekuasaan. Dalam bagian lain dinyatakan, khususnya sewaktu menjelaskan Abuse of Power', bahwa dalam penegertian
'korban' termasuk juga orang‑orang yang menjadi korban dari perbuatan‑perbuatan
(tidak berbuat) yang walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana
nasional yang berlaku, tetapi sudah merupakan satu pelanggaran menurut norma‑norma HAM
yang diakui secara internasional.[16]
Patut dicatat, bahwa pengertian
'kerugian' (harm) menurut resolusi
tersebut, meliputi kerugian fisisk maupun mental (physical or mental injury), penderitaan emosional (emotional suffering), kerugian ekonomi (economic loss), atau perusakan
substansial dari hak‑hak asasi mereka (substantial
impairment of their fundamental rights).
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa
seseorang dapat dipertimbangkan sebagai korban tanpa melihat apakah si pelaku
kejahatan itu sudah diketahui, ditahan, dituntut, atau dipidana dan tanpa
memandang hubungan keluarga antara si pelaku dengan korban. Sekiranya cukup
layak, istilah 'korban' juga dapat mencakup keluarga dekat atau orang-orang yang menjadi
tanggungan korban, dan juga orang‑orang yang menderita kerugian karena berusaha
mencegah terjadinya
korban.
Dalam hukum pidana positif,
perlindungan korban lebih banyak merupakan ‘perlindungan abstrak' atau
'perlindungan tidak langsung'. Artinya dengan adanya perumusan tindak pidana
dalam peraturan perundang‑undangan selama ini, berarti pada hakikatnya telah ada perlindungan
'in abstracto' secara tidak langsung
terhadap berbagai kepentingan hukum dan has‑hak asasi korban.[17]
Dikatakan demikian, karena tindak
pidana menurut hukum pidana positif tidak dilihat sebagai perbuatan
menyerang/melanggar kepentingan hukum seseorang (korban) secara Pribadi dan
konkrit, tetapi hanya dilihat sebagai pelanggaran 'norma/tertib hukum ‘in abstracto’.
Akibatnya, perlindungan korbanpun tidak secara langsung dan 'in concreto',
tetapi hanya 'in abstracto'. Dengan
kata lain, sistem sanksi
dan pertanggungjawaban Pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban secara
langsung dan konkrit, tetapi hanya Perlindungan korban secara tidak langsung
dan abstrak. Jadi pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku bukanlah
pertangungjawaban terhadap kerugian/penderitaan korban secara langsung dan
konkrit tetapi lebih tertuju pada pertanggungjawaban yang bersifat
pribadi/individual.
Dalam hal‑hal tertentu, hukum pidana
positif (material/formal) memberi perhatian juga kepada korban secara langsung.
Seperti yang terlihat dalam Pasal 14c KUHP, di mana hakim dapat menetapkan
syarat khusus bagi terpidana untuk 'mengganti kerugian' (semua/sebagian) yang
ditimbulkan dari tindak pidana. Jadi ganti rugi di sini seolah‑olah berfungsi
sebagai pengganti pidana pokok.
Penetapan ganti rugi ini dalam
praktek jarang diterapkan karena mengandung, beberapa kelemahan, antara lain:[18]
a. penetapan ganti rugi ini tidak dapat
diberikan sebagai sanksi yang berdiri sendiri di samping pidana pokok, ia hanya
dapat dikenakan dalam hal hakim bermaksud menjatuhkan pidana bersyarat, jadi
hanya sebagai 'syarat khusus' untuk tidak dilaksanakannya/dijalaninya pidana
pokok yang dijatuhkan kepada terpidana;
b. penetapan syarat khusus berupa ganti
rugi inipun hanya dapat diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama
satu tahun atau pidana kurungan;
c. syarat khusus berupa ganti rugi
inipun menurut KUHP hanya bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif
Bab XIII (Pasal 98‑101) KUHAP (UU No.
8/1981) memberi kemungkinan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam
perkara pidana. Dalam putusan, hakim berwenang menetapkan hukuman
"pengganti biaya yang telah diketuarkan oleh Pihak yang dirugikan
(korban)". Namun perlu dicatat, bahwa hukuman pengganti biaya di sini
tetap bersifat keperdataan, bukan sebagai sanksi pidana. Di samping itu
kelemaharinya ialah, bahwa menurut Pasal 100 (2) KUHAP, apabila terhadap
perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding
mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan. Di satu sisi ketentuan seperti
ini memang bisa menguntungkan korban, tetapi juga dapat merugikan.
Menurut Muladi, persoalan TPLH
menjadi semakin kompleks karena juga merupakan masalah etika baik sosial maupun bisnis, jadi
yang dilindungi hukum pidana juga meliputi masa depan kemanusiaan yang kemungkinan menderita akibat degradasi LH (the anthropocentric approach), sehingga
timbul istilah "the environmental laws carry penal
sanction that protect a multitude of interest".[19]
Masa depan kemanusiaan yang
kemungkinan menderita akibat degradasi fungsi lingkungan, merupakan korban
potensial yang tidak serta merta dapat dilihat begitu terjadinya pencemaran
dan/atau perusakan LH. Namun para pakar telah memprediksikan bahwa di masa yang
akan datang akan terjadi kemerosotan besar‑besaran terhadap kualitas lingkungan
hidup yang bersifat global. Dalam. konteks inilah hak setiap orang yang paling
mendasar (HAM) untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak
dapat dipenuhi.
Kekhawatiran akan degradasi kualitas
LH berupa hujan asam, pemanasan global, perubahan iklim (efek rumah kaca) dan
rusaknya lapisan ozon merupakan kekhawatiran semua bangsa.[20] Terjadinya
hujan asam disebabkan oleh pencemaran udara yang berasal dari pembakaran bahan
bakar fosil (BBF), seperti gas bumi, minyak bumi dan batubara. Pembakaran ini
menghasilkan gas oksida belerang (S02) dan oksida nitrogen (N02).
Kedua jenis gas itu dalam udara mengalami reaksi kimia dan berubah menjadi asam
(asam sulfat dan asam nitrat). Asam itu bisa langsung terbawa angin ke
permukaan bumi dan mengenai
makhluk hidup dan bangunan (deposisi kering), sebagian lagi asam itu terbawa
angin ke ata dan terbawa hujan turun ke bumi (deposisi basah). Deposisi kering dan
deposisi basah secara populer disebut hujan asam.
Hujan asam telah menyebabkan kematian
banyak organisme air di sungai dan danau. Beribu danau di Amerika Utara dan
Eropa telah mengalami kematian. Di Eropa sekitar 50 juta hektar hutan telah
mengalami kerusakan oleh hujan asam. Hujan asam juga menaikkan kelarutan beberapa jenis
logam, yang sangat berbahaya bilamana kelarutan logam mempengaruhi air yang
dikonsumsi masyarakat.
Pemanasan global merupakan peristiwa
naiknya intensitas efek rumah kaca (ERK). ERK terjadi karena adanya gas dalam
atmosfer yang menyerap
sinar panas, yaitu sinar inframerah, yang dipancarkan oleh bumi. Gas itu disebut gas
rumah kaca (GRK). Dengan penyerapan itu sinar panas terperangkap sehingga naiklah suhu permukaan
bumi."'[21]
Tanpa GRK tidak ada ERK dan suhu
permukaan bumi rata‑rata hanya ‑ 180 C saja, dengan adanya ERK suhu
bumi rata‑rata 150 C. Jadi ERK sangat berguna bagi kehidupan di bumi.
Tetapi akhir‑akhir ini tercatat naiknya kadar GRK dalam atmosfer, yaitu CO2 dan beberapa gas lain. Dengan naiknya kadar GRK maka
ERK akan meningkat, dan suhu permukaan bumi akan meningkat pula keadaan inilah
yang disebut dengan pemanasan global.
Dampak pemanasan global ini antara
lain ialah: (1) perubahan iklim sedunia, yaitu perubahan curah hujan yang
sangat berpengaruh pada sistem pertanian; (2) menaikkan frekuensi dan
intensitas badai, seperti yang dialami Banglades dan Filipina, (3) menaikkan
suhu permukaan laut, yang menimbulkan bertambahnya volume air; (4) melelehkan
es abadi di pegunungan dan di daerah kutub.
Dengan laju kenaikan kadar GRK seperti sekarang, diperkirakan pada sekitar
tahun 2030 suhu akan naik 1,5 ‑ 4,5o C. Kenaikan suhu' ini akan menyebabkan
naiknya permukaan laut sampai dengan 25 ‑ 140 Cm. Dampak naiknya permukaan laut
ialah tergenangnya daerah pantai yang rendah, seperti tambak, sawah, dan
bagian kota yang rendah, seperti daerah pantai Jakarta, Surabaya dan Semarang.
Selain itu, laju erosi pantai, peresapan air laut di sungai dan di tanah yang
semakin sulit, juga merupakan dampak dari naiknya permukaan laut akibat
pemanasan global, yang pada gilirannya menimbulkan kerugian sosial ekonomi yang
tidak terhingga.
Selain hujan asam dan efek rumah
kaca, kerusakan lapisan ozon juga merupakan kekhawatiran global. Ozon merupakan
senyawa kimia yang terdiri atas tiga atom oksigen. Di lapisan atmosfer yang
sangat rendah ia mengganggu kesehatan, di lapisan atas atmosfer ia melindungi
makhluk hidup dari sinar ultraviolet yang dipancarkan oleh matahari. Apabila
kadar ozon dalam lapisan itu berkurang, kadar sinar ultraviolet yang sampai ke
bumi bertambah. Keadaan ini menimbulkan risiko untuk mengidap penyakit kanker
kulit, katarak dan menurunnya kekebalan tubuh akan meningkat.
Dalam tahun 1985 sebuah tim peneliti Inggris di daerah kutub
selatan Antartika menemukan penurunan yang drastis kadar ozon dalam stratosfer pada
permulaan musim semi. Kejadian ini kemudian ditentukan pula di atas daerah kutub utara Afrika. Ada
bukti kuat yang menunjukkan, penurunan itu disebabkan karena rusaknya ozon oleh
segolongan zat kimia yang disebut Chloro fluorocarbon (CFC). CFC banyak digunakan
dalam industri dan kehidupan kita sehari‑hari.
Dengan gambaran ancaman bahaya kesehatan
dan kesejahteraan umat manusia baik secara regional maupun global tersebut, harapan untuk
dapat diambilnya tindakan yang tepat nampaknya semakin besar. Misalnya pada
tahun 1985 telah disetujui sebuah persetujuan internasional yang dikenal dengan nama Konvensi Wina. Konvensi ini bertujuan untuk membatasi dan
akhirnya melarang penggunaan CFC dan zat lain yang menyebabkan kerusakan lapisan ozon di
stratosfer.
Pada bulan Juni 1992, di Rio de Janeiro,
Brasil, telah diadakan Konferensi
PBB tentang LH dan Pembangunan (united
Nations Conference on Environment and Development). Konferensi ini terkenal
dengan nama
KTT Bumi. KTT Bumi yang dihadiri lebih dari 100 kepala negara dan kepala
pemerintahan telah menghasilkan Deklarasi Rio; Konvensi tentang Perubahan
Iklim; Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati; Prinsip tentang Hutan; dan Agenda 21.
Deklarasi Rio mengandung prinsip‑prinsip
kesepakatan, di mana dinyatakan bahwa tujuan KTT Bumi ialah untuk mengembangkan
kemitraan global baru yang adil. Deklarasi ini menyatakan bahwa manusia adalah
pusat perhatian pembangunan berkelanjutan. Hal ini menunjukkan dengan jelas pandangan
antroposentris. Deklarasi itu berusaha untuk mengurangi bahaya itu dengan
menyatakan bahwa manusia berhak atas kehidupan yang sehat dan produktif yang serasi dengan
alam.[22]
[1] Lihat: Christopher Flavin &
Nicholas Lenssen, Gelombang Revolusi Energi, Yayasan, Obor Indonesia, Jakarta,
1995, hal. 17‑19.
[2]
Otto Soernarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Ed. Rev.
Cet. ke‑7), Penerbit Djambatan, Jakarta, 1997, hal. 13. Bandingkan: John O.
Blackburn, Energi Terbarui –Menyongsong Kemakmuran Tanpa Enegi Nuklir dan
Batubara‑,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988, hal. 2‑3.
[3] Lihat: Laporan Worldwatch
Institute, (Peny. Lester R. Brown), Jangan Biarkan Bumi Merana, Yayasan
Obor Indonesia, 1993, hat. 225. Lihatjuga: Lester R. Brown, et al., Tanda‑tanda
Zaman Era 90‑an, Yayasan Obor Indonesia, 1995, hal. 117‑121
[4]
Lihat: Chafid Fandeli, Analisis Mengenai Dampak Linpkungan Prinsip Dasar dan
Pemapanannya dalam Pembangunan, (Edisi Revis is), Liberty, Yogyakarta,
1995, hal. 119
[5] Ibid, hal. 34‑51
[7] United Nations, A Compilation of
International Instrument, Vol. I, New York, 1993, hal. 382 dan seterusnya,
khususnya butir no. 1 dan 18. Bandingkan: Barda Nawawi Arief (III), Beberapa
Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1998, hal. 53.
[8]
Lihat: The Intemational Bill of Human Rights (art. 25), lihat juga: International Covenant on Economic ,Social
and Cultural Rights (art. 11), lihat juga: The Rio Declaration on Environment and Development (Principles 2).
[9] Bandingkan : Muladi (III), op
cit., hal. I I
[10] Di Belanda secara umum
dirumuskan sebagai: "any non‑violent,
illegal activity which principally involves deceit, misrepresentation,
oncealment, manipulation, breach of trust, subterfuge or illegal circumvention "
Lihat: Muladi (III), op cit., hat. I 1‑ 14
[11] Lihat: Muladi (III), ibid.
Lihatjuga: Tom Canon, Corporate Responsibility, PT. Elex Media
Komputindo, Jakarta, 1992, hat. 195‑197
[12] Bandingkan
dengan: Marshall B. Clinard & Peter C. Yeager, Corporate Crime, The
Free Press, A Division of Macmillan Publishing Co., Inc., New York, Collier
Macmillan Publishers, London, 1980, hat. 123
[13] Zvonimir‑Paul
Separovic, Victimology, Studies of Victims, dalam Barda Nawawi Arief (III), Beberapa
Aspek Kebiiakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1998, hal. 53
[14] Barda Nawawi Arief, (III), Ibid.
[15] United
Nations, A Compilation of International Instrument, Volume 1, New York, 1993,
hat. 382 dan Seterusnya, khususnya butir No. 1 dan 18
[16] Bandinakan:
Richard Quiney, Who is the Victim, dalam Victimology (ed. Israel
Drapkin and Emilio Viano), D.C. Heath and Company, Lexington, Massachusetts
Toronto, London, 1974, halt. 103
[17] Barda Nawawi Arief (III), Op.
cit. hal. 55. Bandingkan: Richard Quiney, ibid, hal. 104
[18] Barda Nawawi Arief (III), ibid,
hal. 57
[19] Muladi, (III), Op. cit.
[20] Lihat: Harlan Cleveland, Lahirnya
Sebuah Dunia Baru. Yayasan Obor Indonesia, 1995, hal. 256‑264 Lihatjuga:
Kirkpatrick Sale, Revolusi Hiiau Sebuah Tiniauan Historis‑Kritis Gerakan
Lingkungan Hidup di Amerika Serikat, Yayasan Obor Indonesia, 1996, hal.91‑99
[21] Lihat: Gerald
Foley, Pemanasan Global -Siapakah yang Merasa Panas?-, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, hat. 3‑17. Lihat juga: Eggi Sudjana, (I), HAM, Demokrasi
dan Lingkungan Hidup ‑Perspektif Islam‑, Yayasan As‑syahidah, Bogor, 1998,
hat. 96‑101
[22] Lihat: Ditjen Pembinaan Pers dan
Grafika, Departemen Penerangan RI, Konferensi Tingkat Tinggi Bumi, Pio
de Janeiro, 3 ‑ 14 Juni 1992
BAB IV
Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Dampak Lingkungan Hidup Akibat Pengusahaan Pertambangan Batubara
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
1. Landasan Pemahaman Kebijakan Hukum Pidana
Perkembangan masyarakat di zaman
modern yang begitu pesat akibat pembangunan yang sedang dilaksanakan, perlu
diikuti dengan kebijakan di bidang hukum sebagai sarana untuk menertibkan dan
melindungi masyarakat dalam mencapai kesejahteraannya.
Munculnya kejahatan-kejahatan dengan
dimensi baru yang merupakan dampak negatif dari perkembangan masyarakat dan pembangunan dewasa
ini khususnya dengan timbulnya dampak lingkungan sebagai akibat eksploitasi
sumber daya alam yang mengancam terlaksananya kesinambungan pembangunan itu
sendiri, perlu ditanggulangi dengan berbagai upaya penanggulangan yang lebih
efektif, dalam hal ini salah satunya adalah penanggulangan dengan sarana hukum
pidana.
Semakin
kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan aparat penegak hukum
dalam menanggulangi kejahatan modern perlu diimbangi dengan pembenahan dan
pembangunan sistem
hukum pidana secara menyeluruh meliputi pembangunan budaya, struktur, dan
subtansi hukum pidana. Jelaslah bahwa hukum pidana (penal policy) menduduki posisi yang sangat strategis dalam pengembangan
hukum pidana modern.[1]
2. Tinjauan tentang Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
Secara
terminologis, kebijakan berasal dari kata policy (bahasa Inggeris) atau
politiek (bahasa Belanda) yang diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi dan
sebagainya; pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis
pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran; garis haluan).[2]
Dari
beberapa literatur, dapat diketahui dan dipahami arti kata kebijakan. Biasanya
kata kebijakan ini tidak berdiri sendiri, tetapi diikuti atau berhubungan
dengan kata lainnya yang kemudian membentuk satu pengertian pula, seperti:
Kebijakan public, kebijakan sosial,
kebijakan kriminal,
kebijakan hukum
pidana, kebijakan pemerintah, kebijakan legislatif, dan lain sebagainya.
Barda
Nawawi Arief menggunakan istilah kebijakan di dalam pembahasannya tentang
kebijakan hukum
pidana dan kebijakan kriminal
yang merupakan terjemahan dari penal policy dan criminal policy.[3]
Demikian pula Sutan Zanti Arbi dan Wayan Ardhana menterjemahkan kata policy
menjadi kebijakan.[4]
Menurut Robert R. Mayer dan Ernest Greenwood, policy dapat dirumuskan sebagai
suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien
untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan secara kolektif.[5]
Pada umumnya di kalangan administrasi Negara kata kebijakan juga mengandung
arti penetapan tujuan dan sarana.[6]
Dari
makna tersebut di atas, dapat dilihat bahwa di dalam suatu kebijakan terkandung
hal-hal sebagai berikut:
a. Suatu
tujuan yang ingin diwujudkan dalam suatu organisasi, masyarakat;
b. Suatu
prinsip atau sistem
nilai yang mendasari atau menjadi pedoman dalam pengaturan masyarakat,
pemerintah, organisasi;
c. Suatu
cara untuk mencapai tujuan; dan
d. Sarana
untuk mencapai tujuan.
Apabila
kita mengaitkannya dengan kebijakan hukum
pidana, maka tersirat makna bahwa kebijakan hukum pidana ini didasarkan pada suatu
prinsip atau sistem
nilai yang hidup dan diyakini oleh masyarakat Indonesia, yang tertuang dalam
falsafah bangsa Indonesia yakni Pancasila.
Kebijakan
hukum pidana
(penal policy) sebagai bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) diartikan sebagai
kebijakan untuk menggunakan sarana penal (hukum pidana) dalam menanggulangi
kejahatan. Sedangkan kebijakan criminal sebagai bagian dari kebijakan sosial hanya untuk memberikan perlindungan kepada
masyarakat (social defence) dengan tujuan akhir demi mewujudkan kesejahteraan
masyarakat (social welfare).
Istilah kebijakan secara umum dapat
diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan
pemerintah (dalam arti luas) termasuk pula aparat penegak hukum dalam
mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah
masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian
hukum/peraturan, dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan
kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).[7]
Selanjutnya
politik hukum (law policy/rechtspolitiek)
dapat diartikan sebagai :[8]
a. Usaha untuk mewujudkan
peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
saat;
b. Kebijakan dari Negara melalui
badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki yang
diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai apa yang dicita-citakan.
Dengan demikian kebijakan hukum pidana
(penal policy/criminal law
policy/strafrechtspolitiek) dapat didefinisikan sebagai “usaha mewujudkan
peraturan perundanga-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi
pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.[9] Kata “sesuai”
dalam pengertian tersebut mengandung makna “baik” dalam arti memenuhi syarat
keadilan dan daya guna.[10]
Dari
definisi tersebut di atas sekilas nampak bahwa kebijakan hukum pidana identik
dengan Pembaruan Perundang-undangan Hukum Pidana”, namun sebenarnya pengertian
kebijakan hukum pidana tidak sama dengan pembaruan perundang-undangan hukum
pidana dalam arti sempit. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Hukum
pidana sebagai suatu sistem hukum yang terdiri dari budaya, strukstur, dan subtansi hukum,
sedangkan undang-undang merupakan bagian dari subtansi hukum. Dengan demikian
pembaharuan hukum pidana tidak sekedar memperbaharui sektor-sektor lain seperti
ilmu hukum pidana dan ide-ide hukum pidana melalui proses pendidikan dan
pemikiran akademik.
Ruang
lingkup kebijakan hukum pidana sebenarnya lebih luas daripada pembaharuan hukum
pidana, hal ini disebabkan karena kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui
tahap-tahap konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang
terdiri dari:
a. Kebijakan formulatif/legislative,
yaitu tahap perumusan/penyususnan hukum pidana;
b. Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu
tahap penerapan hukum pidana;
c. Kebijakan administratif/eksekutif,
yaitu pelaksanaan hukum pidana.
Dalam hal ini pembaharuan hukum
pidana lebih banyak berkaitan dengan tahap perumusan atau pembuatan hukum
pidana atau berkaitan dengan kebijakan formulatif. Di samping itu pula,
kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum pidana, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Marc Ancel yang menyatakan bahwa setiap masyarakat
terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari peraturan-peraturan hukum pidana
beserta sanksinya, suatu prosedur hukum pidana dan suatu mekanisme pelaksanaan
pidana.[11] A. Mulder
mengemukakan pula bahwa kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan untuk
menentukan:[12]
a. seberapa jauh ketentuan-ketentuan
pidana yang berlaku perlu dirubah atau diperbaharui;
b. apa yang dapat diperbuat untuk
mencegah terjadinya tindak pidana;
c. cara bagaimana penyidikan,
penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Dengan demikian kebijakan hukum
pidana berkaitan dengan proses penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh
sebab itu kebijakan hukum pidana diarahkan pada
konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana material
(subtansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan
pidana. Selanjutnya kebijakan hukum pidana dapat dikaitkan dengan
tindakan-tindakan:
a. bagaimana upaya pemerintah untuk
menanggulangi kejahatan hukum pidana;
b. bagaimana merumuskan hukum pidana
agar sesuai dengan kondisi masyarakat;
c. bagaimana kebijakan pemerintah untuk
mengatur masyarakat dengan hukum pidana;
d. bagaimana
mengguankan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan
yang lebih besar.
3. Hubungan antara Kebijakan Hukum Pidana dengan Kebijakan Kriminal dan Kebijakan Sosial
Dari uraian pada sub bab di atas, nampak bahwa kebijakan hukum pidana
bukan merupakan suatu kebijakan yang berdiri sendiri. Sebagai bagian dari upaya
untuk menanggulangi kejahatan dalam rangka mensejahterakan masyarakat, maka
tindakan untuk mengatur masyarakat dengan sarana hukum pidana terkait erat
dengan berbagai bentuk kebijakan dalam suatu proses kebijakan sosial yang mengacu pada tujuan yang
lebih luas.
Sebagai salah satu alternatif
penanggulangan kejahatan maka kebijakan hukum pidana adalah bagian dari
kebijakan kriminal (criminal policy).[13] Dengan
demikian dalam rangka penanggulangan kejahatan secara terpadu maka kebijakan
hukum pidana (pendekatan penal) dalam pengembangannya harus senantiasa
memperhatikan alternatif penanggulangan yang lain yaitu pendekatan non penal, yaitu upaya menanggualangi
kejahatan dengan mempergunakan sarana lain selain hukum pidana. Pendekatan
penal yang cenderung mengarah kepada upaya represif dalam pelaksanaannya
mengandung keterbatasan, sehingga dalam hal ini perlu diimbangi dengan
pendekatan non penal yang cenderung merupakan upaya
preventif. Bahkan jika dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan
global, maka upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik
kriminal.[14]
Namun dalam hal ini tidak berarti bahwa upaya penal tidak penting atau dapat
dikesampingkan begitu saja. Justru upaya penal merupakan sarana yang sangat
vital dalam proses penegakan hukum (law
enforcement) dalam menanggulangi kejahatan.[15]
Kebijakan kriminal yang dilakukan
baik melalui pendekatan penal maupun pendekatan nonpenal sebagai sarana untuk
melindungi masyarakat terhadap kejahatan (social
defence) merupakan bagian integral dari Kebijakan Sosial (Social Policy) yang bersama-sama dengan
kebijakan untuk mensejahterkan masyarakat (Social
Welfare Policy) menguapayakan tercapainya suatu tujuan akhir yang lebih
luas yaitu “perlindungan masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat”.[16]
Dari uraian di atas, nampak bahwa kebijakan hukum pidana
merupakan bagian integral dari kebijakan-kebijakan yang lain, teruatama dengan
kebijakan kriminal dan kebijakan social yang lebih jelasnya dapat digambarkan
dengan bagan sebagai berikut:[17]
Social Welfare Policy
Social Policy Social Defence Policy Goal
Penal
Criminal Policy
Nonpenal
Berdasarkan uraian dan bagan di atas
maka upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan
secara terpadu (integral), dalam arti: ada keterpaduan antara upaya penanggulan
dengan sarana penal dan nonpenal.
Selanjutnya upaya penanggulangan
kejahatan yang terintegrasi dalam kebijakan sosial perlu diintegrasikan pula dalam perencanaan pembangunan nasional guna
mencapai tujuan nasional.[18]
4. Beberapa Pendekatan dalam Kebijakan Hukum Pidana
Dua masalah sentral dalam kebijakan hukum
pidana yang penganalisaannya tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan
pembangunan nasional adalah masalah penentuan: (a) perbuatan apa yang
seharusnya dijadikan tindak pidana; dan (b) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau
dikenakan kepasa si pelanggar.[19] Hal ini
berarti bahwa kebijakan hukum pidana berkaitan erat dengan masalah
kriminalisasi dan penalisasi, oleh sebab itu dalam menangani masalah sentral
tersebut di atas, terutama masalah sentral yang pertama, harus pula dilakukan
dengan pendekatan yang berorienatsi pada kebijakan (policy oriented approach). Dengan demikian maka kebijakan hukum
pidana harus dilaksanakan dengan pertimbangan-pertimbangan yang sangat
hati-hati, cermat dan rasional dengan memperhatikan berbagai faktor yang
relevan. Apalagi sebagaimana diuraikan tadi, bahwa kebijakan hukum pidana
antara lain berkaitan dengan masalah kriminalisasi, maka dalam menentukan dan
menyusun ketentuan pidana harus memperhatikan pertimbangan atas faktor
kebijakan sebagai berikut:[20]
a. Tujuan pembangunan nasional, yaitu
mewujudkan masyarakat adil makmur secara material dan spiritual berdasarkan
Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan hukum) pidana bertujuan untuk
menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan
penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan penganyoman masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk
dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang
tidak dikehendaki, tidak disukai atau dibenci oleh warga masyarkat yaitu
perbuatan yang merugikan (material atau spiritual) atau dapat merugikan,
mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban. Selain itu harus pula
dipertimbangkan sejauh mana perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan
nilai-nilai fundamental yang berlaku di masyarakat.
c. Perhitungan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle) dari penggunaan
hukum pidana tersebut, yaitu apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan
hasilnya yang akan dicapai, artinya cost
pembuatan undang-undang, pengawasan, dan penegakan hukum, serta beban yang
dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan
situasi tertib hukum yang akan dicapai.
d. Kapasitas atau kemampuan daya kerja
dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas
(overbelasting) dan memadainya
sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin
dicapai.
e. Pengaruh sosial dari kriminalisasi
dan dekriminalisasi.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut di
atas nampak bahwa penentuan kebijakan kriminal dengan sarana hukum pidana
senantiasa mengacu pada kebijakan yang lebih luas yaitu kebijkan sosial.
Selanjutnya, karena masalah sentral dalam kebijakan hukum pidana tidak hanya
terbatas penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, namun
juga sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada si pelanggar, maka
di samping pertimbangan beberapa faktor kebijakan tersebut di atas, harus pula
dipertimbangkan hal-hal yang berkaitam dengan efektivitas dari bermacam-macam
sanksi.
Dalam hal ini Bassioni menegaskan
bahwa sanksi pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan
mempertahankan kepentingan‑kepentingan sosial seperti: pemeliharaan tertib
masyarakat; perlindungan warga masyarakat dari kerugian atau bahaya‑bahaya yang
tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain; memasyarakatkan kembali (resosialisasi)
para pelanggar hukum; dan memelihara atau mempertahankan integritas pandangan‑pandangan
dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.[21]
Dengan demikian maka penetapan
kebijakan hukum pidana. harus diawali dengan penelitian atau pengkajian yang
mendalam dengan berbagai pendekatan, baik yang bersifat pragmatis dan rasional,
maupun yang bersifat humanistis. Ini berarti bahwa kebijakan hukum pidana harus
dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan kebijakan (dalam hal ini
adalah kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum) dan
pendekatan nilai (dengan cara melakukan reorientasi dan reevaluasi nilai‑nilai
sosiopolitik, sosiofilosofik dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi
terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita‑citakan).[22] Hal ini
berarti pula bahwa kebijakan hukum pidana bukan semata‑mata bersifat yuridis
normatif saja, namun juga bersifat yuridis faktual (dengan pendekatan
sosiologis, historis, komparatif dan komprehensif).[23] Orientasi
ilmiah tersebut sangat diperlukan agar penetapan kebijakan hukum pidana dapat mencapai tujuan
yang diharapkan, tanpa mengakibatkan ekses yang antara lain berupa overcriminalization dan atau overreach of the criminal law.
B. Kedudukan Kebijakan Hukum Pidana dalam Kebijakan Hukum Lingkungan
1. Kebijakan Hukum Lingkungan
Pada awalnya issu mengenai lingkungan
hidup hanya menjadi pembahasan terbatas di kalangan para ilmuwan. Baru setelah
diadakannya Konferensi di Stockholm tahun 1972 yang dihadiri oleh wakil
pemerintahan anggota‑anggota PBB issu ini beralih menjadi masalah pemerintahan.
Semua negara di dunia menganggap bahwa telah terjadi gangguan pada lingkungan
tempat manusia berada, dan hampir setiap negara berpendapat bahwa pemecahan dan
penanggulangan serta pengelolaan lingkungan hidup harus dilakukan dengan sangat
serius. Pelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup mutlak perlu dilaksanakan
demi kelangsungan umat manusia di muka bumi.
Meskipun kesepakatan telah dicapai,
tetapi bagi kebanyakan negara berkembang masalah lingkungan hanya dianggap
sebagai persoalan negara‑negara maju. Negara berkembang menganggap persoalan
pembangunan memberantas kemiskinan lebih penting sehingga masalah lingkungan
dilihat sebagai masalah yang terpisah dari pembangunan.
Di dalam
perkembangan selanjutnya temyata disadari bahwa pembangunan berjalan seiring
dengan semakin memburuknya kondisi lingkungan, antara lain sebagai akibat
proses pembangunan yang lebih banyak mengeksploitasi sumber daya alam untuk
membiayai pembangunan itu sendiri. Muncullah kemudian konsep "Pembangunan
berkelanjutan".
Bagi bangsa Indonesia, masalah
lingkungan hidup ini bukanlah masalah yang sederhana, sehingga pemerintah
merasa perlu untuk menangani secara nasional. Hal ini dikarenakan:[24]
1. Adanya kesadaran bahwa Indonesia
sudah menghadapi masalah lingkungan yang cukup gawat;
2. Keperluan untuk mewariskan kepada
generasi mendatang sumber‑sumber alam yang dapat diolah secara berkesinambungan
dalam proses jangka panjang dan untuk tujuan pembangunan yang sedang giat‑giatnya
kita laksanakan saat ini;
3. Sebab idiil, kita ingin membangun
manusia Indonesia seutuhnya material dan spiritual berdasarkan Pancasila yang
memuat ciri‑ciri keselarasan hubungan antar manusia, hubungan manusia dengan
alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Selain alasan‑alasan di atas, lahimya
Undang‑undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup (UULH)
yang diganti dengan Undang‑undang No. 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (ULJPLH), kemudian diganti lagi dengan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH),
merupakan realisasi dari Repelita III Bab 7 tentang Sumber Alam dan Lingkungan Hidup. Undang‑undang
dan peraturan di bidang lingkungan yang telah ada kurang memuat segi lingkungan
hidup, tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan dengan semakin meningkatnya
kesadaran hukum dalam masyarakat, di mana kesadaran terhadap lingkungan semakin
meningkat, baik di kalangan produsen selaku perusak lingkungan potensial dan di
kalangan konsumen selaku korban kerusakan lingkungan potensial, serta dalam
rangka menegakkan landasan yang kokoh untuk tahap pembangunan berikutnya.
Pengelolaan lingkungan hidup di
Indonesia sebenamya bukanlah sesuatu yang baru. Sebab bila dilihat dari sudut
perkembangan perundangan yang mengatur, dapat dibagi atas dua masa yaitu masa
sebelum adanya UULH dan sesudahnya.
Dipandang dari sudut sifatnya, peraturan
perundangan yang mengatur aspek lingkungan hidup sampai dengan diterbitkannya
UULH sebagian besar adalah produk hukum kolonial yang bersifat sektoral, serta
tidak berorientasi kepada penggunaan lingkungan di dalam ketentuan kebijakan
hukumnya.[25]
Sebagian besar dari peraturan di bidang lingkungan tersebut, belumlah ditujukan
untuk melindungi lingkungan hidup secara menyeluruh, namun hanya menjangkau
sebagian kecil saja dari aspek lingkungan hidup.
Sehubungan dengan pengaturan
pengelolaan lingkungan hidup ini, dapat pula dibedakan antara hukum lingkungan klasik dan hukum lingkungan
modern. Hukum lingkungan
modem berorientasi kepada lingkungan atau "environmental‑oriented
law", sedangkan hukum lingkungan klasik berorientasi kepada penggunaan
lingkungan atau "use oriented law
".
Dari sudut kebijakan yang terdapat di
dalam peraturan tersebut dapat pula dibedakan antara keduanya, seperti yang
dikemukakan oleh Koesnadi Hardjasoemantri, hukum lingkungan modem menetapkan
ketentuan dan norma‑norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan
untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dari kemerosotan mutunya demi untuk
menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus menerus digunakan oleh
generasi sekarang maupun generasi‑generasi mendatang. Sebaliknya hukum
lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma‑norma dengan tujuan terutama
sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber‑sumber daya dengan
berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin,
dan dalam jangka waktu yang sesingkat‑singkatnya.[26]
Hukum lingkungan produk kolonial
lebih merupakan hukum lingkungan klasik, sebab peraturan‑peraturan di bidang
lingkungan produk kolonial tersebut, juga bersifat sektoral, serba kaku dan sukar berubah,
dan tidak memuat pertimbangan lingkungan dalam ketentuan hukumnya.[27]
Hukum lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan
mempunyai
sifat yang utuh menyeluruh atau komprehensif integral, selalu berada dalam
dinamika dengan sifat dan watak yang luwes.
Karena tuntutan hukum lingkungan yang
modem adalah yang memperhatikan pertimbangan lingkungan, maka menurut Mochtar
Kusumaatmadja, sistem pendekatan terpadu atau utuh menyeluruh harus diterapkan
oleh hukum untuk mampu mengatur lingkungan hidup manusia secara tepat dan baik.
Sistem pendekatan ini telah melandasi perkembangan Hukum Lingkungan di
Indonesia.[28]
2. UUPPLH Sebagai Undang‑undang Payung
UULH yang
diganti dengan UUPLH kemudian UUPPLH hanya mengatur aspek‑aspek pokok dari
pengelolaan lingkungan hidup, pengaturan lebih lanjut diatur dalam peraturan
yang lebih rendah (peraturan pelaksanaaanya). UUPLH hanya berisikan dasar‑dasar
kebijakan tentang lingkungan hidup, yaitu menjadi landasan hukum bagi
keseluruhan kebijakan lingkungan hidup di Indonesia, seperti penyusunan peraturan
pelaksanaan yang akan dibentuk oleh pembuat kebijakan.
UUPLH ini berfungsi untuk menilai dan
menyesuaikan semua peraturan di bidang lingkungan hidup yang telah ada
sebelumnya. Berdasarkan undang‑undang ini pula semua ketentuan‑ketentuan yang
telah ada sebelumnya (yang bersifat sektoral) tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan UUPLH.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa
UUPLH berfungsi untuk merangkum semua peraturan perundangan lingkungan hidup ke
dalam suatu sistem hukum lingkungan Indonesia, agar merupakan satu rangkaian
pengaturan pengelolaan lingkungan hidup yang sistematik, baik secara vertikal
maupun horizontal,
sinkron dan koordinatif, untuk mencegah pengaturan yang duplikatif maupun yang
bertentangan satu sama lainnya.
Pemikiran tentang perlunya undang‑undang
yang bersifat payung dikarenakan ciri dan sifat hukum lingkungan itu sendiri
yaitu bersifat insidental, komensalis, parsial dan Sektoral, yang lebih mengarah
kepada hukum lingkungan klasik yang bersifat use‑oriented.
Menurut Harun M. Husein,[29] ciri‑ciri demikian merupakan hal yang lumrah
dalam hukum lingkungan. Untuk jelasnya, ciri‑ciri tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
1.
Bersifat
Insidental (incidentally profile)
lahimya produk peraturan tanpa direncanakan dalam jangka Panjang, tetapi karena
terdesak keadaan yang sesegera mungkin harus diatasi dengan perangkat
peraturan;
2.
Bersifat
Komensalis, yaitu terdapatnya berbagai peraturan lingkungan (dalam pasal‑pasal)
yang sekedar tercantel dalam paket perundang‑undangan yang bukan ditujukan untuk dan berkenaan dengan mutu
tata lingkungan semata‑mata;
3.
Bersifat
Parsial, adanya tumpang tindih (dupfikasi) peraturan sebagai akibat adanya
peraturan‑peraturan yang dibuat secara sendiri‑sendirl oleh instansi‑instansi
atau Departemen‑departemen, seperti peraturan Menteri X misalnya, melarang, tetapi peraturan
Menteri Y membolehkan;
4.
Bersifat
Sektoral atau Departemental, hal ini terjadi karena pelaksanaan praktis dari suatu kegiatan
bermuara pada masing‑masing sektor atau departemen, selain itu dapat terjadi
karena masing‑masing departemen diberi wewenang teknis untuk menetapkan
peraturan‑peraturan dalam kaitannya dengan tugas masing‑masing;
5.
Perangkat
jalan pintas. Sering terjadi dalam praktek, dimana seharusnya secara
substansial membutuhkan regulasi yang lebih tinggi (undang‑undang), karena
beberapa pertimbangan (mendesaknya waktu, kebutuhan akan perangkat hukum yang
sangat mendesak, motivasi sosial politik) maka dibuat dalam regulasi yang lebih
rendah dari undang‑undang.
Dalam fungsinya sebagai undang‑undang
payung (umbrella act) maka UUPLH
menjadi landasan dan induk bagi semua kebijakan di bidang lingkungan, sehingga
semua peraturan vang sudah ada inipun yang kemudian akan dibentuk, tidak boleh bertentangan
dengan undang‑undang ini. Dengan demikian maka bilamana terdapat peraturan di
bidang lingkungan yang tidak sejalan dengan UUPLH maka ketentuan tersebut tidak
berlaku.
Banyaknya peraturan di bidang
lingkungan hidup di luar UUPLH yang masih dimungkinkan berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan UUPLH ini, apabila dikaitkan dengan terjadinya kegiatan
pencemaran atau perusakan lingkungan, berhadapan pula dengan beraneka ragamnya
ancaman pidana yang terdapat dalam berbagai peraturan di bidang lingkungan.
Berfungsinya UUPLH ini sebagai undang‑undang payung
dipertegas lagi dalam Penjelasan Umum UUPLH yang menyatakan bahwa undang‑undang
ini memuat norma hukum lingkungan hidup. Selain itu UUPLH akan menjadi landasan
untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan perundang‑undangan yang memuat
ketentuan tentang lingkungan hidup yang berlaku, yaitu peraturan perundang‑undangan
mengenai pengairan, pertambangan dan energi, kehutanan, konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya, industri, pemukiman, penataan ruang, tata guna
tanah, dan lain‑lain.
3. Ketentuan Pidana dalam UUPLH
Lingkungan hidup (LH) adalah subyek
hukum[30] yang memiliki
kualitas hidup sebagaimana lazimnya subyek hukum dalam lalu lintas perhubungan
hukum. Sebagai subyek hukum ia membawa konsekuensi terhadap pemanfaatan atas LH
tersebut, yaitu dalam masalah pengelolaannya.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap
norma hukum lingkungan maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
melalui kebijakan hukum pidana (sanksi pidana). Sebagaimana fungsi sanksi dalam hukum pidana pada
umumnya yang bersifat ultimum remedium, di
dalam kebijakan hukum lingkungan ancaman sanksi pidana juga merupakan sanksi
paling akhir (ultimum remedium) yang
dapat dikenakan kepada pelaku apabila sanksi yang lain tidak mampu
mengatasinya. Jaro Madya dalam bukunya Tile
Penal Protection of Environment menyatakan, bahwa sanksi pidana dalam proteksi
lingkungan hidup dipergunakan sebagai ultimum
remedium, yang kemudian diragukan keefektifannya.[31]
Kebijakan hukum pidana (KUHP) yang tertuang dalam Pasal 41 ‑ 48 UUPLH mengandung 3 (tiga)
masalah pokok, yakni penentuan perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak
pidana lingkungan hidup (TPLH), sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku
TPLH, serta pertanggungjawabannya.
Menurut UUPLH, terdapat 2 (dua)
perbuatan yang dikategorikan sebagai TPLH, yaitu:
1.
Perbuatan
yang mengakibatkan tercemarnya LH (pencemaran LH); dan
2.
Perbuatan
yang mengakibatkan rusaknya LH (perusakan LH).
Pencemaran LH adalah masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam LH
oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan LH tidak dapat
berfungsi sesuai dengan Peruntukannya.[32] Sedangkaan
perusakan LH adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan LH tidak
berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.[33]
Sanksi pidana yang diancamkan
terhadap pelaku TPLH adalah pidana penjara dan pidana denda, yang dapat
dijatuhkan secara alternatif maupun kumulatif. Ancaman pidana penjara maksimal
adalah 15 (limabelas) tahun, sedangkan ancaman pidana denda maksimal adalah
Rp.750.000.000,00 (tujuhratus limapuluh juta rupiah). Kualifikasi TPLH secara
keseluruhan adalah kejahatan.[34]
Disamping sanksi pidana di atas,
pelaku TPLH dapat pula dikenakan tindakan tata tertib (Pasal 46 (1) UUPLH).
Tindakan tata tertib sebagaimana tertuang dalam Pasal 47 UUPLH berupa:
1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
2. Penutupan seluruhnya atau sebagian
perusahaan; dan/atau
3. Perbaikan akibat tindak pidana;
dan/atau
4. Mewajibkan mengerjakan apa yang
dilakukan tanpa hak; dan/atau
5. Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa
hak; dan/atau
6. Menempatkan perusahaan di bawah
pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Pelaku TPLH dapat bersifat perorangan
maupun kolektif, badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi
lainnya. Dengan demikian dalam TPLH pertanggungjawaban bukan hanya ada pada
orang, tetapi juga pada korporasi.
Pertanggungjawaban korporasi dalam TPLH berdasarkan Pasal 46
(1) UUPLH berada pada : (a) badan hukum; (b) yang memberi perintah atau yang
bertindak sebagal Pimpinan; atau ( c) kedua‑duanya.
Disamping hal‑hal tersebut di atas,
UUPLH juga mengakomodasi
perundang-undangan
lainnya seperti peraturan perundang‑undangan di bidang kehutanan, pertambangan,
perindustrian dan lain‑lain, yang berkaltan dengan pengelolaan LH (UU
sektoral). Dalam hal ini UUPLH juga mengancamkan sanksi terhadap pelaku TPLH
yang melanggar UU sektoral tersebut.
Hubungan antara UUPLH dengan UU
sektoral yang lebih banyak bersifat administratif lebih didasarkan pada fungsi
sanksi pidana sebagai penunjang ditaatinya ketentuan administratif. Hal ini
tertuang dalam Penjelasan Umum UUPLH yang antara lain menyebutkan bahwa,
sebagai penunjang hukum administrasi,
berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan
apabila sanksi bidang hukum lain seperti sanksi administrasi dan sanksl
perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa LH tidak efektif dan/atau tingkat
kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar
dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat.
C. Peranan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Dampak Lingkungan Hidup Akibat Pengusahaan Pertambangan Batubara
1. Pengusahaan Pertambangan Batubara (PPBB) Sebagai Bagian dari Kebijakan Sosial
Salah satu
kebijakan sosial yang sedang dilaksanakan melalui program pembangunan nasional adalah pengembangan usaha
pertambangan. Pengusahaan pertambangan adalah salah satu sektor kebijakan di
bidang ekonomi[35]
yang merupakan bagian penting dari kegiatan pembangunan. Oleh karena itu kebijakan di sektor pertambangan
ini tidak bisa dilepaskan dengan kebijakan‑kebijakan di sektor lainnya. Sebagai
sektor di bidang ekonomi pula, maka tujuan pengusahaan pertambangan tidak
tcrlepas pula pada sasaran yang ingin dicapai dengan kebijakan pembangunan di
bidang ekonomi itu sendiri.
Sasaran pembangunan di bidang ekonomi
antara lain adalah terciptanya perekonomian yang mandiri dan andal, dengan.
peningkatan kemakmuran rakyat yang merata. Perekonomian yang mandiri dan andal
ini bercirikan industri yang kuat dan maju, koperasi yang sehat dan kuat, serta perdagangan yang maju dengan sistem
distribusi yang mantap, didorong oleh kemitraan usaha. antara badan usaha
koperasi, negara dan swasta serta pendayagunaan sumber daya alam yang optimal
yang kesemuanya didukung oleh sumber daya manusia.[36]
Hal ini berarti bahwa, pengusahaan
pertambangan tidak hanya bertujuan
meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat secara ekonomis, tetapi juga meningkatkan
kesejahteraan secara ekologis, karena lingkungan hidup menjadi satu kesatuan
dalam kebijakan pembangunan secara keseluruhan. Kebijakan pembangunan dengan
memperhatikan kemampuan fungsi lingkungan hidup dikenal dengan pola kebijakan
pembangunan berkelanjutan yang ber‑wawasan lingkungan hidup (sustainable eco‑development).
Pembangunan berkelanjutan berwawasan
Lingkungan hidup pada hakikatnya adalah Upaya sadar dan berencana untuk menggunakan dan mengelola
sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan nasional yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup.
Dengan konsep ini berarti bangsa Indonesia menyelenggarakan pembangunan untuk
kesejahteraan generasi masa kini dengan memberikan jaminan bagi generasi yang
akan datang untuk mampu melanjutkan pembangunan dan menikmati kesejahteraan pula.
Untuk mewujudkan tujuan maupun
sasaran pembangunan tersebut di atas diperlukan untuk melandasi dan mengamankan
kebijakan‑kebijakan pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya, yang berkaitan dengan kecenderungan timbulnya
dampak negatif dalam pembangunan itu sendiri.
Salah satu sasaran bidang hukum
adalah agar mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan
hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, serta mampu mengamankan dan
mendukung pembangunan nasional, yang didukung oleh aparatur hukum, sarana, dan
prasarana yang memadai serta masyarakat yang sadar dan taat hukum.[37]
Kebijaksanaan pembangunan materi
hukum diarahkan pada, terwujudnya sistem hukum nasional sesuai tuntutan
perkembangan zaman, dengan prioritas penyiapan materi hukum yang mampu
mendukung pembangunan untuk menghadapi pasar bebas dunia dan persaingan global.[38]
Adanya kebijaksanaan untuk melakukan
penggantian terhadap peraturan perundang‑undangan peninggalan kolonial maupun
produk nasional yang bertentangan baik secara horizontal maupun vertikal satu dengan yang lainnya, merupakan suatu indikasi
bahwa masih banyak terdapat berbagai peraturan perundang‑undangan nasional yang
masih belum sinkron satu dengan yang lainnya. Hal tersebut sangat relevan
mengingat kecenderungan global menghendaki adanya sinkronisasi dalam setiap
kebijakan. Kebijakan suatu negara terhadap keseluruhan proses pembangunan,
khususnya yang berkaitan dengan HAM dan lingkungan hidup, turut mempengaruhi
penilaian dan sikap dunia internasional terhadap negara tersebut.
Salah satu kebijakan yang sangat
penting adalah kebijakan dalam penanggulangan kejahatan yang timbul sebagai
akibat pembangunan. Dalam hal ini pembangunan itu sendiri bukanlah bersifat
kriminogen. Akan tetapi pembangunan yang tidak direncanakan dan dilaksanakan
dengan baik turut memicu timbulnya perbuatan‑perbuatan yang mengakibatkan
kerugian bagi masyarakat, misalnya timbulnya pencemaran dan perusakan pada
lingkungan hidup. Dalam hal ini, diperlukan kebijakan kriminal untuk
menanggulangi masalah‑masalah atau kondisi‑kondisi sosial yang secara langsung
maupun tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan.[39]
Sejarah pengendalian dan
penanggulangan kejahatan telah berlangsung sepanjang usia kehidupan manusia,
karena kejahatan pada hakikatnya merupakan proses sosial (criminaliteit als social progress), sehingga. politik kriminal (criminal policy) harus dilihat dalam
kerangka politik sosial (social policy), yakni usaha dari masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan warganya.[40] Kebijakan atau
upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari
upaya perlindungan masyarakat (social
defence). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan utama dari politik
kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
(social welfare).[41]
Untuk itu diperlukan kebijakan yang
rasional dan terpadu (integral) dari seluruh upaya penanggulangan kejahatan,
baik dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), maupun sarana lainnya (non‑penal).
Dalam membuat suatu kebijakan yang
rasional menurut Samodra Wibawa pembuat kebijakan harus mengetahui dengan pasti
(dapat dibuktikan secara ilmiah: pen) berbagai hal berikut:[42]
a. Preferensi nilai masyarakat dan
kecenderungannya;
b. Pilihan‑pilihan dan alternatif
kebijakan yang tersedia;
c. Konsekuensi dari setiap pilihan
kebijakan;
d. Rasio yang dicapai bagi setiap nilai
sosial yang dikorbankan pada setiap alternatif kebijakan; dan
e. Memilih alternatif kebijakan yang
paling efisien.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Marc Ancel bahwa criminal
policy ialah pengaturan atau penyusunan secara rasional usaha‑usaha
pengendalian kejahatan oleh masyarakat.[43] Suatu politik
kriminal yang rasional tidak lain daripada penerapan metode‑metode yang
rasional ("...the characteristic of
a rational criminal policy is nothing more than applications of rational
methode').[44] Menurut
G.P. Hoefhagels suatu politik kriminal harus rasional; kalau tidak demikian
tidak sesuai dengan definisinya sebagai a
rational total of the responses to crime. Hal ini penting karena konsepsi
mengenai kejahatan dan kekuasaan atau proses untuk melakukan kriminalisasi
sering ditetapkan secara emosional.[45]
Pendekatan yang rasional memang
merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal
ini merupakan konsekuensi logis, karena seperti yang dikatakan oleh Sudarto, "dalam
melaksanakan politik, orang mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari
sekian banyak alternatif yang dihadapi.[46] Untuk memilih
yang paling baik dan paling sesuai tentu diperlukan pertimbangan‑pertimbangan yang rasional.
Usaha dan kebijakan untuk membuat
peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari
tujuan penanagulangan kejahatan. Jadi kebijakan hukum pidana (penal policy) juga merupakan bagian
dari kebijakan kriminal (criminal policy).
Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum
pidana identik dengan pengertian "kebijakan penanggulangan kejahatan dengan
hukum pidana”.[47]
Sebagai
bagian dari politik kriminal, Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa kebijakan
hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah‑langkah yang dibuat
dengan sengaja dan sadar. Ini berarti memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai
sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar‑benar telah memperhitungkan
semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu
dalam kenyataaanya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional; dan ini pun merupakan pendekatan
yang melekat (inheren) pada setiap kebijakan yang rasional.[48] Pentingnya
perhitungan terhadap semua faktor yang mampu mendukung dan berfungsinya hukum
pidana itu agar jangan sampai hukum pidana diterapkan melebihi daya dukung
sarana dan prasarana yang mengakibatkan mubazirnya kebijakan tersebut.
Dilihat secara lebih luas, kebijakan
perundang‑undangan pidana merupakan bagian integral dari kebijakan perencanaan
pembangunan nasional. Mengenai hubungan antara kebijakan pembangunan dan
masalah peningkatan kejahatan, telah berulang kali dibicarakan dalam Kongres
PBB mengenai The Prevention of Crime and
the Treatment of offenders. Dalam salah satu. laporan Kongres PBB ke VI
tahun 1980 di Venezuela antara lain menyatakan bahwa:[49] "...the correlation between development
and increasing criminality could not be accepted as a principle ... development
was not criminogenic perse, but could become such if it was not rasionally
planned, disregarded cultural and moral values and did not include integrated
social defence strategies ".
Dalam
konteks penyelenggaraan pembangunan di sektor pertambangan batubara sebagai
kebijakan sosial (social policy) yang
bertujuan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur sekaligus memberikan
perlindungan terhadap masyarakat, di dalamnya tercakup pula kebijakan kriminal (criminal policy) untuk menanggulangi
segala bentuk kejahatan yang timbul sebagai dampak kebijakan di bidang
pertambangan batubara tersebut. Salah Satu cara yang dapat ditempuh untuk
menanggulangi kejahatan sebagai dampak negatif kebijakan pembangunan di sektor
pertambangan batubara adalah dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy).
2. Hukum Pidana sebagai Administrative Penal Law dalam Penanggulangan Tindak Pidana Lingkungan Hidup Akibat Pengusahaan Pertambangan Batubara
Menyadari bahwa tiap masyarakat
mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan‑peraturan yang
tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama tetapi juga dengan
aspirasi‑aspirasi warga masyarakat pada umumnya,[50] maka peranan
yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan
bagi suatu sistem hukum, yakni sebagai satu kesatuan yang integral dari setiap
kebijakan penanggulangan kejahatan.
Konsepsi kebijakan penanggulangan
kejahatan yang integral mengandung konsekuensi bahwa segala usaha yang rasional untuk
menanggulanggi kejahatan harus merupakan kesatuan yang terpadu. Ini berarti
kebijakan untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, harus
pula dipadukan dengan usaha‑usaha lain yang bersifat non penal.[51]
Sungguh tepat apa yang dikemukakan
oleh Marc Ancel bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhimya
mempunyal tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan
secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang‑undang, tetapi
juga kepada pengadilan
yang menerapkan.
undang‑undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan.[52]
Selanjutnya dikemukakan oleh Marc Ancel pula bahwa sistem hukum pidana abad XX
masih tetap harus diciptakan. Sistem demikian hanya dapat disusun dan
disempumakan oleh usaha bersama semua orang yang beritikad baik dan juga oleh
semua ahli di bidang ilmu‑ilmu sosial.[53]
Dengan dilatarbelakangi apa yang
dikemukakan oleh Marc Ancel tersebut, Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa
pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata‑mata pekerjaan teknik perundang‑undangan yang
dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik. Disamping pendekatan
yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual
yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan
memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya
dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada
umumnya.[54]
Dalam kerangka politik hukum, menurut
Sudarto, politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
perundang‑undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan
dan daya guna. Selanjutnya beliau mengemukakan pula bahwa melaksanakan politik
hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang‑undangan pidana yang
sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa‑masa. yang
akan datang.[55]
Berhubungan dengan upaya mewujudkan
perundang‑undangan hukum pidana yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
jaman, kebijakan hukum pidana (strafrechtspolitiek)
menurut A. Mulder merupakan garis kebijakan untuk menentukan:[56]
a. seberapa jauh ketentuan‑ketentuan
pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;
b. apa yang dapat diperbuat untuk
mencegah terjadinya tindak pidana;
c. cara bagaimana penyidikan,
penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Herbert L. Packer[57] mengemukakan
bahwa usaha pengendalian perbuatan anti sosial dengan mengenakan pidana pada
seseorang yang bersalah melanggar peraturan pidana, merupakan "suatu
problem sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting”. Hal tersebut
disebabkan oleh karena banyaknya kelemahan dan efek samping yang dapat timbul
dalam masyarakat dari pengenaan pidana itu sendiri. Oleh karena itu pula pidana
seharusnya hanya dipanggil (ultimum
remedium) manakala sarana lain sudah tidak mampu menyelesaikan suatu
problem sosial yang mengganggu atau mengancam ketertiban sosial.
Herbert L. Packer yang juga
membicarakan masalah pidana ini dengan segala keterbatasannya di dalam. bukunya
"The Limits of Criminal
Sanction", akhimya menyimpulkan antara lain sebagai berikut:[58]
a. Sanksi pidana sangatlah diperlukan;
kita tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana (The criminal sanction is indispensable; we
could not, now or in the foreseeable future, get along without it).
b. Sanksi pidana merupakan alat atau
sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan atau
bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. (the criminal sanction is the best available
device we have for dealing with gross and immediate harms and threats ofharms).
c. Sanksi pidana suatu ketika merupakan
"penjamin yang utama terbaik"
dan suatu ketika merupakan "pengancam yang utama" dari kebebasan
manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat cermat dan secara
manusiawi; ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan
sccara paksa. (The criminal sanction is
at once prime guarantor avid prime threatener of human freedom. Used
providently and humanel it is guarantor; used indiscriminately and coercively,
it is Y, threatener).
Dengan memahami keterbatasan‑keterbatasan
sanksi pidana, maka penggunaan hukum pidana, menurut Sudarto harus
memperhatikan hal‑hal yang pada intinya sebagai berikut:[59]
a. Penggunaan hukum pidana harus
memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang merata material spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan
ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau
ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak
dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan
spiritual) atas warga masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula
memperhitungkan prinsip‑prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle).
d. Penggunaan hukum pidana harus pula
memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan‑badan penegak
hukum, jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).
Dalam rangka menanggulangi dampak
pertambangan batubara dengan menggunakan sarana hukum pidana, maka tahap
formulasi[60]
merupakan tahap penting dan strategis karena merupakan dasar/landasan untuk
tahap aplikasi dan eksekusi. Pada tahap formulasi inilah ditentukan
perbuatan/kegiatan apa saja yang seharusnya di kriminalisasi, sanksi apa yang paling
sesuai diterapkan pada pelaku, dan bagaimana sistem pertanggungjawabannya.
Hal ini nampak dari program kerja The Commission on Crime Prevention and
Criminal Justice 1992‑1996 yang
menyoroti secara khusus dan diprioritaskannya keterkaitan antara masalah
lingkungan hidup dengan sistem peradilan pidana. Atas dasar itulah, Kongres ke‑9
PBB tentang Pencegahan kejahatan dan pembinaan pelaku kejahatan pada tanggal 29
April ‑ 8 Mei 1995 di Cairo, menjadikan masalah lingkungan hidup sebagai salah
satu agenda utama.[61]
Di dalam draft resolusi yang diajukan, dan kemudian menjadi resolusi, sepanjang menyangkut "environmental protection diaJukan
beberapa proposal sebagai berikut:[62]
a.
The right to enjoy an adequate environment
and the duty to preserve the environment should be estabilished in all
legislations at the national level;
b.
A chapter concerning environmental
offenses should be included in penal codes;
c.
The necessary measures should be
introduced to ensure that dainage to the environment is repaired, either
bytransgressors themselves or by the state;
d.
Cooperation agreements should be
established between states, includina provisions for the exchange of
experiences on prevention programmes and legislative effectiveness;
e.
The subject of environmental
protection should be included at all educational level, and specifically in
curriculla for the study of criminal law, and human resources should also be
developed to deal with these new problems, by means of degree courses, post
graduate, seminars and any otherform of training;
f.
Not only should environment offences
be established as a class of offencc ill penal codes, but also, in the
administrative area, offending enterprises should be subject tofinancial
penalties;
g.
Regarding penal sancsions themselves,
the principle of subjective culpabilifY should be maintained
Sehubungan dengan itu para anggota PBB diminta untuk:
1.
To consider enacting environmental
protection legislation reflecting the importance of a healthy environment, in
order to preserve and protect the
environment;
2.
To consider enacting penal provisions
on the protection of the environment and to consider the protection of
endangered species and cultural property under similar provisions;
3.
To consider the creations of special
bodies in the protection oJ the environment, such as special prosecutors or
specialized investigative bodies, bearing in mind the role such bodies can play
in developing skills and raisingpublic awareness;
4.
To consider encouraging the
inclusions of the role of criminal laiv in the protection of the environment as
a subject in curricula for the study of criminal law and the training of law
enforcement and criminaljustice personnel.
Selama ini telah menjadi sesuatu yang
dianggap wajar pada setiap perundang-undangan mencantumkan ketentuan pidana
yang mengatur tentang jenis tindak pidana, ancaman pidana, maupun pertanggungjawaban
pidana bagi yang melakukan pelanggaran ketentuan‑ketentuan yang diatur oleh
undang‑undang tersebut. Ketentuan pidana yang tercantum dalam undang‑undang di
luar hukum pidana itu dapat dikategorikan sebagai administrative penal
law atau public welfare offenses (ordnungswidrigkeiten)[63]
yang memberi kesan ringannya perbuatan tersebut.
Dalam hal
ini fungsi hukum pidana bersifat menunjang sanksi‑sanksi administratif untuk ditaatinya norma‑norma hukum
administrasi. Dengan sifatnya sebagai penunjang untuk ditaatinya norma‑norma administratif, maka
pertimbangan‑pertimbangan dalam kebijakan hukum pidana yang dituangkan dalam
ketentuan pidananya juga mengacu pada kepentingan sektor yang diatur undang‑undang
tersebut.
Sebagai penunjang ketentuan
administratif pula, maka kebijakan hukum pidana sebagaimana tertuang di dalam
perundang‑undangan pertambangan tidak bisa dilepaskan dari kebijakan
pembangunan nasional yang menitik beratkan pada pertumbuhan ekoonomi yang
didasari pertimbangan‑pertimbangan rasional bahwa peningkatan ekonomi akan menjadi penggerak utama dan mempercepat
penyelenggaraan pembangunan itu sendiri. Dengan pertimbangan yang demikian,
maka dapat dipahami apabila kebijakan hukum pidananya pun juga berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi.
Hal tersebut dapat dilihat dalam UUPU
dimana kebijakan pembangunan sektor pertambangan adalah melakukan pengusahaan
penambangan sebesar‑besamya untuk menghasilkan devisa bagi negara, sehingga
rumusan ketentuan pidananya lebih menitikberatkan perlindungan hukum terhadap
investor daripada terhadap lingkungan maupun korban yang timbul akibat
pengusahaan pertambangan. Dalam ketentuan pidana UUPU ini dinyatakan bahwa
setiap orang yang melakukan kegiatan penambangan secara tidak sah diancam
dengan pidana penjara selama‑lamanya enam tahun dan/atau denda setinggi-tinginya RP 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
dan perbuatan itu merupakan kejahatan. Akan tetapi bagi pemegang KP yang tidak
melaksanakan kewajibannya dalam melakukan pemulihan lahan bekas penambangan
batubara (yang menimbulkan kerusakan lingkungan hidup), hanya merupakan pelaku
pelanggaran yang diancam dengan pidana kurungan selama‑lamanya tiga bulan
dan/atau denda setinggi‑tingginya Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).[64]
Sebagai penunjang untuk ditaatinya
norma‑norma administratif, maka ketentuan pidana yang tertuang di satu peraturan
perundang‑undangan
seharusnya sinkron
dengan ketentuan pidana di dalam peraturan perundang‑undangan yang lain yang
mengatur sektor yang sama. Dalam penanggulangan dampak terhadap lingkungan
akibat pertambangan batubara, maka seharusnya ketentuan pidana yang tercantum
dalam perundang‑undangan pertambangan, perindustrian, kehutanan, pengelolaan
lingkungan, dan lain‑lain yang., saling berkaitan serasi/sesuai secara
horizontal. Demikian pula peraturan perundang‑undangan di bidang pertambangan itu sendiri, secara vertikal
harus serasi/sesuai dengan peraturanperaturan yang ada di atasnya.
Penggunaan sanksi pidana (disamping
sanksi administratif) pada berbagai peraturan di luar hukum pidana, termasuk di
bidang pertambangan dan lingkungan hidup, juga pada perundang‑undangan lainnya,
masih menimbulkan sikap pro dan kontra di berbagai kalangan, sebagaimana
pandangan terhadap keefektifan dari sanksi pidana itu sendiri dalam menanggulangi kejahatan yang
selalu dipersoalkan.
Persoalan tindak pidana lingkungan
menjadi semakin kompleks karena juga merupakan masalah etika baik sosial maupun
bisnis, jadi yang dilindungi hukum pidana juga meliputi masa depan kemanusiaan
yang kemungkinan menderita akibat degradasi lingkungan hidup (the anthropocentric aproach), sehingga timbul istilah "the environmental laws carry penal sanction
that protect a multitude of interest"[65]
Keterkaitan yang erat antara
pembangunan, lingkungan hidup, dan hukum menimbulkan urgennya sinkronisasi kebijakan khususnya
hukum pidana di ketiga bidang tersebut. Jadi sinkronisasi kebijakan hukum
pidana di sini berarti, bahwa kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam berbagai peraturan
perundang‑undangan untuk menanggulangi dampak pertambangan batubara, serasi secara
vertikal
sesuai hirarki peraturan perundangundangan yang berlaku. Berdasarkan Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966, tata urutan peraturan perundang‑undangan adalah sebagai
berikut:
1. Undang‑undang Dasar 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang‑undang/Perpu
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan‑peraturan pelaksanaan
lainnya: seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan seterusnya.
Tinjauan
taraf sinkronisasi vertikal ini dapat dilakukan secara kronologis sesuai dengan urutan‑urutan waktu
dikeluarkannya peraturan perundang‑undangan tersebut. Selain itu perlu pula
penelaahan fungsi masing‑masing peraturan perundang‑undangan tersebut, seperti
Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, Instruksi Menteri dan lain sebagainya.[66]
Secara horizontal undang‑undang di sektor
pertambangan dapat dililiat apakah sudah selaras dengan undang‑undang sektor
lain Yang mengatur tentang dampak terhadap lingkungan hidup. Dalam hal ini
sinkronisasi[67]
dalam taraf horizontal berarti penyesuaian dari segala. usaha dan kegiatan
dengan rencana induk, sehingga waktu dan urutan pekerjaan dapat diselaraskan
secara serasi, berdaya guna dan berhasil guna.
53 Dalam hal ini Marc Ancel
mengatakan bahwa “modern criminal science”
terdiri dari tiga komponen yaitu “Criminology”,
“Criminal Law”, dan “Penal Policy”.
Selanjutnya Marc Ancel mengatakan “Between
the study of criminology factor on the one handa and the legal technique on the
other there is the room for science which observes legislatives phenomenon and
for a rational act within which sholar and practioner, criminologist and
lawyers can come together, not asa antagonist or in faractricidal strife, but
as fellowworkers angaged in common task, which is first and foremost to bring
into effect a realistic, and healthy progressive penal policy”. Lihat:
Barda Nawawi Arief, (1) op. cit., hal 23-24
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahaa Indonesia Departeman Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal.
115
[3] Barda Nawawi Arief (I), op cit.,
hal. 27
[4] Barda Nawawi Arief (IV),
Kebijakan legislative dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, CV.
Ananta, Semarang, 1994, hal. 63
[5]Robert R. Mayer dan Ernest
Greenwood, dalam Barda Nawawi Arief (I), ibid, hal. 63
[6] Siti Sundari Rangkuti, Hukum
Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses Pembangunan Hukum
Nasional, Disertasi, Surabaya, 1987, hal. 5
[7] Lihat: Henry Campbell Balck, et.
Al., ad., Black’s law Dictionary,
Sixth Edition, St. Paulminn West Publishing C. O., 1990, hal. 1157. Antara
lain disebutkan bahwa PolicyI merupakan:
“the general principles by which government is guidd in its management of
public affair, or the legislator in its measures … this term, as applied to a
law, ordinance, or rule of law, denotes its general purpose or tendency
considered as directed to the welfare or prosperity of the state community”.
[8] Sudarto, (1), Hukum dan Hukum
Pidana, Alumni, Bandung, 1977, hal. 159 dan Sudarto, (II), Hukum Pidana
dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, 1983, hal. 20
[9] Dalam hal ini Marc Ancel
mendefinisikan penal policy sebagai “yaitu ilmu sekaligus seni yang bertujuan
untuk memungkinkan peraturan hukum positif (dalam hal ini hukum pidana)
dirumuskan secara lebih baik. Lihat Barda Nawawi Arief,(1), Op. cit., Hal. 28”
[10] Ibid.
[11] Ibid., hal. 29
[12] Strafrechtspolitiek is de beleidslijn on te bepalen: in welk opzicht de
bestaande strafbepalingen herzien dienen te worden; … gedaan kan worden op
strafrechtelelijk gedrad te voorkomen; hoe de opsporing, vervolging, berechting
en tenuitvoerlegging van straffen dient te verloven”. Lihat: Barda Nawawi
Arief (1), Ibid., hal. 28-29
[13] Marc Ancel mendefinisikan
kebijakan kriminal sebagai “the rational
organization of the control of crime by society”, G. Peter Hoefnagels
mengemukakan bahwa “criminal policy is
the rational organization of social reactions to crime”, sedangkan Sudarto
mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal yaitu: dalam arti sempit
ialah keseluruhan asas dan metoda yang menjadi dasar dari reaksi terhadap
pelanggaran hukum yang berupa pidana; dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi
dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan
dan polisi; dalam arti yang paling luas (diambil dari Jorgen Japson) ialah
keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan
badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari
masyarakat. Lihat: Ibid. Hal. 1-2
[14] Ibid. Hal. 49
[15] Barda Nawawi Arief, dalam:
Muladi dan Barda Nawawi Arief, (II), Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
Alumni, Bandung, 1992, hal. 92.
[16] Dalam salah satu laporan Kursus
Latihan ke-34 yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo tahun 1973 antara lain
menyatakan: “Most of group member
agreedsome discussion that ‘protection of the society could be accepted as
the final goal of criminal policy’, although not the ultimate aim of
society, which might perhaps be described by term like ‘happiness of citizens’,
‘a wholesome and cultural living’, ‘social welfare’ or equality’,” Lihat
Barda Nawawi Arief, (I), Op. cit., hal.2-3
[17] Barda Nawawi Arief, Kebijakan
Kriminal (criminal Policy), Bahan
Penataran Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung,
9-13 September 1991, hal. 3. Bandingkan dengan: Barda Nawawi Arief, (I), Op.
cit., hal. 3
[18] Penegasan perlunya upaya
penanggualangn kejahatan diintegrasikan dengan keseluruhan kebijakan sosial dan
perencanaan pembangunan tersebut terungkap dalam pernyataan-pernyataan para
ahli seperti Sudarto dan W. Cliford dan dalam berbagai Kongres PBB mengenai “Prvention of Crime and the Treatment of
Offenders” Periksa: Ibid., hal 4-8
[19] Ibid., hal. 32
[20] Disarikan dari pendapat Sudarto
dan Bassioni, serta dari Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional di
Semarang pada bulan Agustus 1980. Lihat Ibid., hal. 33-36. Lihat pula: Sudarto,
(I), Op.cit., hal 44-48
[21] Barda Nawawi Arief, (I), Op.
cit., hal. 39-40
[22] Ibid., hal. 31‑32. Lihat pula
dalam: Barda Nawawi Arief, (IV), Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum
Pidana: Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia, Naskah Pidato
Pengukuhan. Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 25 Juli 1994, hal.
16.
[23] Selain itu pula harus dingat
bahwa analisis kebijakan diidentifikasi didasarkan pada efisiensi, efektivitas
feasibilitas, dan etik. Analis kebijakan adalah sescorang yang bekerja berpa3angan
dengan penyusun kebijakan dengan mengkaji informasi‑informasi yang relevan yang
berkaitan dengan pilihan‑pilihan nilai yang dihadapi dalarn penyusunan
keputusan. Lihat: Robert R. Meyer dan Ernest Greenwood, Rancangan Penelitian
Kebijakan Sosial. (The Desizn of Social
Policv Research), Alih Bahasa
oleh: Sutan Santi Arbi, et. al., Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 27
[24] Emil Salim
(II), Lingkungan dan Pembangunan, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, Cet. Ke‑8,
199 1, hal. 233‑26
[25] Ibid., hal. 91
[26] Koesnadi Hardjasoernantri, (1), Hukum
Tata Lingkungan, Cet. Kedelapan, Gadjah, Mada University Press, Yogyakarta,
1991, hal.
[27] Lihat: Siti
Sundari Rangkuti (1), Hukurn Lingkungan dan Kebiiaksanaan Lingkungan dalarn
Proses Pernbangunan Hukurn Nasional Indonesia, Disertasi, Surabaya, 1987,
hal 5
[28] Koesnadi Hardjasoemantri, (1),
Op. cit., hal. 14
[29] Harun M.
Husien, Lingkungan‑Hidup, Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi
Aksara, Jakarta, 1993, hal. 54‑56
[30] Hermien Hadiati
Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1993, hal. 112
[31] Jaro Madya, dalam Harun M.
Husein, Op. cit, hal. 170
[32] Pasal I butir 12 UUPLH
[33] Pasal I butir 14 UUPLH
[34] Dalam UUPPLH, Ancaman pidana
bagi pelaku TPLH, Maksimum denda 15 milyar rupiah, maksimum pidana penjara 15
tahun
[35] Bidang Ekonomi
meliputi sektor‑sektor: Industri, Pertanian, Koperasi, Perdagangan, Tenaga
Keria, Transportasi, Pos, Telekomunikasi, dan Infomiatika, Pariwisata,
Pertambangan, Energi, Kehutanan, Pembangunan Daerah, Transmigrasi, Kelautan,
Kedirgantaraan, Usaha nasional, Keuangan, Lingkungan hidup, pertanahan, dan
Investasi. (GBHN 1998)
[36] Dikutip dari Tap MPR No.
II/MPR/1998 Tentang GBHN
[37] Ibid
[38] Ibid
[39] Lihat: Barda Nawawi Arief (1),
op cit., hat. 10
[40] Muladi (1), Kapita Selekta Sistem
Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang 1995,
hal. 18
[41] Barda Nawawi Arief (1), op cit.
hal. 2
[42]Samodra Wibawa,
Kebijakan Publik Proses dan Analisis, InterTnedia, Jakarta, 1994, hal. 10. Lihat juga: Miftah Thoha, Dimensi‑dimensi
Prima Ilmu Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1986, hal. 74. Lihat juga:
Charles O. Jones, Penggantar Kebiiakan Publik (Public Policy) Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 48‑49
[43] Marc Ancel,
dalam Barda Nawawi Arief (11), Kebiiakan Legislatif dalam Penanggulangan
Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 1996, hal. 31
[44] Karl O. Christiansen, dalam
Barda Nawawi Arief (11), lbid, hal.38
[45] GP.
Hoefinagels, The Other Side of Criminology, Kluwer, Deventer, Holland,
1973, hal. 99, 102 dan 106. Lihat juga dalam: Barda Nawawi Arief, (11), Op.
cit., hal.38
[46] Sudarto (1), Op. cit., hat 161
[47] Barda Nawawi Arief (1), Op.
cit., hal. 29
[48] Barda Nawawi Arief (H), Op.
cit., hal. 38
[49] Sixth United Nations Congress, Report, 1981, hal. 42
[50] Marc Ancel, Barda Nawawi Arief,
dalam: Muladi & Barda Nawawi Arief (11), Teori‑teori dan Kebiiakan
Pidana Alumni, Bandung, 1992, Hal. 154
[51] Barda Nawawi Arief (11), op cit,
hal. 33
[52] Marc Ancel, dalam Barda Nawawi
Arief (1), hal. 23
[53] Marc Ancel, dalam Barda Nawawi
Arief (1), Ibid, hal 24
[54] Ibid
[55] Sudarto (1), op cit., hal. 93,
109 dan 161
[56] A. Mulder, dalam Barda Nawawi
Arief (1), op cit, hal. 28
[57] Herbert L.
Packer, The Limits of Criminal
Sanction, Stanford University Press, California, 1968, hal. 3. Lihat
juga Barda Nawawi Arief (11), op cit, hal. 17
[58] H.L. Packer,
dalarn Barda Nawawi Arief, dalam: Muladi & Barda Nawawi Arief (II), Ibid,
hal. 155‑1‑56
[59] Sudarto, dalam Barda Nawawi
Arief (1), op cit, hal. 33 dan 34
[60] Lihat: Muladi (1), op cit., hat
13. Lihat juga: Muladi dan Barda Nawawi Arief (11), op cit., hat. 173
[61] Muladi (11), Hak Asasi
manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP,
Semarang, 1997, hal. 187
[62] Ibid, Hal 187‑188
[63] Muladi (III), Prinsip‑prinsip
Dasar Hukum Pidana Lingkungan dalam Kaitannya dengan UU No. 23 Tahun 1997,
Makalah disampaikan pada Seminar nasional Kajian dan Sosialisasi UU No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UNDIP, Semarang, 21 Februari
1998, hal. 18 dan 19. Lihat juga: Muladi (IV), dalam Jurnal Hukurn Pidana dan
Kriminologi, Vol. I/Nomor 1/1998, ASPEHUPIKI & PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 9
[64] Pasal 33 UUPU. Lihat juga: Pasal
67 PP. No. 32/1969 Tentang Pelaksanaan Ketentuan‑ketentuan Pokok Pertambanaan.
Dalam UU Minerba (UU No.4/2009), Ancaman pidana denda maksimum sebesar 10
milyar rupiah, dan ancaman pidana penjara maksimum 10 tahun.
[65] Muladi (III),
op cit.
[66] Lihat: Ronny
Soemitro Hanitijo (1), Metodologi Penclitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 29‑30
[67] Lihat: Ateng Sya,'rudin, Pengaturan
Koordinasi Pernerintahan di Dacrah, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 114
1993, hal. 78
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Umum
Lingkungan
hidup adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh umat manusia yang harus
dijaga kelestariannya demi kesejahteraan umat manusia yang ada sekarang maupun
bagi generasi yang akan datang.
Suatu
kebijakan sosial yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah
penyelenggaraan pembangunan yang pada hakikatnya merupakan upaya sadar untuk
mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam guna meningkatkan mutu kehidupan
rakyat.
Peningkatan
mutu kehidupan masyarakat sangat ditentukan oleh ketersediaan energi yang
sangat dibutuhkan dalam setiap aktivitasnya. Sayangnya sumber energi primer
lebih banyak berasal dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui,
seperti minyak dan gas, batubara, dan lain-lain. Padahal kebutuhan energi semakin besar seiring dengan
semakin bertambahnya jumlah penduduk dan semakin bertambahnya jenis aktivitas
masyarakat.
Pemenuhan
kebutuhan energi, baik untuk keperluan dalam negeri maupun sebagai penghasil
devisa untuk pembayaran pembangunan, telah mengakibatkan terjadinya eksploitasi
besar-besaran terhadap sumber daya alam yang pada umumnya berdampak negatif
terhadap lingkungan hidup.
Salah
satu sektor pembangunan di bidang energi, adalah pengusahaan pertambangan
batubara yang sangat potensial menimbulkan pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup, karena pada dasarnya “menambang sumber daya alam sama dengan merusak
alam”.
Untuk
menanggulangi problem lingkungan inilah dikembangkan kebijakan pengelolaan
lingkungan sebagai suatu sistem terpadu. Diundangkannya Undang-undang tentang
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang berfungsi sebagai
undang-undang payung bagi semua ketentuan yang berkaitan dengan lingkungan
hidup, merupakan langkah nyata menuju keterpaduan sistem pengelolaan lingkungan
hidup.
Salah
satu sarana yang digunakan agar ditaati dan ditegakkannya norma-norma
lingkungan hidup, khusunya untuk menanggulangi dampak lingkungan hidup akibat
berbagai aktivitas manusia, adalah dengan menggunakan sarana hukum pidana.
Sekalipun
telah digunakan sarana hukum pidana dalam pencegahan dan penanggulangan
kegiatan yang menimbulkan dampak lingkungan hidup, tidak serta merta dapat
ditanggulangi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup itu sendiri. Hal
tersebut terlihat dalam kegiatan pengusahaan pertambangan batu bara yang telah
menimbulkan dampak lingkungan hidup yang cukup besar.
B.
Kesimpulan
Khusus
1. Kebijakan
hukum pidana yang tertuang dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan
penanggulangan dampak lingkungan hidup, khususnya akibat pengusahaan
pertambangan batubara memperlihatkan bahwa:
a. Kebijakan
hukum pidana dalam penanggulangan dampak lingkungan hidup mempunyai keterkaitan
yang erat dengan kebijakan hukum administrasi, bahkan pada tataran pelaksananya
kebijakan hukum pidana secara implisit telah menerima gagasan ‘kesatuan tertib
hukum’, di mana perbuatan yang telah dinyatakan sebagai perbuatan yang
diperbolehkan oleh hukum administrasi, tidak dapat dinyatakan sebagai perbuatan
terlarang oleh hukum pidana.
b. Sebagai
konsekuensi bahwa sarana hukum pidana hanya digunakan bilamana sarana lain
tidak lagi memadai (ultimum remedium), kebijakan
hukum pidana lebih bersifat hanya sebagai pengaman dari kebijakan hukum
administrasi.
c. Penentuan
suatu perbuatan sebagai tindak pidana pada umumnya didasarkan pada pelanggaran
kewajiban administratif
yang harus dipenuhi oleh pemegang Kuasa Pertambangan.
d. Penentuan
sanksi lebih menitikberatkan pada pertimbangan ekonomis ketimbang ekologis.
e. Pertanggungjawaban
pidana meliputi orang dan badan hukum. Bilamana pelaku tindak pidana adalah
badan hukum, pidana dapat dijatuhkan kepada anggota pengurus dan/atau badan
hukum yang bersangkutan.
2.
a.
Kebijakan
hukum pidana di masa yang akan datang dalam menanggulangi dampak lingkungan dan
memberikan perlindungan terhadap korban akibat pengusahaan pertambangan batu
bara merupakan suatu hal yang sangat urgen mengingat besarnya dampak lingkungan
hidup dan korban yang timbul akibat pengusahaan pertambangan batubara, seperti:
1)
Rusaknya dan/atau tercemarnyaa lingkungan fisik-kimia, biologi dan social
budaya baik pada tahap penambangan, pengangkutan, maupun pemanfaatan batubara.
Dampak lingkungan hidup ini sebagian besar bersifat permanen. Realisasi
reklamasi dan revegetasi sangat rendah
2)
Korban (perorangan maupun kolektif) pada umumnya kurang menyadari bahwa mereka
telah menjadi korban nyata maupun korban potensial dari pengusahaan
pertambangan batubara.
3).
Lingkungan hidup serta korban belum memperoleh perlindungan yang selayaknya.
Hal tersebut terlihat baik dari penjabaran kebijakan hukum pidana maupun
kebijakan hukum administrasi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
a.
Kebijakan hukum pidana di masa yang akan
datang dalam menanggulangi dampak lingkungan dan memberikan perlindungan
terhadap korban akibat pengusahaan pertambangan batubara dapat diupayakan
melalui:
1)
Sinkronisasi kebijakan hukum pidana
dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penanggulangan tindak
pidana lingkungan hidup. Sinkronisasi tersebut meliputi sinkronisasi struktural, substansial dan kultural.
2)
Pemberdayaan upaya nonpenal dalam rangka
mengatasi kelemahan-kelemahan penggunaan sarana hukum pidana, khususnya akibat
‘ketergantungan administratif
dari hukum pidana’.
C.
Rekomendasi/Saran
1. Kebijakan
hukum pidana dalam penanggulangan DLH akibat pengusahaan pertambangan batubara
yang memiliki keterkaitan bahkan ketergantungan terhadap hukum administrasi
hendaknya diterima sebagai sesuatu yang wajar. Untuk itu hendaknya diefektifkan
sosialisasi kepada segenap pihak yang terkait bahwa dalam penanggulangan DLH,
peranan hukum pidana dan hukum administrasi seyogyanya tidak dibedakan secara
dikhotomis, agar tidak melemahkan semangat penegakan norma-norma lingkungan
hidup oleh aparat penegak hukum.
2.
a.
Dampak
lingkungan hidup yang timbul akibat pengusahaan pertambangan dan korban yang
memerlukan perlindungan hendaknya diantisipasi oleh kebijakan hukum pidana,
khusunya berkenaan dengan perluasan kewenangan (diskresi) para pengambil keputusan.
Diskresi yang besar selayaknya dibebani tanggung jawab yang besar pula. Hal ini
berarti diperlukan ketentuan pidana yang mengatur juga pertanggung jawaban
pidana oleh pejabat pengambil keputusan
b. Kebijakan
hukum pidana di masa yang akan datang dalam menanggulangi DLH serta memberikan perlindungan
terhadap korban selain melalui sinkronisasi kebijakan, seyogyanya pula:
1) Melakukan
transformasi dan harmonisasi kecenderungan internasional dalam penanggulangan
TPLH ke dalam system hukum pidana lingkungan nasional, dengan
penyesuaian-penyesuaian selaras dengan situasi dan kondisi di Indonesia
2) Memberdayakan
upaya nonpenal dengan mengoptimalisasi peranan pers dan media massa dalam
penanaman kesadaran dan semangat kepedulian terhadap lingkungan hidup. Hal
tersebut seyogyanya terus menerus diberikan kepada masyarakat untuk
meningkatkan pemahaman akan kewajiban berperan serta aktif dalam melakukan
perlindungan dan control terhadap pengelolaan lingkungan hidup.
DAFTAR
PUSTAKA
Adi, Rianto, Metodologi
Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2004
Adian, Donny Gahral, Percik
Pemikiran kontemporer –Sebuah Pengantar Komprehensif-, Jalasutra,
Yogyakarta, 2005
Abdul Aziz, Yaya M. (Ed.), Visi Global –Antisipasi Indonesia Memasuki Abad ke 21, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1998
Amirin, Tatang M., Penyusunan
Rencana Penelitian, CV. Rajawali, Jakarta, 1986
Asshiddiqie, Jimly, Green
Constitution, Rajawali Press, Jakarta, 2009
Bachriadi, Dianto, Merana
di Tengah Kelimpahan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),
Jakarta, 1998
Bintliff,
Russel L., White Collar Crime, Detection
and Prevention, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, 1993
Black,
Henry Campbell, et., al., Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul,
Minn, West Publishing Co., 1990
Blackburn,
John O., Enerji Terbarui –Menyongsong
Kemakmuran Tanpa Enerji Nuklir dan Batubara, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 1987
Blau,
Peter M. and Marshall W. Meyer, Birokrasi
dalam Masyarakat Modern, Edisi Kedua, Gary R. Jusuf (Penerjemah), UI Press,
1987
Borgatta, Edgar F. and Marie L. Borgatta, (Ed. Board),
(I), Encyclopedia of Sociology, Vol. I, Macmillan Publishing Co., New York,
Maxwell Macmillan Canada, Toronto, Maxwell Macmillan International, New York – Oxford
– Singapore – Sydney, 1991
----------------------,
(II), Encyclopedia of Sociology, Vol. II, Macmillan Publishing Co., New York,
Maxwell Macmillan Canada, Toronto, Maxwell Macmillan International, New York –
Oxford – Singapore – Sydney, 1991
Box,
Steven, Power, Crime and Mystification,
Tavistock Publications, London and New York, 1983
Brown, Lester R., Jangan
Biarkan Bumi Merana, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993
---------------------, Tanda-tanda Zaman Era 90-an, Yayasan Obor Indonesia, 1995
Brown, Lester R. et al., Menyelamatkan Planet Bumi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994
Cannon,
Tom, Corporate Responsibility, PT.
Elex Media Komputindo, Jakarta, 1992
Cleveland,
Harlan, Lahirnya Sebuah Dunia Baru,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995
Clinard,
Marshall B. and Peter C. Yeager, Corporate
Crime, The Free Press A Division of Macmillan Publishing Co., Inc., New
York, Collier Macmillan Publishers, London, 1980
Djajadiningrat, Surna T., et., al., (Penyunting), Ecolabelling dan Kecenderungan Lingkungan
Hidup Global, PT. Bina Rena Pariwara, Jakarta, 1995
Drapkin,
Israel and Emilio Viano, (Ed.), Victimology,
Lexington Books, D. C. Heath and Company, London, 1975
Dror,
Yehezkel, Ventures in Policy Sciences
–Concepts and Applications, Elsevier, New York, 1971
Dye,
Thomas R., Understanding Public Policy,
Third Edition, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, N. J., 1978
Elving,
Ronald D., Confict and Compromise –How
Congress Makes the Law-, Simon & Schuster, Rockefeller Center, New
York, 1995
Flavin,
Christtopher and Nicholas Lenssen, Gelombang
Revolusi Energi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995
Foley,
Gerald, Pemanasan Global –Siapakah yang
Merasa Panas?-, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993
Gintings, perdana, Mencegah
dan Mengendalikan Pencemaran Industri, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995
Gosita, Arif, (I), Relevansi
Viktimologi dengan Pelayanan terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan),
Ind. Hill-Co, Jakarta, 1987
----------------, (II), Viktimologi dan KUHAP –Yang Mengatur Ganti Kerugian Pihak Korban-,
Akademika Pressindo, Jakarta, 1987
Hadisuprapto, Paulus, (Ketua Tim Peny.), Kapita Selekta Hukum, Menyambut Dies Natalis
Ke 50 Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, FH UNDIP, Semarang, 2007
HAM, Musahadi, et., al., Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia: Dari Konflik Agama hingga
Mediasi Pengadilan, WMC (Walisongo Mediation Centre) IAIN Walisongo
Semarang, Semarang, 2007
Hamzah, Andi, Penegakan
Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005
Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Cet. Kedelapan, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 1991
-------------------, (II), Hukum Tata Lingkungan, Edisi Keenam, Cet. Keduabelas,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1996
------------------,
(III), Environmental Legislation in Indonesia,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1985
Hartono,
Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia
pada Akhir Abad ke-21, Alumni, Bandung, 1994
Hatrik,
Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi
dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability),
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
Hidayat,
Arief & FX. Adji Samekto, Kajian
Kritis Penegakan Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 2007
Hoefnagels,
GP., The Other Side of Criminology,
Kluwer, Deventer, Holland, 1973
HS,
Salim, Hukum Pertambangan di Indonesia, Rajawali
Press, Jakarta, 2005
Hufschmidt,
Maynard M., Lingkungan, Sistem Alami, dan
Pembangunan –Pedoman Penilaian Ekonomis-, Cet. Ke-3, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 1996
Husein,
Harun M., Lingkungan Hidup –Masalah,
Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya-, (Cet. Ke-2), Bumi Aksara, Jakarta,
1995
Jones,
Charles O., Pengantar Kebijakan public
(Public Policy), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
Kartasapoetra,
G., et., al., Teknologi Konservasi Tanah
dan Air, Bina Aksara, Jakarta, 1985
Keraf,
A. Sonny dan Robert Haryono Imam, Etika
Bisnis –Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur-, Penerbit Kanisius,
Jakarta, 1995
Keraf,
Gorys, Komposisi –Sebuah Pengantar
Kemahiran Bahasa-, Nusa Indah, Ende, Flores, 1984
Kerlinger,
Fred N., Asas-asas Penelitian Behavioral,
(Terj. Landung R. Simatupang), Cet. Kelima, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1996
Komisi
Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (The World Commission on Environment and
Development), Hari Depan Kita Bersama,
PT. Gramedia, Jakarta, 1988
Koewadji,
Hermien Hadiati, Hukum Pidana Lingkungan,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993
Kunarto
(Penyadur), Ikhtisar Implementasi Hak
Asasi Manusia dalam Penegakan Hukum, Cipta Manunggal, Jakarta, 1996
Kuntowijoyo,
Demokrasi dan Budaya Birokrasi,
Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1994
Lotulung,
Paulus Effendi (Penyusun), Himpunan
Makalah Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1994
Meliala, Adrianus, (Penyunting), Praktik Bisnis Curang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993
Menkel-Meadow,
Carrie, (Ed.), Mediation –Theory, Policy
and Practice, Dartmouth Publishing Company Limited, Burlington, 2001
Milles
Matthew B. & A. Michael Huberman, Analisis
Data Kualitatif, (Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi), UI-Press, Jakarta, 1992
Muliono,
Tristam P., (Penerjemah), Kekhawatiran
Masa Kini –Pemikiran mengenai Hukum Pidana Lingkungan dalam Teori dan Praktek-,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994
Muladi, (I), Kapita
Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1995
---------, (II), Hak
Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP,
Semarang, 1997
---------, (III), Prinsip-prinsip
Dasar Hukum Pidana Lingkungan dalam Kaitannya dengan UU No. 23 Tahun 1997,
UNDIP, Semarang, 21 Februari 1998
Muladi dan Barda Nawawi Arief, (I), Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992
--------------, (II), Teori-teori
dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992
Naisbitt, John, Global
Paradox, (Cet. I), Binarupa Aksara, Jakarta, 1994
National Geographic Indonesia, Detak Bumi – Laporan
Khusus tentang Tren Global-, Kompas Gramedia, Jakarta, 2008
Nawawi Arief, Barda, (I), Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996
------------, (II), Kebijakan
Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1996
------------, (III), Beberapa
Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, UNDIP, Semarang,
1997
------------, (IV), Beberapa
Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana
Indonesia), Pidato Pengukuhan, Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan
Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang, 25 Juni 1994
-------------, (V), Kebijakan Kriminal (Criminal policy),
Bahan Penataran Kriminologi, FH UNPAD, Bandung, 9-13 September 1991
-------------------------, (VI), Penelitian Hukum
Normatif (Suatu Upaya Reorientasi Pemahaman), Disajikan dalam Penataran
Metodologi Penelitian Hukum di Universitas Djenderal Soedirman, Purwokerto,
11-15 September 1995
-----------------------, (VII), Bahan Matrikulasi Program
Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2002
------------------------, (VIII), (Peny.), Pertanggung
Jawaban Pidana Korporasi (Bahan Bacaan Kapita Selekta Hukum Pidana, Program
Magister (S2) Ilmu Hukum, UNDIP, Semarang, 1999
-----------------------, (IX), Aspek Kebijakan Mediasi
Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Disajikan dalam Seminar
Nasional “Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Governance”,
Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, di Inter Continental Hotel, Jakarta, 27 Maret
2007
Packer,
Herbert L., The Limits of Criminal
Sanction, Stanford University Press, California, 1968
Pamulardi,
Bambang, Hukum Kehutanan dan Pembangunan
Bidang Kehutanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
Rahardjo,
Satjipto, (I), Hukum dalam Perspektif
Sosial, Alumni, Bandung, 1981
Rangkuti,
Siti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan
Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya, 1996
Reksodiputro,
Mardjono, (I), Kemajuan Pembangunan
Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan
Karangan Buku Kesatu, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI,
Jakarta, 1994
-------------------,
(II), Kriminologi dan Sistem peradilan
Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, Pusat pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum UI, Jakarta, 1994
------------------,
(III), Hak Asasi Manusia dalam Sistem
Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Pusat pelayanan Keadilan
dan Pengabdianale, Kirkpatrick, Revolusi Hijau –Sebuah Tinjauan Historis-Kritis
Gerakan Lingkungan Hidup di Amerika Serikat-, Yayasan Obor, Jakarta, 1996
Rhiti,
Hyronimus, Hukum Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta,
2006
Salim, Emil, (I), Pembangunan
Berwawasan Lingkungan, Cet. Keenam, LP3ES, Jakarta, 1993
------------, (II), Lingkungan
Hidup dan Pembangunan, PT. Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 1995
Salindeho, John, Undang-undang
Gangguan dan Masalah Lingkungan, Sinar Grafika, Ujung Pandang, 1989
Samekto, Adji FX., Studi
Hukum Kritis: Kritik terhadap Hukum Modern, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 2003
Sastrawijaya, A. Tresna, Pencemaran Lingkungan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991
Schafer,
Stephen, The Victim and His Criminal,
Random House, Inc., New York, 1968
Sigit,
Soetaryo, Industri Pertambangan Batubara
Indonesia, PT. Geoservises (LTD), Bandung, 1997
Silalahi,
Daud, Hukum Lingkungan dalam Sistem
Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Edisi Revisi (Kedua), Cet. Pertama,
Alumni, Bandung, 1996
Sixth
United Nations Congress, Report, 1981
Soedjono,
Dirdjosisworo, Kejahatan Bisnis
(Orientasi dan Konsepsi), Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1994
Soekanto,
Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum,
UI-Press, Jakarta,
Soekanto,
Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian
Hukum Normatif -Suatu Tinjauan Singkat-, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1995
Soemarwoto,
Otto, (I), Indonesia dalam kancah Issu
Lingkungan Global, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991
-------------------, (II), Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Cet. Ke-7, Penerbit
Djambatan, Jakarta, 1997
Soemitro, Ronny Hanitijo, (I), Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990
Sommers, M., Logika,
Cet. Ketiga, Alumni, Bandung, 1992
Sudarto, (I), Hukum
dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981
---------, (II), Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, FH
UNDIP, Semarang, 1990
Sudjana, Eggy, HAM,
Demokrasi dan Lingkungan Hidup –Perspektif Islam-, Yaysan Assyahidah,
Bogor, 1998
Sudjana, Eggy dan Riyanto, Penegakan Hukum Lingkungan dalam Perspektif Etika Bisnis di Indonesia,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999
Sukandarrumidi, Batubara
dan Gambut, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995
Sukidin, Basrowi, Metode
Penelitian Kualitatif –Perspektif Mikro-, Insan Cendekia, Surabaya, 2002
Suriasumantri,
Jujun S., Filsafat Ilmu –Sebuah Pengantar
Populer-, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1996
Susanto, I. S., (I), Kejahatan
Korporasi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995
------------------, (II), Menciptakan Lingkungan Hidup yang Nyaman, Pidato Dies Natalis,
Dalam Rangka Dies Natalis UNDIP Ke-40, di Semarang, 15 Oktober 1997
Syafrudin, Ateng, Pengaturan
Koordinasi Pemerintahan di Daerah, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993
Tanya, Bernard L., et., al., Teori Hukum –Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi-,
CV. Kita,
Surabaya, 2006
United
Nations, Seventh UN Congress on The
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Milan, Italis, 1985
United
Nations, Eighth UN Congress on The
Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders, Havana, Cuba, 1990
United
Nations, Ninth UN Congress on The
Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders, Cairo, Egypt, 1995
United
Nations, A Compilation of International
Instrument, Human Rights, Vol. I (First Part), New York, 1993
United
Nations, International Meeting of Expert
on Environment Crime, Oregon, USA, 1994
United
Nations, XVth International Congress of
Penal Law, Rio de Janeiro, Brasil, 1994
Viano,
Emilio C., (Ed.), Victims and Society,
Visage Press, Inc., Washington DC., 1976
Waluyo, Bambang, Penelitian
Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991
Warassih, Esmi, (I), Penyusunan Proposal dan Penelitian,
Disampaikan dalam Penataran Metodologi Penelitian Hukum Universitas Diponegoro,
di Lembaga Penelitian UNDIP, Semarang, 4-9 Mei 1992
-------------------, (II), Metodologi Penelitian Bidang
Ilmu Humaniora, Disampaikan dalam Pelatihan Metodologi Penelitian Ilmu Sosial,
FH UNDIP, Semarang, 14-15 Mei 1999
Wibawa, Samodra, Kebijakan
Publik –Proses dan Analisis-, Intermedia, Jakarta, 1994
Wignjosoebroto, Soetandyo, Disertasi –Sebuah Pedoman Ringkas Tentang Tatacara Penulisannya,
Laboratorium Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Airlangga, Surabaya, 2007
Zakaria, R. Yando, Hutan
dan Kesejahteraan Masyarakat, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI),
Jakarta, 1994
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, ASPEHUPIKI & PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, Vol. I/Nomor 1/1998
Strategic
Review, Indonesian Energy Prospects, Telstra, Jakarta, 1996
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi, Rio de Janeiro, 3-14 Juni
1992
Jurnal Hukum Progresif, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP,
Semarang, Vol. : 1/No. 1/April/2005
Hadjon, Philipus M., Pengkajian Ilmu Hukum, Disampaikan
dalam Penetaran dan Lokakarya Sehari “Menggagas Format Usulan dan laporan
Penelitian Hukum Normatif, Malang, 22 Februari, 1997
Kantor Menteri Negara KLH Bekerjasama dengan
Environmental Management Development in Indonesia, Penegakan Hukum Lingkungan
(Prosiding Lokakarya), Batu, Malang, Mei 1990
Meliala, Adrianus, Penyelesaian Sengketa Alternatif :
Posisi dan Potensinya di Indonesia,
http//www.adrianusmeliala.com
Rahardjo, Satjipto, (II), Pembangunan Hukum di Indonesia
dalam Konteks Situasi Global, Disampaikan dalam Seminar dan Pertemuan Dosen
Pengajar/Peminat Sosiologi Hukum se Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, di
Universitas Muhammadiyah, Surakarta, 5-6 Agustus 1996
Soemitro, Ronny Hanitijo, (II), Metodologi Penelitian
Hukum, Disampaikan dalam Penataran Metodologi Penelitian Hukum Universitas
Diponegoro, di Lembaga Penelitian UNDIP, Semarang, 4-9 Mei 1992
Walhi, Hukum Adat Lindu, Sulteng, http://www.walhi.or.id
Wignjosoebroto, Soetandyo, (I), Beberapa Persoalan
Paradigmatik dalam Teori, dan Konsekuensinya atas Pilihan Metode yang Akan
Dipakai (Metode Kuantitatif versus Metode Kualitatif), Disampaikan dalam
Penataran Metodologi Penelitian Hukum Universitas Diponegoro, di Lembaga
Penelitian UNDIP, Semarang, 4-9 Mei 1992
-------------------, (II), Masalah Metodologik dalam
Penelitian Hukum Sehubungan dengan Masalah Keragaman Konseptualnya, Disampaikan
dalam Forum Komunikasi Hasil Penelitian Bidang Hukum, Bandungan, Ambarawa, 5-8
Desember 1994
-------------------, (III), Masalah Metodologik dalam
Penelitian Hukum Sehubungan dengan Masalah Keragaman Pendekatan Konseptualnya,
Disampaikan dalam Pelatihan Metodologi Penelitian Ilmu Sosial, FH UNDIP,
Semarang, 14-15 Mei 1999
Yudoyono, Susilo Bambang, Sambutan Presiden pada Peringatan Hari Internasional
Masyarakat Hukum Adat Sedunia di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2006 , http://www.indonesia.go.id/id
- REPUBLIK INDONESIA Powered by Mambo Generated
Hoeve,
W. van, kamus Belanda – Indonesia, PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1992
Kadish,
Sanford H., (Ed. In Chief), Encyclopedia of Crime and Justice, (Vol. I-IV), The
Free Press, A Division of Macmillan, Inc., New York, Collier Macmillan
Publishers, London, 1983
Poerwadarminta, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1996
Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1992
The
International Comparative Legal Guide to: Environment Law 2005, www.glatzova.com
New
Environment Law for Afghanistan, www.ehnponline.com
The
International Comparative Legal Guide to: Environment Law 2007, www.alukooyebode.com
Harian Kompas , 6 Maret 2008
-------------------, 19 Februari 2010
Tempo, Edisi 3-9 Desember 2007
UU no 4 tahun 2009 tentang Minerba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar