Sabtu, 20 September 2014

Pertambangan Batubara Kajian dari Sudut Pandang Kebijakan Hukum Pidana; Penulis: Dr. Nirmala Sari, S.H., M.Hum; ISBN: 978-979-704-921-8; Cetak: 2010.



Dr. Nirmalasari SH., MHum.

PERTAMBANGAN BATUBARA
Kajian dari Sudut Pandang Kebijakan Hukum Pidana












PERTAMBANGAN BATUBARA
- Kajian dari Sudut Pandang Kebijakan Hukum Pidana -
Oleh: NIRMALA SARI

Tentang Penulis
Penulis lahir di Banjarmasin, tahun 1962. Lulus Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat tahun 1986.
Melanjutkan dan lulus studi pasca sarjana untuk memperoleh gelar Master Humaniora pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro tahun 1999. Saat ini sedang menempuh pendidikan pada Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Dipone­goro, Semarang.
Menjadi Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat sejak tahun 1989.
Penulis menaruh perhatian khusus terhadap masalah-masalah lingkungan hidup, jender dan perkembangan hukum pidana.





Kata Pengantar

Pembangunan di masa depan sangat tergantung pada ketersediaan jangka panjang energi, padahal sumber energi primer masa kini sebagian besar bersifat tidak dapat diperbaharui, seperti migas.
Salah satu sumber energi yang diharapkan dapat menggantikan bahan bakar migas di masa yang akan datang adalah batubara. Saat ini Indonesia memiliki cadangan batubara sekitar 276 milyar ton yang tersebar di beberapa pulau, khususnya Sumatera dan Kalimantan.
Dengan potensi cadangan batubara yang besar, kebijakan di sektor pertambangan diarahkan untuk menghasilkan batubara sebagai bahan baku bagi industri dalam negeri maupun sebagai sumber devisa, sehingga dapat menghasilkan nilai tambah yang setinggi-tingginya dan menciptakan lapangan kerja yang sebesar-besarnya. Pembangunan sektor ini juga diharapkan membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengembangan wilayah, pembangunan daerah, dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.
 Dengan dilakukannya eksploitasi besar-besaran terhadap tambang batubara, maka timbul dampak negatif berupa tercemar dan rusaknya lingkungan hidup baik dalam skala lokal maupun global. Dalam skala lokal, lahan bekas penambangan batubara yang tidak segera dilakukan reklamasi mengakibatkan timbulnya kerusakan morfologi dan bentang alam atau struktur tanah. Tanah yang pada mulanya berbentuk perbukitan, berubah menjadi goa-goa besar, danau-danau raksasa yang airnya meluap keluar dan membanjiri daerah pemukiman penduduk. Di musim hujan tebing ‘danau-danau’ itu longsor dan menutupi daerah persawahan. Limbah cair bekas penambangan mencemari sungai-sungai sehingga mengakibatkan turunnya kualitas air yang menjadi sumber kehidupan penduduk di sekitarnya. Debu tanah dan debu batubara yang tebal menyebabkan turunnya kualitas udara yang sangat potensial menimbulkan berbagai macam penyakit, khususnya berbagai jenis penyakit pernafasan.
Dampak dalam skala global, adalah semakin panasnya temperatur bumi akibat pembakaran batubara, perombakan hutan untuk melakukan penambangan yang tidak terkendali (deforestation) yang dapat merusak lapisan ozon yang berfungsi melindungi kehidupan makhluk dan tata lingkung permukaan bumi.
Buku dengan judul “Pertambangan Batubara –Kajian dari Sudut Pandang Kebijakan Hukum Pidana-” ini memaparkan tentang pengusahaan pertambangan batubara di Indonesia. Pemaparan tentang pengusahaan pertambangan batubara berikut dampak lingkungan hidup yang timbul, dikaji dari sudut pandang kebijakan hukum pidana. 
Sampai saat ini, kebijakan untuk menggunakan sarana hukum pidana dalam rangka memberikan jaminan ditaatinya ketentuan perundang-undangan di bidang pertambangan dan lingkungan hidup masih diperlukan. Hal tersebut tidak terlepas dari fungsi hukum pidana sebagai administrative penal law.
Penulisan buku ini tidak terlepas dari dorongan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara perorangan maupun kelembagaan. Untuk itu dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada pihak-pihak yang membantu penyusunan buku ini.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Kakanwil Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Selatan dan Bapak Darwoto, atas bantuan dan bimbingan yang telah diberikan. Terimakasih kepada Direktur dan Staf  PT. Adaro Indonesia, Pengurus dan karyawan KUD Bersama Binuang, serta Pengurus dan karyawan KUD Usaha Karya, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis untuk melakukan penelitian di lokasi pertambangan batubara yang bersangkutan. Terimakasih juga tak lupa penulis haturkan kepada kedua orang tua penulis, Guru-guru penulis, suami penulis, anak-anak penulis, kakak-kakak dan adik-adik penulis, serta teman-teman penulis, yang tanpa mereka penulis merasa tidak berarti apa-apa.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa, buku ini tidak lepas dari berbagai kekurangan. Kritik dan saran kostruktif dari pembaca sangat penulis harapkan. Akhirnya, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.                                                         
   
                                                                                Penulis 


                                                                            Nirmala Sari









DAFTAR ISI
Pengantar Penulis ................................................................................... iv
Bab I      Pendahuluan............................................................................   1
Bab II     Pengusahaan Pertambangan batu Bara .....................................16
   A.     Tinjauan umum tentang Batubara........................................16
   B.     Kebijakan Pengembangan Pertambangan Batubara.............27
Bab III    Dampak Lingkungan Hidup dan Korban yang Timbul
               akibat Pengusahaan Pertambangan batu bara............................40
   A.    Tinjauan Umum tentang Dampak Lingkungan
   Hidup akibat Pengusahaan Pertambangan Batubara............40
   B.     Korban yang Timbul Akibat Pengusahaan
   Pertambangan Batu Bara...................................................46
Bab IV    Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan
               Dampak Lingkungan Hidup akibat
               Pengusahaan Pertambangan Batubara.....................................59

 A.    Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan
 hukum Pidana..................................................................59
 B.     Kedudukan kebijakan Hukum Pidana dalam
 Kebijakan Hukum Lingkungan.........................................74
 C.    Peranan hukum Pidana dalam Penanggulangan
 Dampak Lingkungan Hidup Akibat
 Pengusahaan Pertambangan Batubara..............................85
Bab V     Penutup................................................................................104
               A.     Kesimpulan Umum.........................................................104
               B.   Kesimpulan Khusus.......................................................106 
               C.   Rekomendasi/Saran......................................................108 







BAB  I

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia menyadari bahwa kekayaan alam adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan agar dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup manusia serta makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas kehidupan itu sendiri. Hal tersebut sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 bahwa, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam rangka pendayagunaan sumber daya alam sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat, maka pembangunan dilakukan secara terencana, rasional, optimal, bertanggungjawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya, dengan mengutamakan sebesar-besar kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Tata ruang nasional yang berwawasan nusantara dijadikan pedoman bagi perencanaan pembangunan agar penataan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam dapat dilakukan secara aman, tertib, efisien, dan efektif.[1] 

Pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi Indonesia seperti kehutanan dan pertambangan, dilakukan dengan memperhatikan bahwa pengelolaan sumber daya alam disamping untuk memberi kemanfaatan masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa depan. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resource) seperti hutan, harus dikelola secara bijaksana sehingga fungsinya dapat selalu terpelihara, sedangkan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resource) seperti tambang minyak dan gas (migas), batubara, biji besi dan lain-lainnya harus digunakan secara rasional dan bijaksana, sehingga pemanfaatannya dapat bertahan selama mungkin.[2] Hal ini berarti sangat disadari bahwa tanpa pengelolaan yang rasional dan bijaksana, sebesar apapun sumber daya alam itu, tidak akan mendatangkan kemanfaatan yang maksimal bagi kesejahteraan bangsa, khususnya generasi yang akan datang.

Pembangunan di masa depan sangat tergantung pada ketersediaan jangka panjang energi, padahal sumber energi primer masa kini sebagian besar bersifat tidak dapat diperbaharui seperti migas. Menurut perhitungan para ahli, hingga saat ini tidak ada satupun sumber atau gabungan beberapa sumber energi yang ada, dapat memenuhi kebutuhan masa depan tersebut.[3] Meskipun sebenarnya sumber energi primer lainnya seperti matahari, angin dan gelombang masih sangat besar, akan tetapi pemanfaatannya memerlukan teknologi tinggi yang berarti memerlukan biaya besar pula.

Salah satu sumber energi yang diharapkan dapat menggantikan bahan bakar migas di masa yang akan datang adalah batubara.[4] Saat ini Indonesia memiliki cadangan batubara sekitar 276 milyar ton yang tersebar di beberapa pulau, khususnya Sumatera dan Kalimantan.[5]  Dengan potensi cadangan batubara –di samping bahan tambang lainnya- yang besar, kebijakan di sektor pertambangan diarahkan untuk menghasilkan bahan tambang sebagai bahan baku bagi industri dalam negeri, sehingga dapat menghasilkan nilai tambah yang setinggi-tingginya dan menciptakan lapangan kerja yang sebesar-besarnya. Pembangunan sektor ini juga diharapkan membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengembangan wilayah, pembangunan daerah, dan peningkatan taraf hidup rakyat.[6]

Untuk keperluan tersebut di atas, maka ketentuan tentang pengusahaan pertambangan dituangkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Undang-undang Minerba)[7] serta berbagai peraturan pelaksanaannya. Peraturan perundang-undangan tersebut tujuannya di samping untuk memacu perkembangan kegiatan pertambangan juga untuk memberikan landasan legalitas yang kuat sebagai jaminan perlindungan hukum bagi investor serta masyarakat pada umumnya.

Berdasarkan peraturan-peraturan pertambangan itulah eksplorasi dan eksploitasi terhadap tambang batubara terus digalakkan guna memenuhi kebutuhan dalam negeri serta menghasilkan devisa bagi Negara. Dengan dilakukannya eksploitasi besar-besaran terhadap tambang batubara, maka timbul permasalahan yang merupakan dampak negatif dari pengusahaan pertambangan tersebut. Dampak itu antara lain berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup baik dalam skala lokal maupun global, yang potensial menimbulkan berbagai penyakit.

Dalam skala lokal, hasil penelitian menunjukkan bahwa, lahan bekas penambangan batubara yang tidak segera dilakukan reklamasi mengakibatkan timbulnya kerusakan morfologi dan bentang alam atau struktur tanah. Tanah yang pada mulanya berbentuk perbukitan, berubah menjadi goa-goa besar, danau-danau raksasa yang airnya meluap keluar dan membanjiri daerah pemukiman penduduk. Di musim hujan tebing ‘danau-danau’ itu longsor dan menutupi daerah persawahan. Limbah cair bekas penambangan mencemari sungai-sungai sehingga mengakibatkan turunnya kualitas air yang menjadi sumber kehidupan penduduk di sekitarnya. Debu tanah dan debu batubara yang tebal menyebabkan turunnya kualitas udara yang sangat potensial menimbulkan berbagai macam penyakit, khususnya berbagai jenis penyakit pernafasan.[8]

Dampak dalam skala global yang kemungkinan besar akan terjadi –dampak lingkungan sebagian besar tidak terjadi secara serta merta- adalah semakin panasnya temperatur bumi akibat pembakaran batubara, perombakan hutan untuk melakukan penambangan yang tidak terkendali (deforestation) yang dapat merusak lapisan ozon yang berfungsi melindungi kehidupan makhluk dan tata lingkung permukaan bumi. Lubang pada ozon merupakan ancaman serius bagi bumi[9] karena panas yang makin memuncak akan mengakibatkan naiknya permukaan air laut dan mencairnya gunung-gunung es di Kutub Utara. Meningkatnya tempertur bumi (efek rumah kaca) akan mengakibatkan pula tenggelamnya beberapa pulau di muka bumi.

Sejalan dengan meningkatnya kepedulian terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup pada tingkat internasional, khususnya dengan diselenggarakannya Konferensi PBB tentang Lingkungan hidup Manusia di Stockholm pada tahun 1972, maka Indonesia mencanangkan pola pembangunan berwawasan lingkungan sebagaimana tertuang dalam GBHN 1978.

Salah satu bentuk kepedulian Indonesia terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup ini antara lain tertuang dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup (UULH), yang kemudian dirubah dan diganti dengan Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). UUPLH selanjutnya dirubah dan diganti lagi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).

Dalam kaitannya dengan kegiatan pengusahaan sumber daya alam, pada dasarnya UUPPLH menekankan pentingnya konservasi sumber daya alam, yakni pengelolaan sumber daya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Mengenai pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana ini, Emil Salim mengemukakan:[10]

‘Pembangungan berkelanjutan mengharuskan kita mengelola sumber alam serasional mungkin. Ini berarti bahwa keempat kelompok sumber alam seperti pertambangan, hutan pelestarian alam, hutan lindung dan hutan produksi bias diolah asalkan secara rasional dan bijaksana. Untuk ini diperlukan pendekatan pembangunan dengan pengembangan lingkungan hidup yaitu eco-development. Pendekatan ini tidak menolak diubah dan diolahnya sumber alam untuk pembangunan dan kesejahteraan manusia. Tetapi ‘kesejahteraan manusia’ mengandung makna yang lebih luas, mencakup tidak hanya kesejahteraan material, pemenuhan kebutuhan generasi kini, tetapi juga mencakup kesejahteraan nonfisik, mutu kualitas hidup dengan lingkungan hidup yang layak dihidupi (liveable environment) dan jaminan bahwa kesejahteraan terpelihara kesinambungannya bagi generasi depan. Pengelolaan sumber daya alam yang tidak rasional dan kurang bijaksana harus dicegah agar kesejahteraan generasi masa kini dicapai dengan tidak menghancurkan lingkungan bagi peningkatan kesejahteraan generasi masa depan. Dalam pendekatan ini berlaku dalil apa yang diambil dari alam harus kembali kepada alam, sekurang-kurangnya diganti dengan hal yang berperan serupa kepada alam’

Saling keterkaitan antara pembangunan (development) dan kualitas lingkungan hidup (quality of life environment) saat ini menjadi isu sentral dunia internasional. Keterkaitan antara kedua masalah tersebut menjadi pokok perhatian sebagaimana yang terlihat dalam perkembangan Kongres-kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders pada dua dekade terakhir ini.[11]

Kongres-kongres tersebut menyoroti bentuk-bentuk dimensi kejahatan terhadap pembangunan (crimes against development), kejahatan-kejahatan terhadap kesejahteraan sosial (crimes against social welfare) dan kejahatan-kejahatan terhadap kualitas lingkungan hidup (crimes against the quality of life environment). Ketiga bentuk kejahatan ini saling berhubungan erat, karena tidak dapat dipisahlepaskan keterkaitan masalah-masalah pembangunan dengan masalah-masalah kesejahteraan masyarakat dan masalah lingkungan hidup.[12]
Hubungan erat itu terlihat dalam salah satu laporan Kongres PBB ke-7 yang menyatakan bahwa, kejahatan lingkungan (ecological/environmental crimes) itu:[13]
a.       Mengganggu kualitas lingkungan hidup (impinged on quality of life);
b.      Mengganggu kesejahteraan material seluruh masyarakat (impinged on material well-being of entire societies); dan
c.       Mempunyai pengaruh negatif terhadap usaha-usaha pembangunan bangsa (had negative impact on the development efforts of nations).
Kecenderungan perhatian yang besar terhadap lingkungan hidup dalam skala internasional, menyebabkan maraknya isu tentang tindak pidana lingkungan hidup (TPLH). Hal ini dikaitkan dengan kerugian yang timbul baik dari sudut pandang social, ekonomi maupun politik akibat eksploitasi sumber daya alam, khususnya dalam hubungannya dengan masalah hak-hak asasi manusia.
Apa yang dikemukakan di atas tidak berlebihan, karena hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat (the right to healthy environment) merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang diatur di dalam Universal Declaration of Human Rights 1948 (article 25), dan diatur pula dalam International convenan on Economic, Social Rights (article 11).[14]
Untuk mengamankan dan menunjang kebijakan-kebijakan pembangunan, sekaligus melindungi kelestarian fungsi lingkungan hidup, maka diperlukan sarana hukum, baik di bidang administrasi, perdata maupun pidana. Kebijakan untuk menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dalam rangka memberikan jaminan ditaatinya ketentuan perundang-undangan di bidang pertambangan dan lingkungan hidup ini, merupakan fungsi hukum pidana sebagai administrative penal law, yang merupakan penunjang/pendukung sanksi administrasi.
Upaya penanggulangan masalah lingkungan hidup dengan hukum pidana ini ditegaskan pula dalam Kongres PBB ke-8 tahun 1990 di Havana, Cuba dan Kongres PBB ke-9 tahun 1995 di Kairo, Mesir. Di dalam Draft Resolution mengenai The Role of Criminal Law in the Protection of Nature and the Environment, antara lain dinyatakan bahwa, di samping tindakan-tindakan berdasarkan hukum administrasi dan pertanggungjawaban berdasarkan hukum perdata, juga perlu diambil tindakan-tindakan berdasarkan hukum pidana terhadap masalah lingkungan hidup. Negara-negara anggota (PBB) dihimbau untuk mengimplementasikan secara efektif hukum nasional (termasuk hukum pidana), yang berhubungan dengan perlindungan lingkungan hidup.[15]
Dalam kebijakan hukum pidana ini pada dasarnya terdapat dua masalah sentral, yakni penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan terhadap pelanggar.[16] Penganalisisan terhadap dua masalah sentral tersebut menurut Barda Nawawi Arief, tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan criminal dengan kebijakan social atau kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah-masalah di atas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan social politik yang telah ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).[17] Hal tersebut dikemukakan pula dalam tulisan Satjipto Rahardjo[18] yang menyatakan bahwa tidak dijumpai perbedaan antara fungsi hukum sebelum dan sesudah kemerdekaan. Perbedaannya terletak pada keputusan politik yang diambil dalam kedua masa tersebut. Apabila keputusan politik yang diambil setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah mengutamakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya, maka keputusan demikian harus dirumuskan dalam kaidah-kaidah hukum dan struktur hukumnya pun harus menyediakan kemungkinan untuk melakukan itu. Sudarto juga pernah mengemukakan bahwa apabila hukum pidana hendak digunakan, hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik criminal atau social defence planning dan harus merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional.[19]
Dengan berlakunya UUPPLH yang merupakan undang-undang induk atau undang-undang payung (kader-wet atau umbrella act) bagi setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur TPLH, maka ketentuan pidana yang tertuang dalam UU Minerba sepanjang menyangkut perbuatan/kegiatan yang menimbulkan perusakan dan/atau pencemaran LH mengacu pada UUPPLH.
Masih berlakunya UU Minerba secara administratif mempunyai pengaruh terhadap penerapan sanksi pidana yang diancamkan oleh UUPLH, hal ini merupakan suatu keterkaitan (bahkan ketergantungan) hukum pidana terhadap pertimbangan administratif dalam penanggulangan dampak pertambangan batubara.[20] Dengan ketergantungan ini, hanya pemegang KP yang melanggar peraturan perundang-undangan administratif di bidang pertambangan dan mengakibatkan timbulnya perusakan dan atau pencemaran lingkungan yang dapat dikenakan sanksi pidana, sedangkan bagi pemegang KP yang tidak melanggar ketentuan perundang-undangan administratif di bidang pertambangan, ketentuan pidana ini tidak bisa diterapkan.
Secara ekologis, ketergantungan ini tentu saja sangat merugikan. Karena tidak sedikit pemegang KP yang tidak melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan administrative pertambangan –dalam arti memenuhi segala kewajibannya, seperti memiliki Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), membuat Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), melakukan reklamasi, membayar pajak dan iuran, membuat laporan secara berkala dan lain sebagainya- tetapi masih menimbulkan kerusakan dan/atau tercemarnya lingkungan hidup. Terhadap pemegang KP yang demikian ketentuan pidana dalam UUPLH tidak dapat diterapkan. Secara yuridis hal ini menimbulkan kurangnya kepastian hukum dan keadilan.
Pola ketergantungan kebijakan hukum pidana terhadap kebijakan hukum administrasi pertambangan ini karena adanya fragmentasi tanggung jawab secara sektoral, dan organisasi sektoral cenderung mengejar tujuan-tujuan sektoral dan memandang dampaknya pada sektor lain sebagai efek samping. Pandangan sektoral inilah yang masih melekat pada pembuat kebijakan, sehingga timbul kekurangserasian/kekurangselarasan pada kebijakan-kebijakan yang dihasilkan. Padahal kebijakan di bidang hukum –khususnya kebijakan hukum pidana- tidak bisa berdiri sendiri dan sangat tergantung pada berfungsinya banyak hal, termasuk system administrasi dan birokrasi. Keadaan tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Komisis Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan:[21] 
‘Kelemahan pokok dalam pendekatan menurut cakupan permasalahan adalah bahwa masalah lingkungan diperlakukan sebagai masalah sektoral yang seolah-olah memiliki dunianya sendiri. Sebagai sektor, maka sering dipertentangkan dengan pembangunan sehingga orang seakan-akan dihadapkan pada pilihan antara “lingkungan” di satu pihak dengan “pembangunan” di pihak lain. Padahal lingkungan merupakan masalah yang saling kait mengkait dengan pembangunan. Sifat interdependensi yang terdapat dalam lingkungan menyebabkan sulit memperlakukannya sebagai sektor yang terisolasi dengan dunianya sendiri. Oleh karena dirasa perlu mencari cakupan permasalahan yang mempertautkan lingkungan dengan pembangunan, maka tumbuh kebutuhan untuk mengusahakan agenda alternative, yakni suatu agenda yang memungkinkan pendekatan lintas sektoral dan melarutkan pandangan lingkungan dalam pembangunan’.
Agenda yang memungkinkan pendekatan lintas sektoral tersebut hanya dapat dilakukan apabila terdapat sinkronisasi dalam kebijakan-kebijakan, khususnya kebijakan kriminalnya. Tanpa adanya sinkronisasi, maka akan sulit diperoleh kesamaan visi dalam menyelesaikan masalah lingkungan hidup yang timbul akibat kebijakan di sektor pembangunan lainnya.
Menurut Muladi, sinkronisasi sesuai dengan makna dan ruang lingkup system dapat bersifat fisik dalam arti sinkronisasi structural (structural syncronisation), dapat bersifat substansial (substantial syncronisation) dan dapat pula bersifat cultural (cultural syncronisation).[22] Jadi secara structural, kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan dampak pertambangan batubara harus sesuai/tertib secara hirarkis dengan perundang-undangan lainnya, secara substansial diperlukan ketaatan hukum pidana dalam setiap kebijakan; dan secara cultural, menjadi keharusan adanya integralisasi dan koordinasi dalam penegakan hukum pidana oleh setiap pihak yang terkait.
Dengan memperhatikan hal-hal yang tertuang dalam uraian di atas, maka selain memerlukan sinkronisasi kebijakan hukum pidana, diperlukan pula pemberdayaan upaya-upaya preventif dalam menanggulangi dampak pertambangan batubara, hal tersebut didasarkan pada antara lain:
Pertama, bahwa pengusahaan pertambangan batubara merupakan salah satu sumber pembiayaan penting bagi pembangunan, akan tetapi pengusahaan pertambangan batubara sangat potensial menimbulkan perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup serta menimbulkan korban. Sehingga diperlukan re-evaluasi dan re-orientasi terhadap berbagai ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya.
Kedua, Kebijakan hukum pidana di bidang lingkungan hidup yang tertuang dalam UUPPLH sangat tergantung pada aspek administrative dari pengusahaan pertambangan batubara. Ketergantungan secara administrative dari hukum pidana, potensial mempengaruhi efektivitas penegakan hukum pidana dalam memberikan perlindungan baik terhadap lingkungan hidup maupun korban yang timbul akibat pengusahaan pertambangan batubara.
Ketiga, Kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam perundang-undangan yang mengatur dampak lingkungan hidup dari pengusahaan pertambangan batubara seyogyanya tertib secara hirarkis perundang-undangan, taat asa, memperhatikan perkembangan pembangunan sistem hukum nasional, serta mengacu pula pada perkembangan standar-standar baku internasional untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan. Berdasarkan pada uraian di atas, maka perlu pembahasan yang lebih mendalam menyangkut bagaimana kebijakan hukum pidana dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan penanggulangan dampak lingkungan hidup, khususnya akibat pengusahaan pertambangan batubara.



[1] Arah Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II), dikutip dari Tap MPR No. II/MPR/1998
[2] Ibid. Lihat juga: Emil Salim (I), Pembangunan Berwawasan Lingkungan, LP3ES, Jakarta, Cet. Keenam, 1993, hal. 169
[3] Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan, Hari Depan Kita Bersama, PT. Gramedia, Jakarta, 1998, hal 229
[4] Lihat: Harian Kompas, Jumat, 19 Februari 2010, Bandingkan: Soetaryo Sigit (I), Industri Pertambangan Batubara Indonesia, PT. Geoservices (LTD), Bandung, 1997, hal. xid
[5] Jumlah ini kemungkinan masih akan bertambah sejalan dengan penyelidikan umum terhadap potensi tambang batubara yang terus dilakukan di berbagai tempat.
[6] GBHN 1998
[7] Undang-undang yang menggantikan Undang-undang no. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan Umum (UUPU)
[8] Lihat: Laporan Penelitian tentang Pelaksanaan Reklamasi Lahan Bekas Penambangan Batubara di Propinsi Kalimantan Selatan, oleh Nirmala Sari, 1997
[9] Lihat: John Naisbitt, Global Paradox, (terj. Budijanto), Binarupa Aksara, Jakarta, 1994, hal. 171. Lihat juga: John Salindeho, Undang-undang Gangguan dan Masalah Lingkungan, Sinar Grafika, Ujung Pandang, 1998, hal 11
[10] Emil Salim, op cit., hal 184
[11] Barda Nawawi Arief, dalam Muladi & Barda Nawawi Arief (I), Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hal. 169
[12] Ibid
[13] Ibid. Lihat juga: Muladi (II), Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Perradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1997, hal. 187
[14] United Nations, A Compilation of International Instrument, Human Rights, Vol. I (First Part), New York, 1993, hal. 8 dan 12
[15] Dokumen No. A/CONF.144/L.4 tanggal 3 September 1990 dan Dokumen No. A/CONF.169/L.2 tanggal 13 Desember 1994. Lihat juga: Barda Nawawi Arief, dalam Muladi & Barda Nawawi Arief (I), op cit., hal. 169
[16] Lihat: Barda Nawawi Arief (I), Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 32
[17] Ibid
[18] Satjipto Rahardjo, dalam Barda Nawawi Arief (I), ibid, hal. 33
[19] Sudarto (I), Hukum dan HUkum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hal 104
[20] Lihat: M.G. Faure, Dampak Ketergantungan Administratif Hukum Pidana Lingkungan: Suatu Inventarisasi Permasalahan, dalam Kekhawatiran Masa Kini, Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Lingkungan dalam Teori dan Praktek, (terj. Tristam P. Muliono), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hal. 31-38
[21] Komisi Dunia Untuk Lingkungan dan Pembangunan (The World Commission on Environment and Development), Hari Depan Kita Bersama, PT. Gramedia, Jakarta, 1988, hal. xxiii
[22] Muladi (I), Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1995, hal.1
  





 

 

BAB II

PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA

 

A.     Tinjauan Umum tentang Batubara

1.      Pembentukan Batubara

Dalam pengertian geologi, batubara termasuk batuan sedimen yang terbentuk dari akumulasi pengendapan bahan tetumbuhan (fosil) dalam kondisi tertutup dari udara, serta mengalami kenaikan temperatur dan proses pemadatan. Proses sedimentasi (pengendapan) yang berlangsung dalam suatu "cekungan" (basin) dapat berlangsung lama apabila dasar cekungan mengalami proses penurunan terus menerus. Semakin lama proses pengendapan berlangsung akan semakin tebal lapisan pengendapan (batuan ataupun batubara.) yang terbentuk.[1]
Sesuai proses pembentukannya, lapisan batubara terdapat dalam susunan formasi batuan sedimen lainnya (biasanya lempung, pasir, lempung pasiran yang sedikit berkapur dan sebagainya) yang sama‑sama terendapkan dalam satu cekungan yang sama. Dalam keadaan asli dan 'belum terganggu', letak lapisan batubara dan batu sedimen lainnya biasanya rata (tidak menunjukkan kemiringan). Proses geologi yang menimbulkan gerakan dapat menyebabkan formasi batuan dan lapisan‑lapisan batubara di dalamnya terangkat, terlipat patah, tergeser, dan lain sebagainya.
Formasi batuan sedimen dengan lapisan‑lapisan batubara yang terangkat oleh proses geologi membentuk tanah tinggi atau perbukitan. Proses erosi, pelapukan batuan, degradasi dan seterusnya menyebabkan tersingkapnya lapisan‑lapisan batuan dan batubara yang semula tidak tampak dipermukaan.
Dilihat dari sifatnya, batubara merupakan salah satu jenis bahan bakar untuk pembangkit energi,[2] disamping gas alam dan minyak bumi. Berdasarkan atas cara penggunaannya sebagai penghasil energi diklasifikasikan :
a.   Penghasil energi primer, dimana batubara langsung dipergunakan untuk industri misal­nya pemakaian batubara sebagai burner dalam industri semen dan pembangkit listrik tenaga uap; pembakaran kapur, bata, genting; bahan bakar lokomotif, pereduksi proses metalurgi; kokas konvensional; bahan bakar tidak berasap (smokelessfuels).
b.   Penghasil energi sekunder dimana batubara yang tidak langsung dipergunakan untuk industri misalnya pemakaian batubara sebagai bahan bakar padat (briket); bahan bakar cair (konversi menjadi bahan bakar air) dan gas (konversi menjadi bahan bakar gas); bahan bakar dalam industri penuangan logam (dalam bentuk kokas). Selain itu batubara dipergunakan bukan sebagai bahan bakar antara lain sebagai reduktor pada peleburan timah, pabrik ferro nikel, industri besi dan baja; pemumian pada industri kimia (dalam bentuk karbon aktif); pembuatan kalsium karbida (dalam bentuk kokas atau semi kokas).
Berdasarkan dari mutunya/tingkatannya batubara dikelompokkan menjadi kelas antrasit, bitumine, subbitumine dan lignit. Perhitungan cadangan dalam Tabel I berikut ini termasuk cadangan terukur, teruntuk (terindikasi, tereka dan hipotesis).

Tabel 1

Cadangan Batubara di Indonesia (dalam juta ton)

No

Daerah

Terukur

Terunjuk

Tereka

Hipotesis

Jumlah

A.

Sumatera
2.887.881
11.165.455
2.279.911
8.342.990
24.676.237

1.

Sumatera Utara

1.272.000

2.000

433.000

1.707.000

2.

Sumatera Tengah

717.820

2.370.939

58.000

1.019.000

4.165.759

3.
Sumatera Selatan
2.143.024
7.505.500
2.204.000
6.890.990
18.743.514

4.

Bengkulu

27.037

17.016

15.911

59.964

B.

Kalimantan

1.985.613

1.494.268

3.789.503

4.231.241

11.500.625

1.

Kalimantan Selatan

1.112.730

668.219

1.848.277

3.629.226

2.

Kalimantan Barat

1.801

68.921

211.477

1.837.900

2.120.099

 

3.

Kalimantan Tengah

 

871.082

 

 

 

436.310

 

436.310

4.

Kalimantan Timur

 

757.128

1.729.749

1.957.031

5.314.990

C.

Jawa

12.148

28.616

19.953

60.717

D.

Sulawesi

5.476

12.169

6.616

24.261

E.

Irian Jaya

79.500

3.614

83.114

 

Jumlah
4.891.118
12.780.008
6.079.644
12.594.184
36.344.594

 

Produksi 1965‑1993
75.000

 

 

 

 

 

Jumlah Seluruhnya

4.966.118

12.780.008

6.079.644

12.594.184

36.344.954

Sumber : Direktorat Batubara vide Ambyo (1993)

 


      2. Peranan Batubara di Indonesia


Masyarakat pemakai sumber daya energi di Indonesia terutama yang menggunakan energi untuk keperluan pembakaran dalam jumlah besar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan industri semen, mulai menyadari bahwa penggunaan batubara mempunyai kelebihan.[3] Kelebihan tersebut antara lain adalah biaya operasi yang dapat ditekan karena harga batubara (per satuan energi) yang lebih murah daripadajenis energi yang lain.

Masyarakat industri mulai sadar akan manfaat batubara dalam melaksanakan kegiatannya. Sesudah terjadi krisis minyak pada tahun 1973/1974 yang melambungkan harga minyak babak pertama (US$. 10 ‑ US$.12/bbl) yang kemudian diperkuat lagi dengan krisis minyak kedua pada waktu pecah perang Iran‑Irak 1979 menyebabkan harga minyak melambung sampai US$.40/bbl.

Dengan terjadinya krisis minyak, dunia mulai sadar bahwa konsumsi energi terlalu besar bertumpu pada minyak dan hal ini tentu saja tidak mengenakkan, sehingga diperlukan energi alterriatif Energi alternatif yang dimaksud bukan saja terdiri dari batubara tetapi sementara itu sumber daya gas alam, dan nuklir telah pula dimanfaatkan dalam jumlah yang tidak sedikit dan juga dikembangkan tenaga geotermal dan tenaga tenaga yang dapat diperbaharui. Di dalam pemilihan energi alternatif yang dapat menggantikan sebagian besar peranan yang diambil oleh minyak terutama dalam situasi dan kondisi Indonesia, diantara sekian energi alternatif yang tersedia, batubara akan mengambil peranan yang cukup besar.

Beberapa faktor obyektif yang mendukung asumsi tersebut adalah:[4]

a.    Diantara bahan bakar hidrokarbon yang terdapat di dunia (juga di Indonesia) Batubara merupakan bahan yang paling melimpah;

b.    Batubara dapat diusahakan/disediakan sampai jauh di abad ke 21 bahkan abad ke 22;

c.    Penambangan dan penggunaan batubara merupakan teknologi yang sudah dikenal dan dapat diandalkan;

d.    Batubara dapat diangkut dan ditimbun dengan mudah;

e.    Batubara merupakan bahan bakar murah, bahkan kemungkinan besar yang termurah dihitung per satuan energi.

 


3. Sejarah Pertambangan Batubara


Pertambangan batubara di Indonesia dimulai pada tahun 1849 di Pengaron, Kalimantan Selatan. ATV Oost Borneo Maatchappij suatu perusahaan swasta memulai kegiatan pada tahun 1888 di Pelarang, sebelah tenggara Samarinda. Menjelang Perang Dunia I ada beberapa perusahaan kecil yang bekerja di Kalimantan Timur. Di Sumatera kegiatan pertama untuk melakukan penambangan batubara secara besar‑besaran dimulai tahun 1880 di lapangan Sungai Durian di Sumatera Barat. Usaha ini gagal karena kesulitan pengangkutan. Setelah penyelidikan seksama pada tahun 1868‑1873, yaitu setelah ditemukannya lapangan batubara pada tahun 1868 dibukalah pada tahun 1892 Tambang Batubara Ombilin. Di Sumatera Selatan, penyelidikan antara tahun 1915‑1918 menghasilkan Pembukaan Tambang Batubara Bukit Asam ada tahun 1919. Tambang Batubara Ombilin dan Bukit Asam segera menjadi dua penghasil batubara terpenting di Indonesia.[5]

Antara tahun‑tahun 1923‑1927, kegiatan penyelidikan terhadap batubara Indonesia mengambil bentuk lain, yaitu usaha untuk membuat kokas dari batubara Indonesia sehubungan dengan keinginan sementara kalangan pengusaha dan Pemerintah (Hindia Belanda) untuk mengembangkan industri besi baja di Indonesia. Penyelidikan ini tidak memberikan hasil yang diharapkan, diperoleh petunjuk bahwa pada umumnya batubara Indonesia tidak memiliki sifat‑sifat meng‑kokas, tetapi sebaliknya cukup baik sebagai bahan bakar karena kadar abunya cukup rendah, kadar bahan terbang (volatile matter) tinggi, nilai kalori cukup tinggi sedang kadar belerangnya rata‑rata sangat rendah.[6]

Antara tahun‑tahun 1943‑1945 kita ketahui bahwa Pemerintah Pendudukan Jepang telah sempat pula mengembangkan, atau mencoba mengembangkan, beberapa tambang batubara baru, antara lain di Pulau Laut, Jawa Barat, Sumatera Tengah dan lain sebagainya.

Setelah perang selesai, terbukti bahwa usaha‑usaha masa perang ini sesungguhnya tidak satupun yang ekonomis. Setelah Perang Dunia II berakhir, pasaran bagi batubara Indonesia menyusut dengan cepat. Ekspor menurun dan kemudian berhenti, sedang kapal­kapal laut kebanyakan tidak lagi menggunakan tenaga uap. Produksi tambang‑tambang batubara yang adapun menurun terus, dan keadaan perusahaan semakin mundur.

Antara tahun 1954‑1965 Pemerintah masih mengadakan penyelidikan kokas secara besar‑besaran dalam rangka Proyek Besibaja, tanpa memberikan hasil‑hasil baru.. Sementara itu Rencana Pembangunan Semesta I yang tersusun dalam tahun 1960 masih mencanangkan proyek pengembangan kembali batubara Indonesia secara terintegrasi (khususnya dengan usaha peningkatan perlistrikan dan perkeretaapian). Tetapi rencana ini kandas di jalan, dan pola pengembangan batubara yang telah tersusun ketika itu menjadi terlupakan sama sekali karena dengan harga minyak bumi yang begitu murah ketika itu (US$.l per barel), sulit bagi batubara untuk mendapatkan kembali pemasarannya.

Jangka waktu antara 1966‑1973 merupakan periode kemunduran besar‑besaran bagi pertambangan batubara Indonesia. Pada tahun 1970 tiga tambang batubara masih bekerja, yaitu Tambang Batubara Ombilin di Sumatera Barat, Bukit Asam di Sumatera Selatan dan Mahakam di Kalimantan Timur disatukan dalam PN. Batubara yang didirikan berdasarkan atas Peraturan pemerintah Nomor 23) tahun 1968. Ketiga tambang ini dikenal pula sebagai Unit I, Unit II dan Unit III.

 


4.      Hakekat dan Ciri Usaha Pertambangan Batubara


Pada dasarriya hakekat dan ciri usaha pertambangan bersifat khas, karena

1.    Lokasi, cara dan juga umur pengusahaan sudah ditentukan oleh proses alam sebelumnya;

2.    Risiko usaha tinggi, khususnya pada tahapan survei dan eksplorasi;

3.    Tidak "quick yielding ", memelukan tahap pra produksi antara 5 ‑ 10 tahun;

4.    Pada umumnya padat modal, harus menggunakan cara dan teknologi canggih untuk dapat bersaing;

5.    Umur usaha terbatas oleh besar kecilnya cadangan mineral/bahan tambang yang tidak dapat ditumbuhkan ("depleting asset');

6.    Pada umumnya produk usaha tambang dijual di pasaran intemasional dan harus menghadapi persaingan global;

7.    Fluktuasi harga produk tambang di pasaran internasional sangat tidak menentu, serintg berlangsung berkepanjangan dan menimbulkan akibat parah pada dunia usaha.

Perizinan di bidang pertambangan dikaitkan dengan pemberian Kuasa Pertambang­an (KP). Istilah KP untuk pertama kali digunakan dalam UU No. 37 Prp tahun 1960. Undang‑undang ini mencabut Indiesche Mijnwet (Stb 1899/214 jo. Stb 1906/434). Peraturan pelaksanaannya yaitu Mijn Ordonantie 1930 (Stb 1930/38) tetap berlaku.

Kuasa Pertambangan (KP) menggantikan pengertian konsesi atas dasar Indiesche Mijnwet, karena hak yang ada pada pemegang konsesi adalah kuat, tidak sesuai dengan ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang‑undang Dasar 1945. Dengan pernyataan sebagaimana tercantum dalam pasal 33 ayat (3) tersebut, maka semua bahan‑bahan galian dikuasai oleh Negara dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar‑besar kemakmuran rakyat.[7]

Di dalam penjelasan Pasal 2 UUPU berkaitan dengan istilah KP,[8] dikemukakan bahwa perbedaan pokok antara pengertian konsesi lama dengan KP ialah bahwa yang diberikan dengan KP hanyalah kekuasaan untuk melaksanakan usaha pertambangan kepada si pemegang KP. Dalam Keputusan menteri yang memberikan KP dijelaskan sampai Seberapajauh pemberian KP tadi serta usaha pertambangan apa yang diliputi oleh KP itu.

Jadi yang dimaksud dengan KP adalah wewenang yang diberikan olch Pemerintah kepada Badan/Perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Usaha pertambangan hanya dapat dilakukan oleh Badan/Perorangan apabila kepadanya telah diberikan KP.

Bentuk‑bentuk Kuasa Pertambangan (KP):


1.  SK Penugasan Pertambangan, diberikan kepada Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Pertambangan dan Energi;

2.   SK. Perjanjian Kontrak Karya, diberikan kepada Badan Usaha PMA/PMDN setelah berkonsultasi dengan DPR, untuk semua jenis bahan galian kecuali batubara, migas dan bahan radioaktif,

3.      SK Pemberian Kuasa Pertambangan, diberikan oleh Direktur Jenderal Pertambangan Umum untuk dan atas nama Menteri Pertambangan dan Energi kepada Perusahaan Negara/Daerah/Badan/Koperasi/Perorangan untuk bahan galian Gol. A dan B;

4.  SK Ijin Pertambangan Rakyat, diberikan oleh Menteri Pertambangan dan Energi kepada rakyat setempat, untuk usaha pertambangan secara kecil‑kecilan dengan luas terbatas atau diberikan oleh Gubemur kepada rakyat setempat, untuk usaha kecil­kecilan, peralatan sederhana dan luas terbatas;

5.  SK Ijin Pertambangan Daerah, diberikan oleh Gubemur/Dinas Per‑tambangan kepada Perusahaan Negara/Daerah/Koperasi/Badan Usaha/Perorangan untuk mengusahakan bahan galian Gol. C.

Jenis‑jenis Kuasa Pertambangan (KP) terdiri dari:


1.  KP Penyelidikan Umum, adalah penyelidikan secara geologi umum, geoftsika, di daratan, perairan dan udara, segala sesuatu dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tanda‑tanda adanya bahan galian pada umumnya;

2. KP Eksplorasi, adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti/seksama adanya dan sifat letakan bahan galian. Kegiatan tersebut termasuk kegiatan Studi Kelayakan, Studi AMDAL dan persiapan pembangunan fasilitas eksploitasi;

3. KP Eksploitasi, adalah usaha pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya

4.  KP Pengolahan dan Pemurnian, adalah pekerjaan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk memperoleh unsur‑unsur yang tedapat pada bahan galian itu

5.  KP Pengangkutan dan Penjualan, adalah usaha pemindahan dan penjualan bahan galian dari tempat eksploitasi atau tempat pengolahan/pemumian.

 


B. Kebijakan Pengembangan Pertambangan Batubara



1.        Kebijakan Pertambangan di Indonesia


Kebijakan pertambangan Indonesia memberikan kesempatan dan dorongan cukup besar kepada modal swasta nasional maupun asing untuk turut serta mengembangkan usaha pertambangan di Indonesia.

Peraturan dasar yang mengatur usaha pertambangan di Indonesia adalah:

a.     Undang‑undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan‑ketentuan Pokok Pertambangan; yang telah dirubah dan diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba)

b.   Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang‑undang Nomor 11 tahun 1967.[9]

Pokok‑pokok terpenting dalam undang‑undang pertambangan Indonesia dapat dirangkum sebagai berikut:

a.    Segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia adalah kekayaan nasional Yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besamya untuk kemakmuran rakyat.

b.    Bahan galian dibagi atas tiga golongan, yaitu Golongan A (strategis), Golongan B (vital) dan Golongan C (Yang tidak termasuk strategis maupun vital). Batubara termasuk bahan galian Golongan A (strategis).
c.  Pada dasamya, pelaksanaan penguasaan negara dan pencaturan usaha pertambangan untuk bahan galian Got. A dan B dilakukan oleh menteri yang membidangi tugas bidang pertambangan.
d.  Usaha bahan galian Got. A hanya dapat dilakukan oleh instansi pemerintah dan/atau perusahaan milik negara.


e.       Usaha pertambangan dapat meliputi kegiatan‑kegiatan:

1)      Penyelidikan umum;

2)      Eksplorasi;

3)      Eksploitasi;

4)      Pengolahan dan pemurnian;

5)      Pengangkutan dan penjualan.

f.   Pada dasamya usaha pertambangan bahan galian Got. A dan B hanya dapat dilakukan olch perusahaan atau perorangan berdasarkan Kuasa Pertambangan (KP) Yang diberikan dengan surat keputusan menteri. Usaha pertambangan bahan galian Got. C dapat dilakukan dengan Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD).

g.  Menteri dapat menunjuk pihak lain, termasuk swasta nasional maupun swasta asing sebagai kontraktor guna melaksanakan pekerjaan yang belum atau tidak dapat ditangani sendiri oleh instansi pemerintah atau perusahaannegara pemegang Kuasa Pertambangan; dalam hubungan ini pelaksanaan pekerjaan oleh kontraktor didasarkan pada Perjanjian Karya. Apabila usaha pertambangan yang dilaksanakan olch kontraktor menyangkut eksploitasi bahan galian Gol. A, atau Perjanjian Karyanya berbentuk penanaman modal asing, maka Perianjian Karya tersebut mulai berlaku setdah disahkan oleh pemerintah sesudah berkonsultasi dengan DPR.

h.  Untuk memberikan kesempatan lebih luas kepada pihak swasta nasional dan rakyat secara perorangan, masih dibuka kesempatan dan pengecualian untuk pengembangan cadangan berukuran terbatas sebagai berikut :

1)   Bahan galian Gol. A dapat pula diusahakan oleh pihak swasta nasional yang memenuhi syarat, apabila memenuhi pendapat menteri berdasarkan per‑timbangan ekonomi dan penambangan, cadangan bahan galian tersebut akan menguntungkan bagi negara apabila diusahakan oleh swasta;

2)   Dengan memperhatikan kepentingan daerah khususnya dan negara pada umumnya, menteri dapat menyerahkan pengaturan usaha penambangan bahan galian vital tertentu kepada pemerintah daerah tingkat I tempat terdapatnya bahan galian itu;

3)  Apabila jumlah cadangan bahan galian Gol. A tertentu sedemikian kecilnya sehingga menurut pendapat menteri akan lebih menguntungkan jika diusahakan secara sederhana atau kecil‑kecilan, maka cadangan bahan galian tersebut dapat diusaha­kan secara pertambangan rakyat, yang perijinannya diatur oleh pemerintah daerah.

i.       Pihak yang berhak atas muka tanah diwajlbkan mengijinkan pemegang Kuasa Pertambangan untuk melaksanakan usahanya, setelah ada kemufakatan mengenai ganti rugi hak tanah yang bersangkutan.

j.        Pemegang KP wajib membayar iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran eksploitasi dan/atau pembayaran lain yang berhubungan dengan KP.
k. Apabila selesai melakukan usaha pertambangan, pemegang Kuasa Pertambangan wajib mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan penyakit atau bahaya bagi masyarakat sekitamya.

l.    Jangka waktu berlakunya KP (sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 11 tahun 1969 tentang Pelaksanaan UU No. 11/ 1967) adalah:

1)    untuk KP Penyelidikan Umum: selama‑lamanya satu tahun dan dapat diperpanjang selama satu tahun lagi ;

2)   untuk KP Eksplorasi: selama‑lamanya tiga tahun, dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali, masing‑masing untuk satu tahun ;

3)     untuk KP Eksploitasi : selama‑lamanya 30 tahun dan dapat diperpanjang dua kali, masing‑masing untuk 10 tahun.

Dengan terbitnya Undang‑undang Nomor 4 tahun 1982 (UULH) yang diperbaharui dengan Undang‑undang Nomor 23 tahun 1997 (UUPLH), dan diperbaharui kembali dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), maka rencana eksplorasi dan eksploitasi pertambangan yang akan mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup harus dilengkapi dengan "Analisa Mengenai Dampak Lingkungan" (AMDAL), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL).

  2.        Kebijakan Pengembangan Pengusahaan Pertambangan Batubara (PPBB)


            Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pertambangan batubara di Indonesia sempat berkembang dengan baik sejak akhir abad ke 19 sampai pecah perang Pacific (1942). Meskipun setelah selesai Perang Dunia II, beberapa tambang sempat direhabilitasi, tetapi usaha pertambangan batubara terus mengalami kemunduran sejak akhir tahun 1950-­an sampai dengan pertengahan tahun 1970‑an.

            Kemunduran usaha pertambangan batubara ini antara lain disebabkan oleh:

a.    Saingan dari bahan bakar minyak yang sangat murah;

b.    Terus berkurangnya pasaran batubara di indonesia;

c.  Kurangnya pengetahuan kita mengenai potensi cadangan batubara Indonesia (terutama yang ada di   kalimantan);

d.    Tidak adanya kebijaksanaan diversifikasi sumber energi di Indonesia;

e.   Kurangnya perhatian pemerintah dan tiadanya minat investor (khususnya dari Iuar) untuk mengembangkan batubara Indonesia.

Krisis minyak bumi tahun 1973/1974 merupakan titik awal perubahan perkembangan batubara Indonesia. Berturut‑turut terjadi perkembangan berikut:

a.    Harga bahan bakar minyak naik tajam, batubara mampu menyaingi harga minyak bumi;

b.    Perusahaan asing Shell Mijnbouw NV masuk Indonesia dan mengadakan kontrak bagi hasit dengan PT. Tambang Batubara;

c. Terbitnya Instruksi Presiden RI dalam tahun 1976 yang menginstruksikan Menteri Perindustrian dan Pekerjaan Umum untuk memprioritaskan pemakaian sumber energi batubara (untuk industri dan PLTU).

Mengacu pada UUPU, kebijakan pengembangan pertambangan batubara di Indonesia dapat dirangkum sebagai berikut:

a.  Daerah‑daerah cadangan batubara berpotensi besar dijadikan cadangan negara dan dikembangkan sendiri oleh pemerintah cq. Badan Usaha Milik Negara (BUNfN) ataupun oleh BUMN bekerjasama dengan kontraktor swasta (dalam rangka PMA ataupun PMDN);

b.   Daerah‑daerah cadangan batubara. berpotensi kecil ataupun terbatas (sampai kurang lebih 10 juta ton) dapat dikembangkan oleh swasta nasional, koperasi ataupun penambangan rakyat;

c.   Usaha pertambangan batubara oleh pemerintah disatukan dalam satu BUNIN saja sejak tahun 1990, yaitu PT. Tambang Batubara Bukit Asam;

d.    BUMN maupun pihak‑pihak swasta bebas melakukan pemasaran dan ekspor batubara;

e. Batubara dipacu pengembangannya untuk juga menjadi penghasil devisa, disamping peningkatan peranannya sebagai sumber energi di dalam negeri;

f.   Pengembangan batubara. yang memerlukan pembangunan sarana angkutan darat dan air berkapasitas besar, perlu dikaitkan dengan usaha pembukaan daerah dan pengembangan wilayah.

Dalam bidang penelitian, kegiatan yang berkaitan. dengan perbatubaraan antara lain ditujukan pada:

a.    Pemakaian batubara, sebagai sumber energi untuk industri kecil dan rumah tangga;

b.    Mengatasi masalah kerusakan lingkungan dan bahaya akibat pertambangan batubara.

Kebijaksanaan pengembangan batubara Indonesia yang cukup baik akan mampu memacu perkembangan batubara dengan cepat karena:

a.    Potensi cadangan batubara Indonesia sangat besar;

b.    Dengan kadar abu dan kadar belerangnya. yang rendah, batubara Indonesia berpeluang besar memasuki pasaran intemasional secara meluas;

c.    Biaya produksi batubara, Indonesia cukup murah, antara lain karena rendahnya upah tenaga kerja, sistem penambangan secara terbuka, lokasi kebanyakan tambang, yang berdekatan dengan sungai besar atau pantai, serta iklim/cuaca yang memungkinkan pelaksanaan kegiatan pertambangan berlangsung sepanjang tahun;

d.    Pasaran batubara di dalam negeri memiliki prospek cerah, khususnya dengan rencana pengembangan proyek‑proyek PLTU berukuran besar;

e.    Stabilitas politik dalam negeri cukup mendukung perkembangan usaha.

Menghadapi kebutuhan pengembangan batubara secara besar‑besaran dikemudian hari, Indonesia masih perlu menyiapkan kebijaksanaan yang bersifat menyeluruh dan terpadu mencakup seluruh proses pemanfaatan batubara, dari sejak eksplorasi dan eksploitasi, pengangkutan, penumpukan/penyimpanan, pemasaran, sampai dengan penggunaannya.

Dengan terbitnya Keppres No. 75 tahun 1996, maka penanaman modal swasta (PMA maupun PMDN) dalam bidang usaha pertambangan batubara tidak lagi didasarkan pada kerjasama antara pihak investor swasta dengan BUMN (d.h.i. PT. Bukit Asam) tetapi antara pihak swasta langsung dengan pemerintah. Pola kontraknya tidak lagi berbentuk Kontrak Kerjasama Pengusahaan Batubara (KKSPB) melainkan merupakan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Keputusan Presiden No. 75/1996 tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) pada intinya dapat dirangkum sebagai berikut:

a.    Pola perjanjian adalah Kontrak Karya antara investor swasta sebagai kontraktor dan pemerintah sebagai prinsipal;

b.    Kontraktor bertanggungjawab penuh atas pengusahaan dan pengelolaan, serta menanggung semua biaya dan resiko proyek;

c.    Impor barang modal dan bahan bebas bea masuk, pungutan impor dan bea balik nama sesuai peraturan perundangan yang berlaku;

d.    Kontraktor wajib membayar kepada pemerintah:

1)      13,5% dari harga hasil produksi batubara;

2)      Pajak‑pajak sesuai peraturan yang berlaku;

3)      Pungutan‑pungutan daerah yang disahkan oleh Pemerintah Pusat;

4)      Biaya administrasi umum;

5)      Iuran tetap berdasarkan luas wilayah Kontrak Karya Pertambangan.

Keppres No. 75/1996 ini dilengkapi dengan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 680.K/29/RI.PE/1997 tentang Pelaksanaan Keppres No. 75/1996, yang pada intinya memuat hal‑hal sebagai berikut:

a.   Beralihnya urusan mengenai pengusahaan pertambangan batubara dari PT. Tambang Batubara Bukit Asam kepada Menteri Pertambangan dan Energi dan dilaksanakan oleh Dirjen Pertambangan Umum;

b.  Wilayah Kuasa Pertambangan berubah menjadi Wilayah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara;

c.  Produksi batubara bagian pemerintah, baik yang telah diterima maupun yang belum akan diterima PT. Tambang Batubara Bukit Asam, disetorkan langsung ke rekening Kas Negara pada Bank Indonesia.

 


3. Jaminan Reklamasi Lahan Bekas Penambangan Batubara


Salah satu kewajiban pemegang Kuasa Pertambangan berdasarkan UUPU dan peraturan‑peraturan pelaksanaannya adalah bahwa apabila telah selesai melakukan kegiatan penambangan, maka pemegang KP wajib mengembalikan lahan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat sekitamya.

Mengacu pula pada Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tanggal 17 Juli 1995 tentang Pencegahan dan Penangaulangan perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum, dimana dalam Pasal 29 ditentukan bahwa untuk menjamin terlaksananya reklamasi secara tepat tanpa membebani iklim investasi di bidang pertambangan umum, maka dikeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Pertambangan Umum Nomor 336.K/271/DDPJ/1996 tentang Jaminan Reklamasi.

Keputusan Dirjen Pertambangan Umum mengenai Jaminan Reklamasi tersebut di atas, pada intinya dapat dirangkum sebagai berikut:

a.   Jaminan reklamasi adalah dana yang disediakan oleh perusahaan pertambangan sebagai jaminan untuk melakukan reklamasi di bidang pertambangan umum;

Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata keguanaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan umum agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai per‑untukannya;

Jaminan reklamasi dikenakan bagi seluruh perusahaan per‑tambangan pada tahap penambangan atau operasi produksi

b. Jumlah jaminan reklamasi ditetapkan berdasarkan biaya reklamasi sesuai dengan Rencana Tahunan Pengelolaan Lingkungan (RTPL) untuk angka waktu lima tahun,

c.   Bentuk jaminan reklamasi dapat berupa deposito berjangka yang ditempatkan pada bank pemerintah atas nama Diden qq. Perusahaan. yang bersangkutan dan/atau "accounting reserve dan/atau jaminan pihak ketiga.

d.  Jaminan reklamasi harus ditempatkan sebelum melakukan kegiatan penambangan dan perusahaan‑yang bersangkutan harus mengajukan kepada Dirjen untuk jaminan yang akan ditempatkan, yang akan menerbitkan Surat Perintah pelaksanaan Jamman Reklamasi.
e.     Pencairan dana jaminan reklamasi dapat dilakukan sesuai tahapan pelaksanaan reklamasi, yaitu:

1.    60% setelah selesai :

a.      Pengisian kembali lahan bekas tambang dan penataan lahan baGI pertambangan yang kegiatannya dilakukan. pengisian kembali; atau
b.      Bagi kegiatan pertambangan yang kegiatannya tidak dapat dilakukan pengisian kembali, penataan kegunaan lahan dilakukan sesuai dengan peruntukannya sebagaimana disepakati dalam RTPL.

2. 20% setelah selesai:

                       a.     Melakukan revegetasi kecuali ditentukan lain;

                       b.     Pekerjaan sipil dan/atau kegiatan reklamasi lainnya sebagaimana disepakati dalam RTPL.

3. 20% setelah kegiatan reklamasi dinyatakan selesai oleh Direktur Jenderal.

f. Bagi perusahaan pertambangan yang telah mendapatkan penghargaan lingkungan, maka kepada perusahaan tersebut akan diberikan 50‑10 keringanan dari besarnya jumlah jaminan reklamasi yang telah ditetapkan untuk satu tahun berikutnya.
g.     Sanksi‑sanksi:

1) Dirjen memberikan peringatan secara tertulis kepada perusahaan pertambangan apabila tidak menunjukkan kesungguhan, gagal atau lalai dalam melaksanakan reklamasi sesuai dengan RTPL;

2)  Apabila dalam jangka waktu 60 hari setelah menerima surat peringatan, perusahaan pertambangan tersebut tidak melaksanakan reklamasi, Dirjen melakukan tindakan sebagai berikut:

a.    Menunjuk pihak ketiga untuk menyelesaikan reklamasi dengan menggunakan sebagian atau seluruh jaminan reklamasi yang ditempatkan;

b.    Menghentikan atau menutup sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangannya.

Perusahaan pertambangan yang kegiatan usaha pertambangannya dihentikan karena lalai atau gagal melaksanakan kewajiban reklamasi maka perusahaan pertambangan dan pemegang saham mayoritas tidak diberikan lagi kesempatan untuk berusaha di bidang pertambangan umum



[1] Soetaryo Sigit,(1), Industri Pertambangan Batubara Indonesia, PT. Geoservices (LTD), Bandung,1997, hal. 3
[2] Secara umum, nilai kalor yang dihasilkan 1 ton batubara equivalent dengan 3 bbl minyak burni. Lihat: Sukandarrumidi, Op cit. Hat. 25
[3] Peranan batubara dibandingkan dengan sumber energi yang lain sarnpai pada akhir tahun 1984 masih sangat rendah, ialah hanya 0,51% dari total konsurnsi energi, sedangkan pada tahun 1994 telah meningkat menjadi sekitar 8,8%.
[4] Ibid., hal. 3‑4
[5] Ibid., hal. 7
[6] Soetaryo Sigid, (11), Kemungkinan Peranan Batubara dalam Pola Pengembangan Energi Nasional, Jakarta, 27 Juji 1974.
[7] Koesnadi Hardjasoemantri, (11), Hukum Tata Lingkungan, Edisi keenam Cetakan keduabelas, Gajahmada University Press, 1996, hal. 146
[8] Dalam UU Minerba (UU No.4/2009) istilah Kuasa Pertambangan(KP) dirubah menjadi Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Dalam Aturan Peralihan UU Minerba, disebutkan bahwa KK dan PKP Batubara yang telah ada sebelum UU ini, masih tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak.  
[9] Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan UU No. 4/2009 belum ada.






BAB III

DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP DAN KORBAN YANG TIMBUL AKIBAT PENGUSAHAAN PERTAMBANGAN BATUBARA  (PPB)

 

A.   Tinjauan Umum tentang Dampak Lingkungan Akibat PPB

Embargo minyak dari negara‑negara Arab (OPEC) pada tahun 1973 sebagai salah satu akibat dari Perang Teluk, menyentakkan seluruh dunia dan menimbulkan kesadaran bahwa minyak bukanlah bahan bakar yang tidak terbatas jumlahnya, padahal minyak merupakan sumber energi utama yang menyangkut kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan. Karena itu kelangkaan dan kenaikan harga minyak sangat mempengaruhi perekonomian hampir seluruh negara. (baik negara maju maupun negara berkembang), dan pada gilirannya mengguncang seluruh sistem perekonomian internasional.[1]

Kesadaran akan vitalnya energi, menimbulkan gejala bahwa, orang bersedia untuk sedikit atau banyak mengorbankan lingkungan hidup (LH). Hal ini tidak lain karena makin banyak orang memandang permasalahan LH bersifat abstrak, dan kerusakan/ pencemaran LH tersebut akibatnya tidak dirasakan seketika. Misalnya di Amerika Serikat, salah satu akibat embargo minyak ialah dikendorkannya 'baku mutu' oleh Nixon. Dengan pengendoran itu, bahan bakar yang mengandung lebih banyak belerang dapat digunakan, padahal pembakaran bahan bakar ini akan menaikkan gas CO2 dalam udara. Hal ini juga dapat tejadi di Indonesia. Eksploitasi bahan bakar akan terus meningkat termasuk batubara. yang banyak mengandung belerang.[2]
Di Indonesia, pengusahaan pertambangan batubara telah memperlihatkan hasil positif khususnya yang berhubungan dengan peningkatan perekonomian baik tingkat nasional, daerah, maupun dalam skala yang lebih kecil, yakni peningkatan penghasilan masyarakat di sekitar lokasi penambangan karena terbukanya kesempatan kerja dan peluang berusaha. Namun sudah menjadi hukum alam, setiap kegiatan manusia selalu menimbulkan akibat positif dan negatif. Demikian pula dengan pengusahaan pertambangan batubara ini.
Disamping dampak positif yang ditimbulkannya, maka dampak negatif juga menyertainya, khususnya yang berhubungan dengan kerusakan lingkungan. Pengusahaan pertambangan batubara mencakup berbagai tahap kegiatan, yang terdiri dari: (a) tahap penambangan, pencucian dan penumpukan; (b) tahap pengangkutan dan penimbunan‑penyimpanan; dan (c) tahap penggunaan/pemanfaatan.

Dari keseluruhan rangkaian kegiatan usaha pertambangan batubara, kegiatan pada tahap penambangan merupakan kegiatan yang paling besar menyebabkan kerusakan pada lingkungan, karena kegiatan ini pada hakekatnya adalah membongkar tanah dan batuan untuk mengambil sesuatu yang berharga (batubara) yang terkandung di dalamnya.

            Teknik penambangan juga turut menentukan tingkat kerusakan lingkungan. Sistem dan cara penambangan secara umum dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:

1. Tambang Terbuka (surface mining), yaitu sistem penambangan endapan bahan galian yang pelaksanaannya berbatasan langsung dengan udara bebas atau atmosfir. Sistem penambangan ini dibagi lagi berdasarkan jenis endapan bahan galian yang dikedakan yaitu:

a.    Open pit‑mining, untuk penambangan endapan bijih (ore) seperti batubara;

b. Alluvial mining, untuk penambangan endapan‑endapan alluvial, misainya: timah sekunder, emas sekunder, pasir besi dan lain‑lain;

c. Strip mining, untuk endapan sedimen yang letak endapannya kurang lebih mendatar, misaInya: batubara, garam batu dan. lain‑lain;

d.    Quaary, untuk endapan bahan galian industri, yaitu batu gamping, batu kalsit, marmer dan lain‑lain.

2.  Tambang bawah tanah, yaitu sitem penambangan yang seluruh aktivitas kerjanya tidak berhubungan secara langsung dengan udara atau atmosfir. Pada garis besarnya penambangan dengan sistem ini terdiri dari:

a.    Sistem terowongan vertikal (ke bawah)

b.    Sistem terowongan horizontal (mendatar) ; dan

c.    Sistem kombinasi terowongan vertikal dan horizontal.

3.  Tambang bawah air, yaitu sistem penambangan untuk endapan bahan galian yang seluruhnya terdapat di bawah permukaan air. Berdasarkan lokasi endapan bahan galian, dibagi menjadi: (1) Bawah permukaan air darat (sungal, rawa, dangu dan lain‑lain) dan (2) Bawah permukaan laut (dangkal, dalam).

            Berdasarkan data dari hasil penyelidikan umum dapat diketahui dimana terdapatnya dan bagaimana cara terbentuknya bahan galian, maka dapat ditentukan pula bagaimana cara penambangan yang paling tepat. Dalam pengusahaan penambangan batubara, sistem penambangan yang dipakai pada umumnya adalah sistem tambang terbuka khususnya open pit‑mining.
Dengan adanya kegiatan penambangan batubara, terjadi perubahan‑perubahan terhadap kualitas tanah, air dan udara, seperti morfologi dan bentang alam; erosi tanah; kualitas air; dan kualitas udara baik dalam skala lokal maupun global.[3]

Dampak lingkungan yang timbul akibat pengusahaan pertambangan batubara pada setiap tahapannya adalah sebagai berikut:

1.    Tahap penambangan, dampak yang timbul antara lain:

  a.    Kerusakan dan perubahan muka tanah;

b.    Debu tanah dan debu batubara;

c.    Pembuangan/ penimbunan tanah kupasan/galian;

d.    Erosi dan pembuangan air dari tambang;

e.    Pembuangan air limbah cucian batubara;

f.      Gangguan kebisingan suara;

g.    Kesehatan dan keselamatan kerja tambang;

h.    Kesehatan masyarakat di sekitar lokasi penambangan;

i.      Bahaya kebakaran batubara.

2.        Pada tahap pengangkutan dan penumpukan‑penyimpanan, dampak yang timbul antara lain:

·      Ceceran batubara dan pengotoran. lingkungan

·      Bahaya kebakaran. batubara

·      Bahaya lalu lintas angkutan

·      Gangguan ketenangan lingkungan

3. Sedangkan pada tahap penggunaan/pemakaian, dampak yang timbul antara lain:

·        Pelepasan abu ke udara (fly ash)

·        Pengotoran udara dan kesehatan lingkungan

·        Emisi gas'yang mengandung SOx, NOx­ dan C0­­2

·        Hujan asam, kerusakan. fauna dan flora

·        Perubahan iklim (efek rumah‑kaca)

·        Pembuangan/penumpukan debu sisa pembakaran.

Dari uraian di atas, dapat dirinci juga komponen lingkungan hidup[4] yang terkena dampak akibat kegiatan pengusahaan pertambangan batubara. Komponen‑komponen tersebut meliputi:

1.  Fisik‑Kimia yang mencakup: morfologi, geoteknik dan air tanah, tanah, hidrooseanografl, kualitas air, serta iklim dan kualitas udara.
2.    Biologi, yang mencakup: (a) biota darat: flora darat dan fauna darat; dan (b) biota perairan
3.    Sosial Budaya yang mencakup: a) kesempatan kerja; dan b) migrasi
Pengusahaan pertambangan batubara sebagai kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang potensial menimbulkan perubahan ekosistem yang mendasar. Perencanaan kegiatan tersebut perlu dilengkapi dengan analisis terhadap dampak lingkungan sebagaimana yang ditentukan dalam PP No. 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
AMDAL merupakan hasil studi mengenai dampak penting suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. Hasil studi ini terdiri dari beberapa dokumen, yakni Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).[5]
(RKL) berfungsi sebagai pedoman dalam menanggulangi dampak. Dengan demikian RKL dapat mengikat semua pihak untuk membantu menanggulangi kemungkinan dampak negatif dalam pembangunan. Sedangkan RPL merupakan pedoman yang lebih rinci tentang bagaimana seharusnya pemantauan lingkungan dilaksanakan, kapan dilaksanakan dan siapa yang bertanggungjawab.

 B. Korban yang Timbul Akibat Pengusahaan Pertambangan Batubara (PPB)

             Secara terminologis, korban (victim) adalah orang atau sekelompok orang yang menderita kerugian akibat dilakukannya suatu kejahatan. Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa, Victim, the person who is the object of crime or tort, as the victim of a robbary is the person robbed. Person who court determines has suffered pecuniary damages as result of defendant’s criminal activities, that person may be individual, public or private corporation, government, partnership, or unincorporated association.[6]
            Korban dalam pengertian yang cukup luas dinyatakan dalam Declaration on Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, korban (victim) ialah:
‘person who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, thought acts or omissions that are in violation of criminal laws operative whitin member states, including those laws proscribing criminal abuse of power’.
Menurut kesepakatan internasional yang tertuang dalam Resolusi MU-PBB tersebut di atas dinyatakan bahwa, yang dimaksud dengan ‘korban’ ialah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu Negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Dalam bagian lain dinyatakan, khususnya sewaktu menjelaskan ‘victims of Abuse of Power’, bahwa dalam pengertian ‘korban’ termasuk juga orang-orang yang menjadi korban dari perbuatan-perbuatan (tidak berbuat) yang walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut norma-norma HAM yang diakui secara internasional.[7]
Dalam perkembangan selanjutnya, korban diartikan lebih luas lagi, yaitu segala sesuatu (orang, orang-orang, lembaga, lingkungan hidup, dan lain sebagainya) yang dirugikan akibat dilakukannya (tidak dilakukannya) suatu perbuatan.
Pengertian korban dalam tulisan ini adalah korban dalam pengertian yang luas. Korban di sini juga meliputi korban nyata (real victim) maupun korban potensial (potential victim), yang timbul akibat pengusahaan pertambangan batubara.
Pemahaman terhadap korban akibat tercemarnya atau rusaknya lingkungan hidup (LH) dapat dimulal dengan konsep hak mendasar setiap orang (HAM) atas lingkungan hidup yang sehat. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UUPLH, setiap orang mempunyai hak yang sama atas LH yang baik dan sehat (the right to a healthy environment).[8]
            Tercemamya dan/atau rusaknya LH merupakan pelanggaran terhadap HAM yang dikategorikan sebagai tindak pidana lingkungan hidup (TPLH), pelakunya dapat bersifat perorangan atau kolektif. Dampak lingkungan hidup akibat pengusahaan pertambangan batubara (PPB) dapat menimbulkan korban baik terhadap LH itu sendiri, perorangan, maupun kelompok. Dalam pengertian yang cukup Was dinyatakan dalam Declaration on Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, korban (victim) ialah:[9]
"person who, individually or colletively, have suffered harm, including physical Or mental injury, emotional suffering, economic loss or substansial impairment of their fundamental rights, thought acts or ommisions that are in violation of criminal laws operative within Member states, including those laws proscribing criminal abuse Of power
Dalam kaitannya dengan korban pencemaran/perusakan LH, maka perlu diingat bahwa dalam TPLH hal yang paling mendasar adalah kualifikasinya sebagai tindak pidana ekonomi (economic crimes).[10] Tindak pidana ekonomi seringkali diistilahkan sebagai white collar crime yang menimbulkan kerugian pada kepentingan negara dan kepentingan masyarakat, karena tindak pidana ekonomi selalu berkaitan dengan sistem ekonomi suatu bangsa.[11]
Selain lingkungan hidup dan sistem perekonomian negara, korban‑korban potensial dari tindak pidana lingkungan hidup ini adalah:
1.    Manusia perorangan atau kolektif yang menderita fisik maupun mental;
2.    Perusahaan saingan yang kalah efisien karena taat pada ketentuan pengelolaan lingkungan hidup yang memerlukan biaya yang besar;
3.    Karyawan (employees) karena bekerja pada lingkungan yang tidak aman/sehat.[12]
Melihat luasnya cakupan korban yang timbul akibat TPLH, maka perlindungan terhadap korban merupakan suatu keharusan sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia dan kelangsungan masa depan kemanusiaan. Masalah perlindungan korban dan HAM mempunyai keterkaitan yang erat, seperti yang dinyatakan oleh Zvonimir‑Paul Separovic, "the rights of the victim are a component part of the concept of human rights ".[13]
Masalah perlindungan korban termasuk salah satu masalah yang juga mendapat perhatian dunia internasional. Dalam Kongres PBB V11/1985 di Milan (tent.ang Prevention Crime and the Treatment of Offenders) dikemukakan bahwa, hak‑hak korban seyogyanya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana victim's rights should be perceived an integral aspect of the total criminal justice system).[14] Dari Kongres ini pula diajukan rancangan resolusi tentang perlindungan korban ke Majelis Umum PBB, yang kemudian menjadi Resolusi MU‑PBB No. 40/34 tertanggal 29 November 1985 tentang "Declaration of Basic Principles of Justice for k‑victim of Crime and Abuse of Power".
Ruang lingkup dan tipologi korban telah banyak dibahas. Menurut kesepakatan internasional yang tertuang dalam Resolusi MU‑PBB tersebut di atas dinyatakan[15] bahwa yang dimaksud dengan 'korban' ialah orang‑orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan‑peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Dalam bagian lain dinyatakan, khususnya sewaktu menjelaskan Abuse of Power', bahwa dalam penegertian 'korban' termasuk juga orang‑orang yang menjadi korban dari perbuatan‑perbuatan (tidak berbuat) yang walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi sudah merupakan satu pelanggaran menurut norma‑norma HAM yang diakui secara internasional.[16]
Patut dicatat, bahwa pengertian 'kerugian' (harm) menurut resolusi tersebut, meliputi kerugian fisisk maupun mental (physical or mental injury), penderitaan emosional (emotional suffering), kerugian ekonomi (economic loss), atau perusakan substansial dari hak‑hak asasi mereka (substantial impairment of their fundamental rights).
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa seseorang dapat dipertimbangkan sebagai korban tanpa melihat apakah si pelaku kejahatan itu sudah diketahui, ditahan, dituntut, atau dipidana dan tanpa memandang hubungan keluarga antara si pelaku dengan korban. Sekiranya cukup layak, istilah 'korban' juga dapat mencakup keluarga dekat atau orang­-orang yang menjadi tanggungan korban, dan juga orang‑orang yang menderita kerugian karena berusaha mencegah terjadinya korban.
Dalam hukum pidana positif, perlindungan korban lebih banyak merupakan ‘perlindungan abstrak' atau 'perlindungan tidak langsung'. Artinya dengan adanya perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang‑undangan selama ini, berarti pada hakikatnya telah ada perlindungan 'in abstracto' secara tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan has‑hak asasi korban.[17]
Dikatakan demikian, karena tindak pidana menurut hukum pidana positif tidak dilihat sebagai perbuatan menyerang/melanggar kepentingan hukum seseorang (korban) secara Pribadi dan konkrit, tetapi hanya dilihat sebagai pelanggaran 'norma/tertib hukum ‘in abstracto’. Akibatnya, perlindungan korbanpun tidak secara langsung dan 'in concreto', tetapi hanya 'in abstracto'. Dengan kata lain, sistem sanksi dan pertanggungjawaban Pidananya tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan konkrit, tetapi hanya Perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak. Jadi pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku bukanlah pertangungjawaban terhadap kerugian/penderitaan korban secara langsung dan konkrit tetapi lebih tertuju pada pertanggungjawaban yang bersifat pribadi/individual.
Dalam hal‑hal tertentu, hukum pidana positif (material/formal) memberi perhatian juga kepada korban secara langsung. Seperti yang terlihat dalam Pasal 14c KUHP, di mana hakim dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana untuk 'mengganti kerugian' (semua/sebagian) yang ditimbulkan dari tindak pidana. Jadi ganti rugi di sini seolah‑olah berfungsi sebagai pengganti pidana pokok.
Penetapan ganti rugi ini dalam praktek jarang diterapkan karena mengandung, beberapa kelemahan, antara lain:[18]
a.   penetapan ganti rugi ini tidak dapat diberikan sebagai sanksi yang berdiri sendiri di samping pidana pokok, ia hanya dapat dikenakan dalam hal hakim bermaksud menjatuhkan pidana bersyarat, jadi hanya sebagai 'syarat khusus' untuk tidak dilaksanakannya/dijalaninya pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana;
b.  penetapan syarat khusus berupa ganti rugi inipun hanya dapat diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan;
c.     syarat khusus berupa ganti rugi inipun menurut KUHP hanya bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif
Bab XIII (Pasal 98‑101) KUHAP (UU No. 8/1981) memberi kemungkinan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam perkara pidana. Dalam putusan, hakim berwenang menetapkan hukuman "pengganti biaya yang telah diketuarkan oleh Pihak yang dirugikan (korban)". Namun perlu dicatat, bahwa hukuman pengganti biaya di sini tetap bersifat keperdataan, bukan sebagai sanksi pidana. Di samping itu kelemaharinya ialah, bahwa menurut Pasal 100 (2) KUHAP, apabila terhadap perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan. Di satu sisi ketentuan seperti ini memang bisa menguntungkan korban, tetapi juga dapat merugikan.
Menurut Muladi, persoalan TPLH menjadi semakin kompleks karena juga merupakan masalah etika baik sosial maupun bisnis, jadi yang dilindungi hukum pidana juga meliputi masa depan kemanusiaan yang kemungkinan menderita akibat degradasi LH (the anthropocentric approach), sehingga timbul istilah "the environmental laws carry penal sanction that protect a multitude of interest".[19]
Masa depan kemanusiaan yang kemungkinan menderita akibat degradasi fungsi lingkungan, merupakan korban potensial yang tidak serta merta dapat dilihat begitu terjadinya pencemaran dan/atau perusakan LH. Namun para pakar telah memprediksikan bahwa di masa yang akan datang akan terjadi kemerosotan besar‑besaran terhadap kualitas lingkungan hidup yang bersifat global. Dalam. konteks inilah hak setiap orang yang paling mendasar (HAM) untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dipenuhi.
Kekhawatiran akan degradasi kualitas LH berupa hujan asam, pemanasan global, perubahan iklim (efek rumah kaca) dan rusaknya lapisan ozon merupakan kekhawatiran semua bangsa.[20] Terjadinya hujan asam disebabkan oleh pencemaran udara yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil (BBF), seperti gas bumi, minyak bumi dan batubara. Pembakaran ini menghasilkan gas oksida belerang (S02) dan oksida nitrogen (N0­­2). Kedua jenis gas itu dalam udara mengalami reaksi kimia dan berubah menjadi asam (asam sulfat dan asam nitrat). Asam itu bisa langsung terbawa angin ke permukaan bumi dan mengenai makhluk hidup dan bangunan (deposisi kering), sebagian lagi asam itu terbawa angin ke ata dan terbawa hujan turun ke bumi (deposisi basah). Deposisi kering dan deposisi basah secara populer disebut hujan asam.
Hujan asam telah menyebabkan kematian banyak organisme air di sungai dan danau. Beribu danau di Amerika Utara dan Eropa telah mengalami kematian. Di Eropa sekitar 50 juta hektar hutan telah mengalami kerusakan oleh hujan asam. Hujan asam juga menaikkan kelarutan beberapa jenis logam, yang sangat berbahaya bilamana kelarutan logam mempengaruhi air yang dikonsumsi masyarakat.
Pemanasan global merupakan peristiwa naiknya intensitas efek rumah kaca (ERK). ERK terjadi karena adanya gas dalam atmosfer yang menyerap sinar panas, yaitu sinar inframerah, yang dipancarkan oleh bumi. Gas itu disebut gas rumah kaca (GRK). Dengan penyerapan itu sinar panas terperangkap sehingga naiklah suhu permukaan bumi."'[21]
Tanpa GRK tidak ada ERK dan suhu permukaan bumi rata‑rata hanya ‑ 180 C saja, dengan adanya ERK suhu bumi rata‑rata 150 C. Jadi ERK sangat berguna bagi kehidupan di bumi. Tetapi akhir‑akhir ini tercatat naiknya kadar GRK dalam atmosfer, yaitu CO2 dan beberapa gas lain. Dengan naiknya kadar GRK maka ERK akan meningkat, dan suhu permukaan bumi akan meningkat pula keadaan inilah yang disebut dengan pemanasan global.
Dampak pemanasan global ini antara lain ialah: (1) perubahan iklim sedunia, yaitu perubahan curah hujan yang sangat berpengaruh pada sistem pertanian; (2) menaikkan frekuensi dan intensitas badai, seperti yang dialami Banglades dan Filipina, (3) menaikkan suhu permukaan laut, yang menimbulkan bertambahnya volume air; (4) melelehkan es abadi di pegunungan dan di daerah kutub.
Dengan laju kenaikan kadar GRK seperti sekarang, diperkirakan pada sekitar tahun 2030 suhu akan naik 1,5 ‑ 4,5o C. Kenaikan suhu' ini akan menyebabkan naiknya permukaan laut sampai dengan 25 ‑ 140 Cm. Dampak naiknya permukaan laut ialah terge­nangnya daerah pantai yang rendah, seperti tambak, sawah, dan bagian kota yang rendah, seperti daerah pantai Jakarta, Surabaya dan Semarang. Selain itu, laju erosi pantai, peresapan air laut di sungai dan di tanah yang semakin sulit, juga merupakan dampak dari naiknya permukaan laut akibat pemanasan global, yang pada gilirannya menimbulkan kerugian sosial ekonomi yang tidak terhingga.
Selain hujan asam dan efek rumah kaca, kerusakan lapisan ozon juga merupakan kekhawatiran global. Ozon merupakan senyawa kimia yang terdiri atas tiga atom oksigen. Di lapisan atmosfer yang sangat rendah ia mengganggu kesehatan, di lapisan atas atmosfer ia melindungi makhluk hidup dari sinar ultraviolet yang dipancarkan oleh matahari. Apabila kadar ozon dalam lapisan itu berkurang, kadar sinar ultraviolet yang sampai ke bumi bertambah. Keadaan ini menimbulkan risiko untuk mengidap penyakit kanker kulit, katarak dan menurunnya kekebalan tubuh akan meningkat.
Dalam tahun 1985 sebuah tim peneliti Inggris di daerah kutub selatan Antartika menemukan penurunan yang drastis kadar ozon dalam stratosfer pada permulaan musim semi. Kejadian ini kemudian ditentukan pula di atas daerah kutub utara Afrika. Ada bukti kuat yang menunjukkan, penurunan itu disebabkan karena rusaknya ozon oleh segolongan zat kimia yang disebut Chloro fluorocarbon (CFC). CFC banyak digunakan dalam industri dan kehidupan kita sehari‑hari.
Dengan gambaran ancaman bahaya kesehatan dan kesejahteraan umat manusia baik secara regional maupun global tersebut, harapan untuk dapat diambilnya tindakan yang tepat nampaknya semakin besar. Misalnya pada tahun 1985 telah disetujui sebuah persetujuan internasional yang dikenal dengan nama Konvensi Wina. Konvensi ini bertujuan untuk membatasi dan akhirnya melarang penggunaan CFC dan zat lain yang menyebabkan kerusakan lapisan ozon di stratosfer.
Pada bulan Juni 1992, di Rio de Janeiro, Brasil, telah diadakan Konferensi PBB tentang LH dan Pembangunan (united Nations Conference on Environment and Development). Konferensi ini terkenal dengan nama KTT Bumi. KTT Bumi yang dihadiri lebih dari 100 kepala negara dan kepala pemerintahan telah menghasilkan Deklarasi Rio; Konvensi tentang Perubahan Iklim; Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati; Prinsip tentang Hutan; dan Agenda 21.
Deklarasi Rio mengandung prinsip‑prinsip kesepakatan, di mana dinyatakan bahwa tujuan KTT Bumi ialah untuk mengembangkan kemitraan global baru yang adil. Deklarasi ini menyatakan bahwa manusia adalah pusat perhatian pembangunan berkelanjutan. Hal ini menunjukkan dengan jelas pandangan antroposentris. Deklarasi itu berusaha untuk mengurangi bahaya itu dengan menyatakan bahwa manusia berhak atas kehidupan yang sehat dan produktif yang serasi dengan alam.[22]




[1] Lihat: Christopher Flavin & Nicholas Lenssen, Gelombang Revolusi Energi, Yayasan, Obor Indonesia, Jakarta, 1995, hal. 17‑19.
[2] Otto Soernarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Ed. Rev. Cet. ke‑7), Penerbit Djambatan, Jakarta, 1997, hal. 13. Bandingkan: John O. Blackburn, Energi Terbarui –Menyongsong Kemakmuran Tanpa Enegi Nuklir dan Batubara‑,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988, hal. 2‑3.
[3] Lihat: Laporan Worldwatch Institute, (Peny. Lester R. Brown), Jangan Biarkan Bumi Merana, Yayasan Obor Indonesia, 1993, hat. 225. Lihatjuga: Lester R. Brown, et al., Tanda‑tanda Zaman Era 90‑an, Yayasan Obor Indonesia, 1995, hal. 117‑121
[4] Lihat: Chafid Fandeli, Analisis Mengenai Dampak Linpkungan Prinsip Dasar dan Pemapanannya dalam Pembangunan, (Edisi Revis is), Liberty, Yogyakarta, 1995, hal. 119
[5] Ibid, hal. 34‑51
[6] Henry  Campbell Black, et al., op cit., hal 1567.
[7] United Nations, A Compilation of International Instrument, Vol. I, New York, 1993, hal. 382 dan seterusnya, khususnya butir no. 1 dan 18. Bandingkan: Barda Nawawi Arief (III), Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 53.
[8] Lihat: The Intemational Bill of Human Rights (art. 25), lihat juga: International Covenant on Economic ,Social and Cultural Rights (art. 11), lihat juga: The Rio Declaration on Environment and Development (Principles 2).
[9] Bandingkan : Muladi (III), op cit., hal. I I
[10] Di Belanda secara umum dirumuskan sebagai: "any non‑violent, illegal activity which principally involves deceit, misrepresentation, oncealment, manipulation, breach of trust, subterfuge or illegal circumvention " Lihat: Muladi (III), op cit., hat. I 1‑ 14
[11] Lihat: Muladi (III), ibid. Lihatjuga: Tom Canon, Corporate Responsibility, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1992, hat. 195‑197
[12] Bandingkan dengan: Marshall B. Clinard & Peter C. Yeager, Corporate Crime, The Free Press, A Division of Macmillan Publishing Co., Inc., New York, Collier Macmillan Publishers, London, 1980, hat. 123
[13] Zvonimir‑Paul Separovic, Victimology, Studies of Victims, dalam Barda Nawawi Arief (III), Beberapa Aspek Kebiiakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 53
[14] Barda Nawawi Arief, (III), Ibid.
[15] United Nations, A Compilation of International Instrument, Volume 1, New York, 1993, hat. 382 dan Seterusnya, khususnya butir No. 1 dan 18
[16] Bandinakan: Richard Quiney, Who is the Victim, dalam Victimology (ed. Israel Drapkin and Emilio Viano), D.C. Heath and Company, Lexington, Massachusetts Toronto, London, 1974, halt. 103
[17] Barda Nawawi Arief (III), Op. cit. hal. 55. Bandingkan: Richard Quiney, ibid, hal. 104
[18] Barda Nawawi Arief (III), ibid, hal. 57
[19] Muladi, (III), Op. cit.
[20] Lihat: Harlan Cleveland, Lahirnya Sebuah Dunia Baru. Yayasan Obor Indonesia, 1995, hal. 256‑264 Lihatjuga: Kirkpatrick Sale, Revolusi Hiiau Sebuah Tiniauan Historis‑Kritis Gerakan Lingkungan Hidup di Amerika Serikat, Yayasan Obor Indonesia, 1996, hal.91‑99
[21] Lihat: Gerald Foley, Pemanasan Global -Siapakah yang Merasa Panas?-, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hat. 3‑17. Lihat juga: Eggi Sudjana, (I), HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup ‑Perspektif Islam‑, Yayasan As‑syahidah, Bogor, 1998, hat. 96‑101
[22] Lihat: Ditjen Pembinaan Pers dan Grafika, Departemen Penerangan RI, Konferensi Tingkat Tinggi Bumi, Pio de Janeiro, 3 ‑ 14 Juni 1992







BAB IV

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Dampak Lingkungan Hidup Akibat Pengusahaan Pertambangan Batubara

 

A.       Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana

 1.    Landasan Pemahaman Kebijakan Hukum Pidana

Perkembangan masyarakat di zaman modern yang begitu pesat akibat pembangunan yang sedang dilaksanakan, perlu diikuti dengan kebijakan di bidang hukum sebagai sarana untuk menertibkan dan melindungi masyarakat dalam mencapai kesejahteraannya.

Munculnya kejahatan-kejahatan dengan dimensi baru yang merupakan dampak negatif dari perkembangan masyarakat dan pembangunan dewasa ini khususnya dengan timbulnya dampak lingkungan sebagai akibat eksploitasi sumber daya alam yang mengancam terlaksananya kesinambungan pembangunan itu sendiri, perlu ditanggulangi dengan berbagai upaya penanggulangan yang lebih efektif, dalam hal ini salah satunya adalah penanggulangan dengan sarana hukum pidana.

            Semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan aparat penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan modern perlu diimbangi dengan pembenahan dan pembangunan sistem hukum pidana secara menyeluruh meliputi pembangunan budaya, struktur, dan subtansi hukum pidana. Jelaslah bahwa hukum pidana (penal policy) menduduki posisi yang sangat strategis dalam pengembangan hukum pidana modern.[1]

2.    Tinjauan tentang Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana

            Secara terminologis, kebijakan berasal dari kata policy (bahasa Inggeris) atau politiek (bahasa Belanda) yang diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi dan sebagainya; pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran; garis haluan).[2]
Dari beberapa literatur, dapat diketahui dan dipahami arti kata kebijakan. Biasanya kata kebijakan ini tidak berdiri sendiri, tetapi diikuti atau berhubungan dengan kata lainnya yang kemudian membentuk satu pengertian pula, seperti: Kebijakan public, kebijakan sosial, kebijakan kriminal, kebijakan hukum pidana, kebijakan pemerintah, kebijakan legislatif, dan lain sebagainya.
            Barda Nawawi Arief menggunakan istilah kebijakan di dalam pembahasannya tentang kebijakan hukum pidana dan kebijakan kriminal yang merupakan terjemahan dari penal policy dan criminal policy.[3] Demikian pula Sutan Zanti Arbi dan Wayan Ardhana menterjemahkan kata policy menjadi kebijakan.[4] Menurut Robert R. Mayer dan Ernest Greenwood, policy dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan secara kolektif.[5] Pada umumnya di kalangan administrasi Negara kata kebijakan juga mengandung arti penetapan tujuan dan sarana.[6]
            Dari makna tersebut di atas, dapat dilihat bahwa di dalam suatu kebijakan terkandung hal-hal sebagai berikut:
a.       Suatu tujuan yang ingin diwujudkan dalam suatu organisasi, masyarakat;
b.      Suatu prinsip atau sistem nilai yang mendasari atau menjadi pedoman dalam pengaturan masyarakat, pemerintah, organisasi;
c.       Suatu cara untuk mencapai tujuan; dan
d.      Sarana untuk mencapai tujuan.
            Apabila kita mengaitkannya dengan kebijakan hukum pidana, maka tersirat makna bahwa kebijakan hukum pidana ini didasarkan pada suatu prinsip atau sistem nilai yang hidup dan diyakini oleh masyarakat Indonesia, yang tertuang dalam falsafah bangsa Indonesia yakni Pancasila.
            Kebijakan hukum pidana (penal policy) sebagai bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) diartikan sebagai kebijakan untuk menggunakan sarana penal (hukum pidana) dalam menanggulangi kejahatan. Sedangkan kebijakan criminal sebagai bagian dari kebijakan sosial hanya untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat (social defence) dengan tujuan akhir demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat (social welfare).
Istilah kebijakan secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas) termasuk pula aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).[7]

            Selanjutnya politik hukum (law policy/rechtspolitiek) dapat diartikan sebagai :[8]

a.       Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;

b.      Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Dengan demikian kebijakan hukum pidana (penal policy/criminal law policy/strafrechtspolitiek) dapat didefinisikan sebagai “usaha mewujudkan peraturan perundanga-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.[9] Kata “sesuai” dalam pengertian tersebut mengandung makna “baik” dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.[10]

            Dari definisi tersebut di atas sekilas nampak bahwa kebijakan hukum pidana identik dengan Pembaruan Perundang-undangan Hukum Pidana”, namun sebenarnya pengertian kebijakan hukum pidana tidak sama dengan pembaruan perundang-undangan hukum pidana dalam arti sempit. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Hukum pidana sebagai suatu sistem hukum yang terdiri dari budaya, strukstur, dan subtansi hukum, sedangkan undang-undang merupakan bagian dari subtansi hukum. Dengan demikian pembaharuan hukum pidana tidak sekedar memperbaharui sektor-sektor lain seperti ilmu hukum pidana dan ide-ide hukum pidana melalui proses pendidikan dan pemikiran akademik.

            Ruang lingkup kebijakan hukum pidana sebenarnya lebih luas daripada pembaharuan hukum pidana, hal ini disebabkan karena kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari:

a.    Kebijakan formulatif/legislative, yaitu tahap perumusan/penyususnan hukum pidana;

b.    Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana;

c.    Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu pelaksanaan hukum pidana.

Dalam hal ini pembaharuan hukum pidana lebih banyak berkaitan dengan tahap perumusan atau pembuatan hukum pidana atau berkaitan dengan kebijakan formulatif. Di samping itu pula, kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum pidana, sebagaimana yang dikemukakan oleh Marc Ancel yang menyatakan bahwa setiap masyarakat terorganisir memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari peraturan-peraturan hukum pidana beserta sanksinya, suatu prosedur hukum pidana dan suatu mekanisme pelaksanaan pidana.[11] A. Mulder mengemukakan pula bahwa kebijakan hukum pidana ialah garis kebijakan untuk menentukan:[12]

a.       seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau diperbaharui;

b.      apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

c.       cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

Dengan demikian kebijakan hukum pidana berkaitan dengan proses penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab itu kebijakan hukum pidana diarahkan pada konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana material (subtansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Selanjutnya kebijakan hukum pidana dapat dikaitkan dengan tindakan-tindakan:

a.       bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan hukum pidana;

b.      bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat;

c.       bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana;

d.    bagaimana mengguankan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.

3.    Hubungan antara Kebijakan Hukum Pidana dengan Kebijakan Kriminal dan Kebijakan Sosial

Dari uraian pada sub bab di atas, nampak bahwa kebijakan hukum pidana bukan merupakan suatu kebijakan yang berdiri sendiri. Sebagai bagian dari upaya untuk menanggulangi kejahatan dalam rangka mensejahterakan masyarakat, maka tindakan untuk mengatur masyarakat dengan sarana hukum pidana terkait erat dengan berbagai bentuk kebijakan dalam suatu proses kebijakan sosial yang mengacu pada tujuan yang lebih luas.

Sebagai salah satu alternatif penanggulangan kejahatan maka kebijakan hukum pidana adalah bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy).[13] Dengan demikian dalam rangka penanggulangan kejahatan secara terpadu maka kebijakan hukum pidana (pendekatan penal) dalam pengembangannya harus senantiasa memperhatikan alternatif penanggulangan yang lain yaitu pendekatan non penal, yaitu upaya menanggualangi kejahatan dengan mempergunakan sarana lain selain hukum pidana. Pendekatan penal yang cenderung mengarah kepada upaya represif dalam pelaksanaannya mengandung keterbatasan, sehingga dalam hal ini perlu diimbangi dengan pendekatan non penal yang cenderung merupakan upaya preventif. Bahkan jika dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.[14] Namun dalam hal ini tidak berarti bahwa upaya penal tidak penting atau dapat dikesampingkan begitu saja. Justru upaya penal merupakan sarana yang sangat vital dalam proses penegakan hukum (law enforcement) dalam menanggulangi kejahatan.[15]

Kebijakan kriminal yang dilakukan baik melalui pendekatan penal maupun pendekatan nonpenal sebagai sarana untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan (social defence) merupakan bagian integral dari Kebijakan Sosial (Social Policy) yang bersama-sama dengan kebijakan untuk mensejahterkan masyarakat (Social Welfare Policy) menguapayakan tercapainya suatu tujuan akhir yang lebih luas yaitu “perlindungan masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat”.[16]


Dari uraian di atas, nampak bahwa kebijakan hukum pidana merupakan bagian integral dari kebijakan-kebijakan yang lain, teruatama dengan kebijakan kriminal dan kebijakan social yang lebih jelasnya dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut:[17]

Social Welfare Policy 
      


Social Policy             Social Defence Policy                                              Goal
                                                                          
                                                                                                   Penal

                                                   Criminal Policy
                                                                               
                                                                                      Nonpenal

Berdasarkan uraian dan bagan di atas maka upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan secara terpadu (integral), dalam arti: ada keterpaduan antara upaya penanggulan dengan sarana penal dan nonpenal.

Selanjutnya upaya penanggulangan kejahatan yang terintegrasi dalam kebijakan sosial perlu diintegrasikan pula dalam perencanaan pembangunan nasional guna mencapai tujuan nasional.[18]

4.      Beberapa Pendekatan dalam Kebijakan Hukum Pidana

Dua masalah sentral dalam kebijakan hukum pidana yang penganalisaannya tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara kebijakan pembangunan nasional adalah masalah penentuan: (a) perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan (b) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepasa si pelanggar.[19] Hal ini berarti bahwa kebijakan hukum pidana berkaitan erat dengan masalah kriminalisasi dan penalisasi, oleh sebab itu dalam menangani masalah sentral tersebut di atas, terutama masalah sentral yang pertama, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorienatsi pada kebijakan (policy oriented approach). Dengan demikian maka kebijakan hukum pidana harus dilaksanakan dengan pertimbangan-pertimbangan yang sangat hati-hati, cermat dan rasional dengan memperhatikan berbagai faktor yang relevan. Apalagi sebagaimana diuraikan tadi, bahwa kebijakan hukum pidana antara lain berkaitan dengan masalah kriminalisasi, maka dalam menentukan dan menyusun ketentuan pidana harus memperhatikan pertimbangan atas faktor kebijakan sebagai berikut:[20]

a.    Tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur secara material dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan hukum) pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan penganyoman masyarakat.

b.    Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, tidak disukai atau dibenci oleh warga masyarkat yaitu perbuatan yang merugikan (material atau spiritual) atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban. Selain itu harus pula dipertimbangkan sejauh mana perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku di masyarakat.

c.    Perhitungan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle) dari penggunaan hukum pidana tersebut, yaitu apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan, dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.

d.    Kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) dan memadainya sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai.

e.    Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas nampak bahwa penentuan kebijakan kriminal dengan sarana hukum pidana senantiasa mengacu pada kebijakan yang lebih luas yaitu kebijkan sosial. Selanjutnya, karena masalah sentral dalam kebijakan hukum pidana tidak hanya terbatas penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, namun juga sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada si pelanggar, maka di samping pertimbangan beberapa faktor kebijakan tersebut di atas, harus pula dipertimbangkan hal-hal yang berkaitam dengan efektivitas dari bermacam-macam sanksi.

Dalam hal ini Bassioni menegaskan bahwa sanksi pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan‑kepentingan sosial seperti: pemeliharaan tertib masyarakat; perlindungan warga masyarakat dari kerugian atau bahaya‑bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain; memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum; dan memelihara atau mempertahankan integritas pandangan‑pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.[21]

Dengan demikian maka penetapan kebijakan hukum pidana. harus diawali dengan penelitian atau pengkajian yang mendalam dengan berbagai pendekatan, baik yang bersifat pragmatis dan rasional, maupun yang bersifat humanistis. Ini berarti bahwa kebijakan hukum pidana harus dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan kebijakan (dalam hal ini adalah kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum) dan pendekatan nilai (dengan cara melakukan reorientasi dan reevaluasi nilai‑nilai sosiopolitik, sosiofilosofik dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita‑citakan).[22] Hal ini berarti pula bahwa kebijakan hukum pidana bukan semata‑mata bersifat yuridis normatif saja, namun juga bersifat yuridis faktual (dengan pendekatan sosiologis, historis, komparatif dan komprehensif).[23] Orientasi ilmiah tersebut sangat diperlukan agar penetapan kebijakan hukum pidana dapat mencapai tujuan yang diharapkan, tanpa mengakibatkan ekses yang antara lain berupa overcriminalization dan atau overreach of the criminal law.

B.       Kedudukan Kebijakan Hukum Pidana dalam Kebijakan Hukum Lingkungan

 1.         Kebijakan Hukum Lingkungan

 Pada awalnya issu mengenai lingkungan hidup hanya menjadi pembahasan terbatas di kalangan para ilmuwan. Baru setelah diadakannya Konferensi di Stockholm tahun 1972 yang dihadiri oleh wakil pemerintahan anggota‑anggota PBB issu ini beralih menjadi masalah pemerintahan. Semua negara di dunia menganggap bahwa telah terjadi gangguan pada lingkungan tempat manusia berada, dan hampir setiap negara berpendapat bahwa pemecahan dan penanggulangan serta pengelolaan lingkungan hidup harus dilakukan dengan sangat serius. Pelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup mutlak perlu dilaksanakan demi kelangsungan umat manusia di muka bumi.

Meskipun kesepakatan telah dicapai, tetapi bagi kebanyakan negara berkembang masalah lingkungan hanya dianggap sebagai persoalan negara‑negara maju. Negara ber­kembang menganggap persoalan pembangunan memberantas kemiskinan lebih penting sehingga masalah lingkungan dilihat sebagai masalah yang terpisah dari pembangunan.

            Di dalam perkembangan selanjutnya temyata disadari bahwa pembangunan berjalan seiring dengan semakin memburuknya kondisi lingkungan, antara lain sebagai akibat proses pembangunan yang lebih banyak mengeksploitasi sumber daya alam untuk membiayai pembangunan itu sendiri. Muncullah kemudian konsep "Pembangunan berkelanjutan".

Bagi bangsa Indonesia, masalah lingkungan hidup ini bukanlah masalah yang sederhana, sehingga pemerintah merasa perlu untuk menangani secara nasional. Hal ini dikarenakan:[24]

1.      Adanya kesadaran bahwa Indonesia sudah menghadapi masalah lingkungan yang cukup gawat;

2.      Keperluan untuk mewariskan kepada generasi mendatang sumber‑sumber alam yang dapat diolah secara berkesinambungan dalam proses jangka panjang dan untuk tujuan pembangunan yang sedang giat‑giatnya kita laksanakan saat ini;

3.      Sebab idiil, kita ingin membangun manusia Indonesia seutuhnya material dan spiritual berdasarkan Pancasila yang memuat ciri‑ciri keselarasan hubungan antar manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan.

Selain alasan‑alasan di atas, lahimya Undang‑undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup (UULH) yang diganti dengan Undang‑undang No. 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (ULJPLH), kemudian diganti lagi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), merupakan realisasi dari Repelita III Bab 7 tentang Sumber Alam dan Lingkungan Hidup. Undang‑undang dan peraturan di bidang lingkungan yang telah ada kurang memuat segi lingkungan hidup, tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan dengan semakin meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat, di mana kesadaran terhadap lingkungan semakin meningkat, baik di kalangan produsen selaku perusak lingkungan potensial dan di kalangan konsumen selaku korban kerusakan lingkungan potensial, serta dalam rangka menegakkan landasan yang kokoh untuk tahap pembangunan berikutnya.

Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia sebenamya bukanlah sesuatu yang baru. Sebab bila dilihat dari sudut perkembangan perundangan yang mengatur, dapat dibagi atas dua masa yaitu masa sebelum adanya UULH dan sesudahnya.

Dipandang dari sudut sifatnya, peraturan perundangan yang mengatur aspek lingkungan hidup sampai dengan diterbitkannya UULH sebagian besar adalah produk hukum kolonial yang bersifat sektoral, serta tidak berorientasi kepada penggunaan lingkungan di dalam ketentuan kebijakan hukumnya.[25] Sebagian besar dari peraturan di bidang lingkungan tersebut, belumlah ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup secara menyeluruh, namun hanya menjangkau sebagian kecil saja dari aspek lingkungan hidup.

Sehubungan dengan pengaturan pengelolaan lingkungan hidup ini, dapat pula dibedakan antara hukum lingkungan klasik dan hukum lingkungan modern. Hukum lingkungan modem berorientasi kepada lingkungan atau "environmental‑oriented law", sedangkan hukum lingkungan klasik berorientasi kepada penggunaan lingkungan atau "use oriented law ".

Dari sudut kebijakan yang terdapat di dalam peraturan tersebut dapat pula dibedakan antara keduanya, seperti yang dikemukakan oleh Koesnadi Hardjasoemantri, hukum lingkungan modem menetapkan ketentuan dan norma‑norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dari kemerosotan mutunya demi untuk menjamin kelestariannya agar dapat secara langsung terus menerus digunakan oleh generasi sekarang maupun generasi‑generasi mendatang. Sebaliknya hukum lingkungan klasik menetapkan ketentuan dan norma‑norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin penggunaan dan eksploitasi sumber‑sumber daya dengan berbagai akal dan kepandaian manusia guna mencapai hasil semaksimal mungkin, dan dalam jangka waktu yang sesingkat‑singkatnya.[26]

Hukum lingkungan produk kolonial lebih merupakan hukum lingkungan klasik, sebab peraturan‑peraturan di bidang lingkungan produk kolonial tersebut, juga bersifat sektoral, serba kaku dan sukar berubah, dan tidak memuat pertimbangan lingkungan dalam ketentuan hukumnya.[27]

Hukum lingkungan modern yang berorientasi kepada lingkungan mempunyai sifat yang utuh menyeluruh atau komprehensif integral, selalu berada dalam dinamika dengan sifat dan watak yang luwes.

Karena tuntutan hukum lingkungan yang modem adalah yang memperhatikan pertimbangan lingkungan, maka menurut Mochtar Kusumaatmadja, sistem pendekatan terpadu atau utuh menyeluruh harus diterapkan oleh hukum untuk mampu mengatur lingkungan hidup manusia secara tepat dan baik. Sistem pendekatan ini telah melandasi perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia.[28]

 

2.        UUPPLH Sebagai Undang‑undang Payung

            UULH yang diganti dengan UUPLH kemudian UUPPLH hanya mengatur aspek‑aspek pokok dari pengelolaan lingkungan hidup, pengaturan lebih lanjut diatur dalam peraturan yang lebih rendah (peraturan pelaksanaaanya). UUPLH hanya berisikan dasar‑dasar kebijakan tentang lingkungan hidup, yaitu menjadi landasan hukum bagi keseluruhan kebijakan lingkungan hidup di Indonesia, seperti penyusunan peraturan pelaksanaan yang akan dibentuk oleh pembuat kebijakan.

UUPLH ini berfungsi untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan di bidang lingkungan hidup yang telah ada sebelumnya. Berdasarkan undang‑undang ini pula semua ketentuan‑ketentuan yang telah ada sebelumnya (yang bersifat sektoral) tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUPLH.

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa UUPLH berfungsi untuk merangkum semua peraturan perundangan lingkungan hidup ke dalam suatu sistem hukum lingkungan Indonesia, agar merupakan satu rangkaian pengaturan pengelolaan lingkungan hidup yang sistematik, baik secara vertikal maupun horizontal, sinkron dan koordinatif, untuk mencegah pengaturan yang duplikatif maupun yang bertentangan satu sama lainnya.

Pemikiran tentang perlunya undang‑undang yang bersifat payung dikarenakan ciri dan sifat hukum lingkungan itu sendiri yaitu bersifat insidental, komensalis, parsial dan Sektoral, yang lebih mengarah kepada hukum lingkungan klasik yang bersifat use‑oriented.

Menurut Harun M. Husein,[29]  ciri‑ciri demikian merupakan hal yang lumrah dalam hukum lingkungan. Untuk jelasnya, ciri‑ciri tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1.      Bersifat Insidental (incidentally profile) lahimya produk peraturan tanpa direncanakan dalam jangka Panjang, tetapi karena terdesak keadaan yang sesegera mungkin harus diatasi dengan perangkat peraturan;

2.      Bersifat Komensalis, yaitu terdapatnya berbagai peraturan lingkungan (dalam pasal‑pasal) yang sekedar tercantel dalam paket perundang‑undangan yang bukan ditujukan untuk dan berkenaan dengan mutu tata lingkungan semata‑mata;

3.      Bersifat Parsial, adanya tumpang tindih (dupfikasi) peraturan sebagai akibat adanya peraturan‑peraturan yang dibuat secara sendiri‑sendirl oleh instansi‑instansi atau Departemen‑departemen, seperti peraturan Menteri X misalnya, melarang, tetapi peraturan Menteri Y membolehkan;

4.      Bersifat Sektoral atau Departemental, hal ini terjadi karena pelaksanaan praktis dari suatu kegiatan bermuara pada masing‑masing sektor atau departemen, selain itu dapat terjadi karena masing‑masing departemen diberi wewenang teknis untuk menetapkan peraturan‑peraturan dalam kaitannya dengan tugas masing‑masing;

5.      Perangkat jalan pintas. Sering terjadi dalam praktek, dimana seharusnya secara substansial membutuhkan regulasi yang lebih tinggi (undang‑undang), karena beberapa pertimbangan (mendesaknya waktu, kebutuhan akan perangkat hukum yang sangat mendesak, motivasi sosial politik) maka dibuat dalam regulasi yang lebih rendah dari undang‑undang.

Dalam fungsinya sebagai undang‑undang payung (umbrella act) maka UUPLH menjadi landasan dan induk bagi semua kebijakan di bidang lingkungan, sehingga semua peraturan vang sudah ada inipun yang kemudian akan dibentuk, tidak boleh bertentangan dengan undang‑undang ini. Dengan demikian maka bilamana terdapat peraturan di bidang lingkungan yang tidak sejalan dengan UUPLH maka ketentuan tersebut tidak berlaku.

Banyaknya peraturan di bidang lingkungan hidup di luar UUPLH yang masih dimungkinkan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUPLH ini, apabila dikaitkan dengan terjadinya kegiatan pencemaran atau perusakan lingkungan, berhadapan pula dengan beraneka ragamnya ancaman pidana yang terdapat dalam berbagai peraturan di bidang lingkungan.

Berfungsinya UUPLH ini sebagai undang‑undang payung dipertegas lagi dalam Penjelasan Umum UUPLH yang menyatakan bahwa undang‑undang ini memuat norma hukum lingkungan hidup. Selain itu UUPLH akan menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan perundang‑undangan yang memuat ketentuan tentang lingkungan hidup yang berlaku, yaitu peraturan perundang‑undangan mengenai pengairan, pertambangan dan energi, kehutanan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, industri, pemukiman, penataan ruang, tata guna tanah, dan lain‑lain.

  

3. Ketentuan Pidana dalam UUPLH

Lingkungan hidup (LH) adalah subyek hukum[30] yang memiliki kualitas hidup sebagaimana lazimnya subyek hukum dalam lalu lintas perhubungan hukum. Sebagai subyek hukum ia membawa konsekuensi terhadap pemanfaatan atas LH tersebut, yaitu dalam masalah pengelolaannya.

Apabila terjadi pelanggaran terhadap norma hukum lingkungan maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui kebijakan hukum pidana (sanksi pidana). Sebagaimana fungsi sanksi dalam hukum pidana pada umumnya yang bersifat ultimum remedium, di dalam kebijakan hukum lingkungan ancaman sanksi pidana juga merupakan sanksi paling akhir (ultimum remedium) yang dapat dikenakan kepada pelaku apabila sanksi yang lain tidak mampu mengatasinya. Jaro Madya dalam bukunya Tile Penal Protection of Environment menyatakan, bahwa sanksi pidana dalam proteksi lingkungan hidup dipergunakan sebagai ultimum remedium, yang kemudian diragukan keefektifannya.[31]

Kebijakan hukum pidana (KUHP) yang tertuang dalam Pasal 41 ‑ 48 UUPLH mengandung 3 (tiga) masalah pokok, yakni penentuan perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana lingkungan hidup (TPLH), sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku TPLH, serta pertanggungjawabannya.

Menurut UUPLH, terdapat 2 (dua) perbuatan yang dikategorikan sebagai TPLH, yaitu:

1.      Perbuatan yang mengakibatkan tercemarnya LH (pencemaran LH); dan

2.      Perbuatan yang mengakibatkan rusaknya LH (perusakan LH).

Pencemaran LH adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam LH oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan LH tidak dapat berfungsi sesuai dengan Peruntukannya.[32] Sedangkaan perusakan LH adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan LH tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.[33]

Sanksi pidana yang diancamkan terhadap pelaku TPLH adalah pidana penjara dan pidana denda, yang dapat dijatuhkan secara alternatif maupun kumulatif. Ancaman pidana penjara maksimal adalah 15 (limabelas) tahun, sedangkan ancaman pidana denda maksimal adalah Rp.750.000.000,00 (tujuhratus limapuluh juta rupiah). Kualifikasi TPLH secara keseluruhan adalah kejahatan.[34]

Disamping sanksi pidana di atas, pelaku TPLH dapat pula dikenakan tindakan tata tertib (Pasal 46 (1) UUPLH). Tindakan tata tertib sebagaimana tertuang dalam Pasal 47 UUPLH berupa:

1.    Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau

2.    Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau

3.    Perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau

4.    Mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau

5.    Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

6.    Menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

Pelaku TPLH dapat bersifat perorangan maupun kolektif, badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lainnya. Dengan demikian dalam TPLH pertanggungjawaban bukan hanya ada pada orang, tetapi juga pada korporasi.

Pertanggungjawaban korporasi dalam TPLH berdasarkan Pasal 46 (1) UUPLH berada pada : (a) badan hukum; (b) yang memberi perintah atau yang bertindak sebagal Pimpinan; atau ( c) kedua‑duanya.

Disamping hal‑hal tersebut di atas, UUPLH juga mengakomodasi perundang-undangan lainnya seperti peraturan perundang‑undangan di bidang kehutanan, pertambangan, perindustrian dan lain‑lain, yang berkaltan dengan pengelolaan LH (UU sektoral). Dalam hal ini UUPLH juga mengancamkan sanksi terhadap pelaku TPLH yang melanggar UU sektoral tersebut.

Hubungan antara UUPLH dengan UU sektoral yang lebih banyak bersifat admi­nistratif lebih didasarkan pada fungsi sanksi pidana sebagai penunjang ditaatinya ketentuan administratif. Hal ini tertuang dalam Penjelasan Umum UUPLH yang antara lain menyebutkan bahwa, sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain seperti sanksi administrasi dan sanksl perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa LH tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat.

 

C. Peranan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Dampak Lingkungan Hidup Akibat Pengusahaan Pertambangan Batubara

 1.      Pengusahaan Pertambangan Batubara (PPBB) Sebagai Bagian dari Kebijakan Sosial

            Salah satu kebijakan sosial yang sedang dilaksanakan melalui program pembangunan nasional adalah pengembangan usaha pertambangan. Pengusahaan pertambangan adalah salah satu sektor kebijakan di bidang ekonomi[35] yang merupakan bagian penting dari kegiatan pembangunan. Oleh karena itu kebijakan di sektor pertambangan ini tidak bisa dilepaskan dengan kebijakan‑kebijakan di sektor lainnya. Sebagai sektor di bidang ekonomi pula, maka tujuan pengusahaan pertambangan tidak tcrlepas pula pada sasaran yang ingin dicapai dengan kebijakan pembangunan di bidang ekonomi itu sendiri.

Sasaran pembangunan di bidang ekonomi antara lain adalah terciptanya perekonomian yang mandiri dan andal, dengan. peningkatan kemakmuran rakyat yang merata. Perekonomian yang mandiri dan andal ini bercirikan industri yang kuat dan maju, koperasi yang sehat dan kuat, serta perdagangan yang maju dengan sistem distribusi yang mantap, didorong oleh kemitraan usaha. antara badan usaha koperasi, negara dan swasta serta pendayagunaan sumber daya alam yang optimal yang kesemuanya didukung oleh sumber daya manusia.[36]

Hal ini berarti bahwa, pengusahaan pertambangan tidak hanya bertujuan mening­katkan kesejahteraan bagi masyarakat secara ekonomis, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan secara ekologis, karena lingkungan hidup menjadi satu kesatuan dalam kebijakan pembangunan secara keseluruhan. Kebijakan pembangunan dengan memper­hatikan kemampuan fungsi lingkungan hidup dikenal dengan pola kebijakan pembangunan berkelanjutan yang ber‑wawasan lingkungan hidup (sustainable eco‑development).

Pembangunan berkelanjutan berwawasan Lingkungan hidup pada hakikatnya adalah Upaya sadar dan berencana untuk menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan nasional yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup. Dengan konsep ini berarti bangsa Indonesia menyelenggarakan pembangunan untuk kesejahteraan generasi masa kini dengan memberikan jaminan bagi generasi yang akan datang untuk mampu melanjutkan pembangunan dan menikmati kesejahteraan pula.

Untuk mewujudkan tujuan maupun sasaran pembangunan tersebut di atas diperlukan untuk melandasi dan mengamankan kebijakan‑kebijakan pelaksanaan pembangunan nasional, khususnya, yang berkaitan dengan kecenderungan timbulnya dampak negatif dalam pembangunan itu sendiri.

Salah satu sasaran bidang hukum adalah agar mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, serta mampu mengamankan dan mendukung pembangunan nasional, yang didukung oleh aparatur hukum, sarana, dan prasarana yang memadai serta masyarakat yang sadar dan taat hukum.[37]

Kebijaksanaan pembangunan materi hukum diarahkan pada, terwujudnya sistem hukum nasional sesuai tuntutan perkembangan zaman, dengan prioritas penyiapan materi hukum yang mampu mendukung pembangunan untuk menghadapi pasar bebas dunia dan persaingan global.[38]

Adanya kebijaksanaan untuk melakukan penggantian terhadap peraturan perundang‑undangan peninggalan kolonial maupun produk nasional yang bertentangan baik secara horizontal maupun vertikal satu dengan yang lainnya, merupakan suatu indikasi bahwa masih banyak terdapat berbagai peraturan perundang‑undangan nasional yang masih belum sinkron satu dengan yang lainnya. Hal tersebut sangat relevan mengingat kecenderungan global menghendaki adanya sinkronisasi dalam setiap kebijakan. Kebijakan suatu negara terhadap keseluruhan proses pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan HAM dan lingkungan hidup, turut mempengaruhi penilaian dan sikap dunia internasional terhadap negara tersebut.

Salah satu kebijakan yang sangat penting adalah kebijakan dalam penanggulangan kejahatan yang timbul sebagai akibat pembangunan. Dalam hal ini pembangunan itu sendiri bukanlah bersifat kriminogen. Akan tetapi pembangunan yang tidak direncanakan dan dilaksanakan dengan baik turut memicu timbulnya perbuatan‑perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat, misalnya timbulnya pencemaran dan perusakan pada lingkungan hidup. Dalam hal ini, diperlukan kebijakan kriminal untuk menanggulangi masalah‑masalah atau kondisi‑kondisi sosial yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan.[39]

Sejarah pengendalian dan penanggulangan kejahatan telah berlangsung sepanjang usia kehidupan manusia, karena kejahatan pada hakikatnya merupakan proses sosial (criminaliteit als social progress), sehingga. politik kriminal (criminal policy) harus dilihat dalam kerangka politik sosial (social policy), yakni usaha dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan warganya.[40] Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).[41]

Untuk itu diperlukan kebijakan yang rasional dan terpadu (integral) dari seluruh upaya penanggulangan kejahatan, baik dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), maupun sarana lainnya (non‑penal).

Dalam membuat suatu kebijakan yang rasional menurut Samodra Wibawa pembuat kebijakan harus mengetahui dengan pasti (dapat dibuktikan secara ilmiah: pen) berbagai hal berikut:[42]

a.       Preferensi nilai masyarakat dan kecenderungannya;

b.      Pilihan‑pilihan dan alternatif kebijakan yang tersedia;

c.       Konsekuensi dari setiap pilihan kebijakan;

d.      Rasio yang dicapai bagi setiap nilai sosial yang dikorbankan pada setiap alternatif kebijakan; dan

e.       Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.

Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Marc Ancel bahwa criminal policy ialah pengaturan atau penyusunan secara rasional usaha‑usaha pengendalian kejahatan oleh masyarakat.[43] Suatu politik kriminal yang rasional tidak lain daripada penerapan metode‑metode yang rasional ("...the characteristic of a rational criminal policy is nothing more than applications of rational methode').[44] Menurut G.P. Hoefhagels suatu politik kriminal harus rasional; kalau tidak demikian tidak sesuai dengan definisinya sebagai a rational total of the responses to crime. Hal ini penting karena konsepsi mengenai kejahatan dan kekuasaan atau proses untuk melakukan kriminalisasi sering ditetapkan secara emosional.[45]

Pendekatan yang rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan. Hal ini merupakan konsekuensi logis, karena seperti yang dikatakan oleh Sudarto, "dalam melaksanakan politik, orang mengadakan penilaian dan melakukan pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi.[46] Untuk memilih yang paling baik dan paling sesuai tentu diperlukan pertimbangan‑pertimbangan yang rasional.

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanagulangan kejahatan. Jadi kebijakan hukum pidana (penal policy) juga merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy). Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian "kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.[47]

            Sebagai bagian dari politik kriminal, Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah‑langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Ini berarti memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar‑benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana itu dalam kenyataaanya. Jadi diperlukan pula pendekatan yang fungsional; dan ini pun merupakan pendekatan yang melekat (inheren) pada setiap kebijakan yang rasional.[48] Pentingnya perhitungan terhadap semua faktor yang mampu mendukung dan berfungsinya hukum pidana itu agar jangan sampai hukum pidana diterapkan melebihi daya dukung sarana dan prasarana yang mengakibatkan mubazirnya kebijakan tersebut.

Dilihat secara lebih luas, kebijakan perundang‑undangan pidana merupakan bagian integral dari kebijakan perencanaan pembangunan nasional. Mengenai hubungan antara kebijakan pembangunan dan masalah peningkatan kejahatan, telah berulang kali dibicarakan dalam Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of offenders. Dalam salah satu. laporan Kongres PBB ke VI tahun 1980 di Venezuela antara lain menyatakan bahwa:[49] "...the correlation between development and increasing criminality could not be accepted as a principle ... development was not criminogenic perse, but could become such if it was not rasionally planned, disregarded cultural and moral values and did not include integrated social defence strategies ".

            Dalam konteks penyelenggaraan pembangunan di sektor pertambangan batubara sebagai kebijakan sosial (social policy) yang bertujuan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur sekaligus memberikan perlindungan terhadap masyarakat, di dalamnya tercakup pula kebijakan kriminal (criminal policy) untuk menanggulangi segala bentuk kejahatan yang timbul sebagai dampak kebijakan di bidang pertambangan batubara tersebut. Salah Satu cara yang dapat ditempuh untuk menanggulangi kejahatan sebagai dampak negatif kebijakan pembangunan di sektor pertambangan batubara adalah dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy).

2.    Hukum Pidana sebagai Administrative Penal Law dalam Penanggulangan Tindak Pidana Lingkungan Hidup Akibat Pengusahaan Pertambangan Batubara

Menyadari bahwa tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan‑peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama tetapi juga dengan aspirasi‑aspirasi warga masyarakat pada umumnya,[50] maka peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum, yakni sebagai satu kesatuan yang integral dari setiap kebijakan penanggulangan kejahatan.

Konsepsi kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral mengandung konsekuensi bahwa segala usaha yang rasional untuk menanggulanggi kejahatan harus merupakan kesatuan yang terpadu. Ini berarti kebijakan untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sanksi pidana, harus pula dipadukan dengan usaha‑usaha lain yang bersifat non penal.[51]

Sungguh tepat apa yang dikemukakan oleh Marc Ancel bahwa kebijakan hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhimya mempunyal tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang‑undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan. undang‑undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.[52] Selanjutnya dikemukakan oleh Marc Ancel pula bahwa sistem hukum pidana abad XX masih tetap harus diciptakan. Sistem demikian hanya dapat disusun dan disempumakan oleh usaha bersama semua orang yang beritikad baik dan juga oleh semua ahli di bidang ilmu‑ilmu sosial.[53]

Dengan dilatarbelakangi apa yang dikemukakan oleh Marc Ancel tersebut, Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata‑mata pekerjaan teknik perundang‑undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik. Disamping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.[54]

Dalam kerangka politik hukum, menurut Sudarto, politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang‑undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Selanjutnya beliau mengemukakan pula bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang‑undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa‑masa. yang akan datang.[55]

Berhubungan dengan upaya mewujudkan perundang‑undangan hukum pidana yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan jaman, kebijakan hukum pidana (strafrechtspolitiek) menurut A. Mulder merupakan garis kebijakan untuk menentukan:[56]

a.    seberapa jauh ketentuan‑ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;

b.    apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

c.    cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

Herbert L. Packer[57] mengemukakan bahwa usaha pengendalian perbuatan anti sosial dengan mengenakan pidana pada seseorang yang bersalah melanggar peraturan pidana, merupakan "suatu problem sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting”. Hal tersebut disebabkan oleh karena banyaknya kelemahan dan efek samping yang dapat timbul dalam masyarakat dari pengenaan pidana itu sendiri. Oleh karena itu pula pidana seharusnya hanya dipanggil (ultimum remedium) manakala sarana lain sudah tidak mampu menyelesaikan suatu problem sosial yang mengganggu atau mengancam ketertiban sosial.

Herbert L. Packer yang juga membicarakan masalah pidana ini dengan segala keterbatasannya di dalam. bukunya "The Limits of Criminal Sanction", akhimya menyimpulkan antara lain sebagai berikut:[58]

a.    Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana (The criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the foreseeable future, get along without it).

b.    Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman­-ancaman dari bahaya. (the criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats ofharms).

c.    Sanksi pidana suatu ketika merupakan "penjamin yang utama terbaik" dan suatu ketika merupakan "pengancam yang utama" dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan sccara paksa. (The criminal sanction is at once prime guarantor avid prime threatener of human freedom. Used providently and humanel it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is Y, threatener).

Dengan memahami keterbatasan‑keterbatasan sanksi pidana, maka penggunaan hukum pidana, menurut Sudarto harus memperhatikan hal‑hal yang pada intinya sebagai berikut:[59]

a.    Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

b.    Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan spiritual) atas warga masyarakat.

c.    Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip‑prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle).

d.    Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan‑badan penegak hukum, jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting).

Dalam rangka menanggulangi dampak pertambangan batubara dengan menggunakan sarana hukum pidana, maka tahap formulasi[60] merupakan tahap penting dan strategis karena merupakan dasar/landasan untuk tahap aplikasi dan eksekusi. Pada tahap formulasi inilah ditentukan perbuatan/kegiatan apa saja yang seharusnya di kriminalisasi, sanksi apa yang paling sesuai diterapkan pada pelaku, dan bagaimana sistem pertanggungjawabannya.

Hal ini nampak dari program kerja The Commission on Crime Prevention and Criminal Justice 1992‑1996 yang menyoroti secara khusus dan diprioritaskannya keterkaitan antara masalah lingkungan hidup dengan sistem peradilan pidana. Atas dasar itulah, Kongres ke‑9 PBB tentang Pencegahan kejahatan dan pembinaan pelaku kejahatan pada tanggal 29 April ‑ 8 Mei 1995 di Cairo, menjadikan masalah lingkungan hidup sebagai salah satu agenda utama.[61]

            Di dalam draft resolusi yang diajukan, dan kemudian menjadi resolusi, sepanjang menyangkut "environmental protection diaJukan beberapa proposal sebagai berikut:[62]

a.      The right to enjoy an adequate environment and the duty to preserve the environment should be estabilished in all legislations at the national level;

b.      A chapter concerning environmental offenses should be included in penal codes;

c.       The necessary measures should be introduced to ensure that dainage to the environment is repaired, either bytransgressors themselves or by the state;

d.      Cooperation agreements should be established between states, includina provisions for the exchange of experiences on prevention programmes and legislative effectiveness;

e.       The subject of environmental protection should be included at all educational level, and specifically in curriculla for the study of criminal law, and human resources should also be developed to deal with these new problems, by means of degree courses, post graduate, seminars and any otherform of training;

f.        Not only should environment offences be established as a class of offencc ill penal codes, but also, in the administrative area, offending enterprises should be subject tofinancial penalties;

g.      Regarding penal sancsions themselves, the principle of subjective culpabilifY should be maintained



Sehubungan dengan itu para anggota PBB diminta untuk:

1.    To consider enacting environmental protection legislation reflecting the importance of a healthy environment, in order to preserve and protect the environment;

2.    To consider enacting penal provisions on the protection of the environment and to consider the protection of endangered species and cultural property under similar provisions;

3.    To consider the creations of special bodies in the protection oJ the environment, such as special prosecutors or specialized investigative bodies, bearing in mind the role such bodies can play in developing skills and raisingpublic awareness;

4.    To consider encouraging the inclusions of the role of criminal laiv in the protection of the environment as a subject in curricula for the study of criminal law and the training of law enforcement and criminaljustice personnel.

Selama ini telah menjadi sesuatu yang dianggap wajar pada setiap perundang-undangan mencantumkan ketentuan pidana yang mengatur tentang jenis tindak pidana, ancaman pidana, maupun pertanggungjawaban pidana bagi yang melakukan pelanggaran ketentuan‑ketentuan yang diatur oleh undang‑undang tersebut. Ketentuan pidana yang tercantum dalam undang‑undang di luar hukum pidana itu dapat dikategorikan sebagai administrative penal law atau public welfare offenses (ordnungswidrigkeiten)[63] yang memberi kesan ringannya perbuatan tersebut. Dalam hal ini fungsi hukum pidana bersifat menunjang sanksi‑sanksi administratif untuk ditaatinya norma‑norma hukum administrasi. Dengan sifatnya sebagai penunjang untuk ditaatinya norma‑norma administratif, maka pertimbangan‑pertimbangan dalam kebijakan hukum pidana yang dituangkan dalam ketentuan pidananya juga mengacu pada kepentingan sektor yang diatur undang‑undang tersebut.

Sebagai penunjang ketentuan administratif pula, maka kebijakan hukum pidana sebagaimana tertuang di dalam perundang‑undangan pertambangan tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pembangunan nasional yang menitik beratkan pada pertumbuhan ekoonomi yang didasari pertimbangan‑pertimbangan rasional bahwa peningkatan ekonomi akan menjadi penggerak utama dan mempercepat penyelenggaraan pembangunan itu sendiri. Dengan pertimbangan yang demikian, maka dapat dipahami apabila kebijakan hukum pidananya pun juga berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.

Hal tersebut dapat dilihat dalam UUPU dimana kebijakan pembangunan sektor pertambangan adalah melakukan pengusahaan penambangan sebesar‑besamya untuk menghasilkan devisa bagi negara, sehingga rumusan ketentuan pidananya lebih menitik­beratkan perlindungan hukum terhadap investor daripada terhadap lingkungan maupun korban yang timbul akibat pengusahaan pertambangan. Dalam ketentuan pidana UUPU ini dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan kegiatan penambangan secara tidak sah diancam dengan pidana penjara selama‑lamanya enam tahun dan/atau denda setinggi-tinginya RP 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan perbuatan itu merupakan kejahatan. Akan tetapi bagi pemegang KP yang tidak melaksanakan kewajibannya dalam melakukan pemulihan lahan bekas penambangan batubara (yang menimbulkan kerusakan lingkungan hidup), hanya merupakan pelaku pelanggaran yang diancam dengan pidana kurungan selama‑lamanya tiga bulan dan/atau denda setinggi‑tingginya Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).[64]

Sebagai penunjang untuk ditaatinya norma‑norma administratif, maka ketentuan pidana yang tertuang di satu peraturan perundang‑undangan seharusnya sinkron dengan ketentuan pidana di dalam peraturan perundang‑undangan yang lain yang mengatur sektor yang sama. Dalam penanggulangan dampak terhadap lingkungan akibat pertambangan batubara, maka seharusnya ketentuan pidana yang tercantum dalam perundang‑undangan pertambangan, perindustrian, kehutanan, pengelolaan lingkungan, dan lain‑lain yang., saling berkaitan serasi/sesuai secara horizontal. Demikian pula peraturan perundang‑undangan di bidang pertambangan itu sendiri, secara vertikal harus serasi/sesuai dengan peraturan­peraturan yang ada di atasnya.

Penggunaan sanksi pidana (disamping sanksi administratif) pada berbagai peraturan di luar hukum pidana, termasuk di bidang pertambangan dan lingkungan hidup, juga pada perundang‑undangan lainnya, masih menimbulkan sikap pro dan kontra di berbagai kalangan, sebagaimana pandangan terhadap keefektifan dari sanksi pidana itu sendiri dalam menanggulangi kejahatan yang selalu dipersoalkan.

Persoalan tindak pidana lingkungan menjadi semakin kompleks karena juga merupakan masalah etika baik sosial maupun bisnis, jadi yang dilindungi hukum pidana juga meliputi masa depan kemanusiaan yang kemungkinan menderita akibat degradasi lingkungan hidup (the anthropocentric aproach), sehingga timbul istilah "the environmental­ laws carry penal sanction that protect a multitude of interest"[65]

Keterkaitan yang erat antara pembangunan, lingkungan hidup, dan hukum menimbulkan urgennya sinkronisasi kebijakan khususnya hukum pidana di ketiga bidang tersebut. Jadi sinkronisasi kebijakan hukum pidana di sini berarti, bahwa kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang‑undangan untuk menanggulangi dampak pertambangan batubara, serasi secara vertikal sesuai hirarki peraturan perundang­undangan yang berlaku. Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, tata urutan peraturan perundang‑undangan adalah sebagai berikut:

1.    Undang‑undang Dasar 1945

2.    Ketetapan MPR     

3.    Undang‑undang/Perpu

4.    Peraturan Pemerintah

5.    Keputusan Presiden

6.    Peraturan‑peraturan pelaksanaan lainnya: seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan seterusnya.

            Tinjauan taraf sinkronisasi vertikal ini dapat dilakukan secara kronologis sesuai dengan urutan‑urutan waktu dikeluarkannya peraturan perundang‑undangan tersebut. Selain itu perlu pula penelaahan fungsi masing‑masing peraturan perundang‑undangan tersebut, seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, Instruksi Menteri dan lain sebagainya.[66]

Secara horizontal undang‑undang di sektor pertambangan dapat dililiat apakah sudah selaras dengan undang‑undang sektor lain Yang mengatur tentang dampak terhadap lingkungan hidup. Dalam hal ini sinkronisasi[67] dalam taraf horizontal berarti penyesuaian dari segala. usaha dan kegiatan dengan rencana induk, sehingga waktu dan urutan pekerjaan dapat diselaraskan secara serasi, berdaya guna dan berhasil guna.



53 Dalam hal ini Marc Ancel mengatakan bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen yaitu “Criminology”, “Criminal Law”, dan “Penal Policy”. Selanjutnya Marc Ancel mengatakan “Between the study of criminology factor on the one handa and the legal technique on the other there is the room for science which observes legislatives phenomenon and for a rational act within which sholar and practioner, criminologist and lawyers can come together, not asa antagonist or in faractricidal strife, but as fellowworkers angaged in common task, which is first and foremost to bring into effect a realistic, and healthy progressive penal policy”. Lihat: Barda Nawawi Arief, (1) op. cit., hal 23-24
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahaa Indonesia Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal. 115
[3] Barda Nawawi Arief (I), op cit., hal. 27
[4] Barda Nawawi Arief (IV), Kebijakan legislative dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, CV. Ananta, Semarang, 1994, hal. 63
[5]Robert R. Mayer dan Ernest Greenwood, dalam Barda Nawawi Arief (I), ibid, hal. 63
[6] Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional, Disertasi, Surabaya, 1987, hal. 5
[7] Lihat: Henry Campbell Balck, et. Al., ad., Black’s law Dictionary, Sixth Edition, St. Paulminn West Publishing C. O., 1990, hal. 1157. Antara lain disebutkan bahwa PolicyI merupakan: “the general principles by which government is guidd in its management of public affair, or the legislator in its measures … this term, as applied to a law, ordinance, or rule of law, denotes its general purpose or tendency considered as directed to the welfare or prosperity of the state community”.
[8] Sudarto, (1), Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977, hal. 159 dan Sudarto, (II), Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, 1983, hal. 20
[9] Dalam hal ini Marc Ancel mendefinisikan penal policy sebagai “yaitu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif (dalam hal ini hukum pidana) dirumuskan secara lebih baik. Lihat Barda Nawawi Arief,(1), Op. cit., Hal. 28”
[10] Ibid.
[11] Ibid., hal. 29
[12] Strafrechtspolitiek is de beleidslijn on te bepalen: in welk opzicht de bestaande strafbepalingen herzien dienen te worden; … gedaan kan worden op strafrechtelelijk gedrad te voorkomen; hoe de opsporing, vervolging, berechting en tenuitvoerlegging van straffen dient te verloven”. Lihat: Barda Nawawi Arief (1), Ibid., hal. 28-29
[13] Marc Ancel mendefinisikan kebijakan kriminal sebagai “the rational organization of the control of crime by society”, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “criminal policy is the rational organization of social reactions to crime”, sedangkan Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal yaitu: dalam arti sempit ialah keseluruhan asas dan metoda yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; dalam arti yang paling luas (diambil dari Jorgen Japson) ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Lihat: Ibid. Hal. 1-2
[14] Ibid. Hal. 49
[15] Barda Nawawi Arief, dalam: Muladi dan Barda Nawawi Arief, (II), Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hal. 92.
[16] Dalam salah satu laporan Kursus Latihan ke-34 yang diselenggarakan oleh UNAFEI di Tokyo tahun 1973 antara lain menyatakan: “Most of group member agreedsome discussion that ‘protection of the society could be accepted as the final goal of criminal policy’, although not the ultimate aim of society, which might perhaps be described by term like ‘happiness of citizens’, ‘a wholesome and cultural living’, ‘social welfare’ or equality’,” Lihat Barda Nawawi Arief, (I), Op. cit., hal.2-3
[17] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal (criminal Policy), Bahan Penataran Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 9-13 September 1991, hal. 3. Bandingkan dengan: Barda Nawawi Arief, (I), Op. cit., hal. 3
[18] Penegasan perlunya upaya penanggualangn kejahatan diintegrasikan dengan keseluruhan kebijakan sosial dan perencanaan pembangunan tersebut terungkap dalam pernyataan-pernyataan para ahli seperti Sudarto dan W. Cliford dan dalam berbagai Kongres PBB mengenai “Prvention of Crime and the Treatment of Offenders” Periksa: Ibid., hal 4-8
[19] Ibid., hal. 32
[20] Disarikan dari pendapat Sudarto dan Bassioni, serta dari Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional di Semarang pada bulan Agustus 1980. Lihat Ibid., hal. 33-36. Lihat pula: Sudarto, (I), Op.cit., hal 44-48
[21] Barda Nawawi Arief, (I), Op. cit., hal. 39-40
[22] Ibid., hal. 31‑32. Lihat pula dalam: Barda Nawawi Arief, (IV), Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana: Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia, Naskah Pidato Pengukuhan. Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 25 Juli 1994, hal. 16.
[23] Selain itu pula harus dingat bahwa analisis kebijakan diidentifikasi didasarkan pada efisiensi, efektivitas feasibilitas, dan etik. Analis kebijakan adalah sescorang yang bekerja berpa3angan dengan penyusun kebijakan dengan mengkaji informasi‑informasi yang relevan yang berkaitan dengan pilihan‑pilihan nilai yang dihadapi dalarn penyusunan keputusan. Lihat: Robert R. Meyer dan Ernest Greenwood, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial. (The Desizn of Social Policv Research), Alih Bahasa oleh: Sutan Santi Arbi, et. al., Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 27
[24] Emil Salim (II), Lingkungan dan Pembangunan, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, Cet. Ke‑8, 199 1, hal. 233‑26
[25] Ibid., hal. 91
[26] Koesnadi Hardjasoernantri, (1), Hukum Tata Lingkungan, Cet. Kedelapan, Gadjah, Mada University Press, Yogyakarta, 1991, hal.
[27] Lihat: Siti Sundari Rangkuti (1), Hukurn Lingkungan dan Kebiiaksanaan Lingkungan dalarn Proses Pernbangunan Hukurn Nasional Indonesia, Disertasi, Surabaya, 1987, hal 5
[28] Koesnadi Hardjasoemantri, (1), Op. cit., hal. 14
[29] Harun M. Husien, Lingkungan‑Hidup, Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, hal. 54‑56
[30] Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Pidana Lingkungan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 112
[31] Jaro Madya, dalam Harun M. Husein, Op. cit, hal. 170
[32] Pasal I butir 12 UUPLH
[33] Pasal I butir 14 UUPLH
[34] Dalam UUPPLH, Ancaman pidana bagi pelaku TPLH, Maksimum denda 15 milyar rupiah, maksimum pidana penjara 15 tahun
[35] Bidang Ekonomi meliputi sektor‑sektor: Industri, Pertanian, Koperasi, Perdagangan, Tenaga Keria, Transportasi, Pos, Telekomunikasi, dan Infomiatika, Pariwisata, Pertambangan, Energi, Kehutanan, Pembangunan Daerah, Transmigrasi, Kelautan, Kedirgantaraan, Usaha nasional, Keuangan, Lingkungan hidup, pertanahan, dan Investasi. (GBHN 1998)
[36] Dikutip dari Tap MPR No. II/MPR/1998 Tentang GBHN
[37] Ibid
[38] Ibid
[39] Lihat: Barda Nawawi Arief (1), op cit., hat. 10
[40] Muladi (1), Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang 1995, hal. 18
[41] Barda Nawawi Arief (1), op cit. hal. 2
[42]Samodra Wibawa, Kebijakan Publik Proses dan Analisis, InterTnedia, Jakarta, 1994, hal. 10. Lihat juga: Miftah Thoha, Dimensi‑dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1986, hal. 74. Lihat juga: Charles O. Jones, Penggantar Kebiiakan Publik (Public Policy) Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 48‑49
[43] Marc Ancel, dalam Barda Nawawi Arief (11), Kebiiakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1996, hal. 31
[44] Karl O. Christiansen, dalam Barda Nawawi Arief (11), lbid, hal.38
[45] GP. Hoefinagels, The Other Side of Criminology, Kluwer, Deventer, Holland, 1973, hal. 99, 102 dan 106. Lihat juga dalam: Barda Nawawi Arief, (11), Op. cit., hal.38
[46] Sudarto (1), Op. cit., hat 161
[47] Barda Nawawi Arief (1), Op. cit., hal. 29
[48] Barda Nawawi Arief (H), Op. cit., hal. 38
[49] Sixth United Nations Congress, Report, 1981, hal. 42
[50] Marc Ancel, Barda Nawawi Arief, dalam: Muladi & Barda Nawawi Arief (11), Teori‑teori dan Kebiiakan Pidana Alumni, Bandung, 1992, Hal. 154
[51] Barda Nawawi Arief (11), op cit, hal. 33
[52] Marc Ancel, dalam Barda Nawawi Arief (1), hal. 23
[53] Marc Ancel, dalam Barda Nawawi Arief (1), Ibid, hal 24
[54] Ibid
[55] Sudarto (1), op cit., hal. 93, 109 dan 161
[56] A. Mulder, dalam Barda Nawawi Arief (1), op cit, hal. 28
[57] Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968, hal. 3. Lihat juga Barda Nawawi Arief (11), op cit, hal. 17
[58] H.L. Packer, dalarn Barda Nawawi Arief, dalam: Muladi & Barda Nawawi Arief (II), Ibid, hal. 155‑1‑56
[59] Sudarto, dalam Barda Nawawi Arief (1), op cit, hal. 33 dan 34
[60] Lihat: Muladi (1), op cit., hat 13. Lihat juga: Muladi dan Barda Nawawi Arief (11), op cit., hat. 173
[61] Muladi (11), Hak Asasi manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1997, hal. 187
[62] Ibid, Hal 187‑188
[63] Muladi (III), Prinsip‑prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan dalam Kaitannya dengan UU No. 23 Tahun 1997, Makalah disampaikan pada Seminar nasional Kajian dan Sosialisasi UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UNDIP, Semarang, 21 Februari 1998, hal. 18 dan 19. Lihat juga: Muladi (IV), dalam Jurnal Hukurn Pidana dan Kriminologi, Vol. I/Nomor 1/1998, ASPEHUPIKI & PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 9
[64] Pasal 33 UUPU. Lihat juga: Pasal 67 PP. No. 32/1969 Tentang Pelaksanaan Ketentuan‑ketentuan Pokok Pertambanaan. Dalam UU Minerba (UU No.4/2009), Ancaman pidana denda maksimum sebesar 10 milyar rupiah, dan ancaman pidana penjara maksimum 10 tahun.
[65] Muladi (III), op cit.
[66] Lihat: Ronny Soemitro Hanitijo (1), Metodologi Penclitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 29‑30
[67] Lihat: Ateng Sya,'rudin, Pengaturan Koordinasi Pernerintahan di Dacrah, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 114 1993, hal. 78




BAB V
PENUTUP

A.     Kesimpulan Umum
Lingkungan hidup adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh umat manusia yang harus dijaga kelestariannya demi kesejahteraan umat manusia yang ada sekarang maupun bagi generasi yang akan datang.
Suatu kebijakan sosial yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah penyelenggaraan pembangunan yang pada hakikatnya merupakan upaya sadar untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam guna meningkatkan mutu kehidupan rakyat.
Peningkatan mutu kehidupan masyarakat sangat ditentukan oleh ketersediaan energi yang sangat dibutuhkan dalam setiap aktivitasnya. Sayangnya sumber energi primer lebih banyak berasal dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, seperti minyak dan gas, batubara, dan lain-lain. Padahal  kebutuhan energi semakin besar seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dan semakin bertambahnya jenis aktivitas masyarakat.
Pemenuhan kebutuhan energi, baik untuk keperluan dalam negeri maupun sebagai penghasil devisa untuk pembayaran pembangunan, telah mengakibatkan terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam yang pada umumnya berdampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Salah satu sektor pembangunan di bidang energi, adalah pengusahaan pertambangan batubara yang sangat potensial menimbulkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, karena pada dasarnya “menambang sumber daya alam sama dengan merusak alam”.
Untuk menanggulangi problem lingkungan inilah dikembangkan kebijakan pengelolaan lingkungan sebagai suatu sistem terpadu. Diundangkannya Undang-undang tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang berfungsi sebagai undang-undang payung bagi semua ketentuan yang berkaitan dengan lingkungan hidup, merupakan langkah nyata menuju keterpaduan sistem pengelolaan lingkungan hidup.
Salah satu sarana yang digunakan agar ditaati dan ditegakkannya norma-norma lingkungan hidup, khusunya untuk menanggulangi dampak lingkungan hidup akibat berbagai aktivitas manusia, adalah dengan menggunakan sarana hukum pidana.
Sekalipun telah digunakan sarana hukum pidana dalam pencegahan dan penanggulangan kegiatan yang menimbulkan dampak lingkungan hidup, tidak serta merta dapat ditanggulangi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup itu sendiri. Hal tersebut terlihat dalam kegiatan pengusahaan pertambangan batu bara yang telah menimbulkan dampak lingkungan hidup yang cukup besar.
B.     Kesimpulan Khusus
1.      Kebijakan hukum pidana yang tertuang dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan penanggulangan dampak lingkungan hidup, khususnya akibat pengusahaan pertambangan batubara memperlihatkan bahwa:
a.       Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan dampak lingkungan hidup mempunyai keterkaitan yang erat dengan kebijakan hukum administrasi, bahkan pada tataran pelaksananya kebijakan hukum pidana secara implisit telah menerima gagasan ‘kesatuan tertib hukum’, di mana perbuatan yang telah dinyatakan sebagai perbuatan yang diperbolehkan oleh hukum administrasi, tidak dapat dinyatakan sebagai perbuatan terlarang oleh hukum pidana.
b.      Sebagai konsekuensi bahwa sarana hukum pidana hanya digunakan bilamana sarana lain tidak lagi memadai (ultimum remedium), kebijakan hukum pidana lebih bersifat hanya sebagai pengaman dari kebijakan hukum administrasi.
c.       Penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana pada umumnya didasarkan pada pelanggaran kewajiban administratif yang harus dipenuhi oleh pemegang Kuasa Pertambangan.
d.      Penentuan sanksi lebih menitikberatkan pada pertimbangan ekonomis ketimbang ekologis.
e.       Pertanggungjawaban pidana meliputi orang dan badan hukum. Bilamana pelaku tindak pidana adalah badan hukum, pidana dapat dijatuhkan kepada anggota pengurus dan/atau badan hukum yang bersangkutan.
2.    a. Kebijakan hukum pidana di masa yang akan datang dalam menanggulangi dampak lingkungan dan memberikan perlindungan terhadap korban akibat pengusahaan pertambangan batu bara merupakan suatu hal yang sangat urgen mengingat besarnya dampak lingkungan hidup dan korban yang timbul akibat pengusahaan pertambangan batubara, seperti:
1) Rusaknya dan/atau tercemarnyaa lingkungan fisik-kimia, biologi dan social budaya baik pada tahap penambangan, pengangkutan, maupun pemanfaatan batubara. Dampak lingkungan hidup ini sebagian besar bersifat permanen. Realisasi reklamasi dan revegetasi sangat rendah
2) Korban (perorangan maupun kolektif) pada umumnya kurang menyadari bahwa mereka telah menjadi korban nyata maupun korban potensial dari pengusahaan pertambangan batubara.
3). Lingkungan hidup serta korban belum memperoleh perlindungan yang selayaknya. Hal tersebut terlihat baik dari penjabaran kebijakan hukum pidana maupun kebijakan hukum administrasi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
a.    Kebijakan hukum pidana di masa yang akan datang dalam menanggulangi dampak lingkungan dan memberikan perlindungan terhadap korban akibat pengusahaan pertambangan batubara dapat diupayakan melalui:
1)      Sinkronisasi kebijakan hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penanggulangan tindak pidana lingkungan hidup. Sinkronisasi tersebut meliputi sinkronisasi struktural, substansial dan kultural.
2)      Pemberdayaan upaya nonpenal dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan penggunaan sarana hukum pidana, khususnya akibat ‘ketergantungan administratif dari hukum pidana’.

C.     Rekomendasi/Saran
1.      Kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan DLH akibat pengusahaan pertambangan batubara yang memiliki keterkaitan bahkan ketergantungan terhadap hukum administrasi hendaknya diterima sebagai sesuatu yang wajar. Untuk itu hendaknya diefektifkan sosialisasi kepada segenap pihak yang terkait bahwa dalam penanggulangan DLH, peranan hukum pidana dan hukum administrasi seyogyanya tidak dibedakan secara dikhotomis, agar tidak melemahkan semangat penegakan norma-norma lingkungan hidup oleh aparat penegak hukum.
2.      a. Dampak lingkungan hidup yang timbul akibat pengusahaan pertambangan dan korban yang memerlukan perlindungan hendaknya diantisipasi oleh kebijakan hukum pidana, khusunya berkenaan dengan perluasan kewenangan (diskresi) para pengambil keputusan. Diskresi yang besar selayaknya dibebani tanggung jawab yang besar pula. Hal ini berarti diperlukan ketentuan pidana yang mengatur juga pertanggung jawaban pidana oleh pejabat pengambil keputusan
b. Kebijakan hukum pidana di masa yang akan datang dalam menanggulangi DLH serta memberikan perlindungan terhadap korban selain melalui sinkronisasi kebijakan, seyogyanya pula:
1)    Melakukan transformasi dan harmonisasi kecenderungan internasional dalam penanggulangan TPLH ke dalam system hukum pidana lingkungan nasional, dengan penyesuaian-penyesuaian selaras dengan situasi dan kondisi di Indonesia
                 2)    Memberdayakan upaya nonpenal dengan mengoptimalisasi peranan pers dan media massa dalam penanaman kesadaran dan semangat kepedulian terhadap lingkungan hidup. Hal tersebut seyogyanya terus menerus diberikan kepada masyarakat untuk meningkatkan pemahaman akan kewajiban berperan serta aktif dalam melakukan perlindungan dan control terhadap pengelolaan lingkungan hidup.






DAFTAR PUSTAKA


Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2004
Adian, Donny Gahral, Percik Pemikiran kontemporer –Sebuah Pengantar Komprehensif-, Jalasutra, Yogyakarta, 2005
Abdul Aziz, Yaya M. (Ed.), Visi Global –Antisipasi Indonesia Memasuki Abad ke 21, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998
Amirin, Tatang M., Penyusunan Rencana Penelitian, CV. Rajawali, Jakarta, 1986
Asshiddiqie, Jimly, Green Constitution, Rajawali Press, Jakarta, 2009
Bachriadi, Dianto, Merana di Tengah Kelimpahan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 1998
Bintliff, Russel L., White Collar Crime, Detection and Prevention, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, 1993
Black, Henry Campbell, et., al., Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul, Minn, West Publishing Co., 1990
Blackburn, John O., Enerji Terbarui –Menyongsong Kemakmuran Tanpa Enerji Nuklir dan Batubara, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1987
Blau, Peter M. and Marshall W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Edisi Kedua, Gary R. Jusuf (Penerjemah), UI Press, 1987
Borgatta, Edgar F. and Marie L. Borgatta, (Ed. Board), (I), Encyclopedia of Sociology, Vol. I, Macmillan Publishing Co., New York, Maxwell Macmillan Canada, Toronto, Maxwell Macmillan International, New York – Oxford – Singapore – Sydney, 1991
----------------------, (II), Encyclopedia of Sociology, Vol. II, Macmillan Publishing Co., New York, Maxwell Macmillan Canada, Toronto, Maxwell Macmillan International, New York – Oxford – Singapore – Sydney, 1991
Box, Steven, Power, Crime and Mystification, Tavistock Publications, London and New York, 1983
Brown, Lester R., Jangan Biarkan Bumi Merana, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993
---------------------, Tanda-tanda Zaman Era 90-an, Yayasan Obor Indonesia, 1995 
Brown, Lester R. et al., Menyelamatkan Planet Bumi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994
Cannon, Tom, Corporate Responsibility, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 1992
Cleveland, Harlan, Lahirnya Sebuah Dunia Baru, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995
Clinard, Marshall B. and Peter C. Yeager, Corporate Crime, The Free Press A Division of Macmillan Publishing Co., Inc., New York, Collier Macmillan Publishers, London, 1980
Djajadiningrat, Surna T., et., al., (Penyunting), Ecolabelling dan Kecenderungan Lingkungan Hidup Global, PT. Bina Rena Pariwara, Jakarta, 1995
Drapkin, Israel and Emilio Viano, (Ed.), Victimology, Lexington Books, D. C. Heath and Company, London, 1975
Dror, Yehezkel, Ventures in Policy Sciences –Concepts and Applications, Elsevier, New York, 1971
Dye, Thomas R., Understanding Public Policy, Third Edition, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, N. J., 1978
Elving, Ronald D., Confict and Compromise –How Congress Makes the Law-, Simon & Schuster, Rockefeller Center, New York, 1995
Flavin, Christtopher and Nicholas Lenssen, Gelombang Revolusi Energi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995
Foley, Gerald, Pemanasan Global –Siapakah yang Merasa Panas?-, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993
Gintings, perdana, Mencegah dan Mengendalikan Pencemaran Industri, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995
Gosita, Arif, (I), Relevansi Viktimologi dengan Pelayanan terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan), Ind. Hill-Co, Jakarta, 1987
----------------, (II), Viktimologi dan KUHAP –Yang Mengatur Ganti Kerugian Pihak Korban-, Akademika Pressindo, Jakarta, 1987
Hadisuprapto, Paulus, (Ketua Tim Peny.), Kapita Selekta Hukum, Menyambut Dies Natalis Ke 50  Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, FH UNDIP, Semarang, 2007
HAM, Musahadi, et., al., Mediasi dan Resolusi Konflik di Indonesia: Dari Konflik Agama hingga Mediasi Pengadilan, WMC (Walisongo Mediation Centre) IAIN Walisongo Semarang, Semarang, 2007
Hamzah, Andi, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005
Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Cet. Kedelapan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991
-------------------, (II), Hukum Tata Lingkungan, Edisi Keenam, Cet. Keduabelas, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1996
------------------, (III), Environmental Legislation in Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1985
Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-21, Alumni, Bandung, 1994
Hatrik, Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
Hidayat, Arief & FX. Adji Samekto, Kajian Kritis Penegakan Hukum Lingkungan di Era Otonomi Daerah, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007
Hoefnagels, GP., The Other Side of Criminology, Kluwer, Deventer, Holland, 1973
HS, Salim, Hukum Pertambangan di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2005
Hufschmidt, Maynard M., Lingkungan, Sistem Alami, dan Pembangunan –Pedoman Penilaian Ekonomis-, Cet. Ke-3, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1996
Husein, Harun M., Lingkungan Hidup –Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya-, (Cet. Ke-2), Bumi Aksara, Jakarta, 1995
Jones, Charles O., Pengantar Kebijakan public (Public Policy), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
Kartasapoetra, G., et., al., Teknologi Konservasi Tanah dan Air, Bina Aksara, Jakarta, 1985
Keraf, A. Sonny dan Robert Haryono Imam, Etika Bisnis –Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur-, Penerbit Kanisius, Jakarta, 1995
Keraf, Gorys, Komposisi –Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa-, Nusa Indah, Ende, Flores, 1984
Kerlinger, Fred N., Asas-asas Penelitian Behavioral, (Terj. Landung R. Simatupang), Cet. Kelima, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1996
Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (The World Commission on Environment and Development), Hari Depan Kita Bersama, PT. Gramedia, Jakarta, 1988
Koewadji, Hermien Hadiati, Hukum Pidana Lingkungan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993
Kunarto (Penyadur), Ikhtisar Implementasi Hak Asasi Manusia dalam Penegakan Hukum, Cipta Manunggal, Jakarta, 1996
Kuntowijoyo, Demokrasi dan Budaya Birokrasi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1994
Lotulung, Paulus Effendi (Penyusun), Himpunan Makalah Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994
Meliala, Adrianus, (Penyunting), Praktik Bisnis Curang, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993
Menkel-Meadow, Carrie, (Ed.), Mediation –Theory, Policy and Practice, Dartmouth Publishing Company Limited, Burlington, 2001
Milles Matthew B. & A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, (Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi), UI-Press, Jakarta, 1992
Muliono, Tristam P., (Penerjemah), Kekhawatiran Masa Kini –Pemikiran mengenai Hukum Pidana Lingkungan dalam Teori dan Praktek-, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994
Muladi, (I), Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1995
---------, (II), Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1997
---------, (III), Prinsip-prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan dalam Kaitannya dengan UU No. 23 Tahun 1997, UNDIP, Semarang, 21 Februari 1998
Muladi dan Barda Nawawi Arief, (I), Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992
--------------, (II), Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992
Naisbitt, John, Global Paradox, (Cet. I), Binarupa Aksara, Jakarta, 1994
National Geographic Indonesia, Detak Bumi – Laporan Khusus tentang Tren Global-, Kompas Gramedia, Jakarta, 2008
Nawawi Arief, Barda, (I), Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
------------, (II), Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1996
------------, (III), Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, UNDIP, Semarang, 1997
------------, (IV), Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan, Diucapkan pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 25 Juni 1994
-------------, (V), Kebijakan Kriminal (Criminal policy), Bahan Penataran Kriminologi, FH UNPAD, Bandung, 9-13 September 1991
-------------------------, (VI), Penelitian Hukum Normatif (Suatu Upaya Reorientasi Pemahaman), Disajikan dalam Penataran Metodologi Penelitian Hukum di Universitas Djenderal Soedirman, Purwokerto, 11-15 September 1995
-----------------------, (VII), Bahan Matrikulasi Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2002
------------------------, (VIII), (Peny.), Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi (Bahan Bacaan Kapita Selekta Hukum Pidana, Program Magister (S2) Ilmu Hukum, UNDIP, Semarang, 1999
-----------------------, (IX), Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Disajikan dalam Seminar Nasional “Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Governance”, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, di Inter Continental Hotel, Jakarta, 27 Maret 2007
Packer, Herbert L., The Limits of Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968
Pamulardi, Bambang, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
Rahardjo, Satjipto, (I), Hukum dalam Perspektif Sosial, Alumni, Bandung, 1981
Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya, 1996
Reksodiputro, Mardjono, (I), Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta, 1994
-------------------, (II), Kriminologi dan Sistem peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta, 1994
------------------, (III), Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdianale, Kirkpatrick, Revolusi Hijau –Sebuah Tinjauan Historis-Kritis Gerakan Lingkungan Hidup di Amerika Serikat-, Yayasan Obor, Jakarta, 1996
Rhiti, Hyronimus, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2006
Salim, Emil, (I), Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Cet. Keenam, LP3ES, Jakarta, 1993
------------, (II), Lingkungan Hidup dan Pembangunan, PT. Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 1995
Salindeho, John, Undang-undang Gangguan dan Masalah Lingkungan, Sinar Grafika, Ujung Pandang, 1989
Samekto, Adji FX., Studi Hukum Kritis: Kritik terhadap Hukum Modern, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2003
Sastrawijaya, A. Tresna, Pencemaran Lingkungan, Rineka Cipta, Jakarta, 1991
Schafer, Stephen, The Victim and His Criminal, Random House, Inc., New York, 1968
Sigit, Soetaryo, Industri Pertambangan Batubara Indonesia, PT. Geoservises (LTD), Bandung, 1997
Silalahi, Daud, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Edisi Revisi (Kedua), Cet. Pertama, Alumni, Bandung, 1996
Sixth United Nations Congress, Report, 1981
Soedjono, Dirdjosisworo, Kejahatan Bisnis (Orientasi dan Konsepsi), Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1994
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta,
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif -Suatu Tinjauan Singkat-, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
Soemarwoto, Otto, (I), Indonesia dalam kancah Issu Lingkungan Global, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991
-------------------, (II), Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Cet. Ke-7, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1997
Soemitro, Ronny Hanitijo, (I), Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990
Sommers, M., Logika, Cet. Ketiga, Alumni, Bandung, 1992
Sudarto, (I), Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981
 ---------, (II), Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, FH UNDIP, Semarang, 1990
Sudjana, Eggy, HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup –Perspektif Islam-, Yaysan Assyahidah, Bogor, 1998
Sudjana, Eggy dan Riyanto, Penegakan Hukum Lingkungan dalam Perspektif Etika Bisnis di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999
Sukandarrumidi, Batubara dan Gambut, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995
Sukidin, Basrowi, Metode Penelitian Kualitatif –Perspektif Mikro-, Insan Cendekia, Surabaya, 2002
 Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu –Sebuah Pengantar Populer-, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,1996
Susanto, I. S., (I), Kejahatan Korporasi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995
------------------, (II), Menciptakan Lingkungan Hidup yang Nyaman, Pidato Dies Natalis, Dalam Rangka Dies Natalis UNDIP Ke-40, di Semarang, 15 Oktober 1997
Syafrudin, Ateng, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993
Tanya, Bernard L., et., al., Teori Hukum –Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi-, CV. Kita, Surabaya, 2006
United Nations, Seventh UN Congress on The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Milan, Italis, 1985
United Nations, Eighth UN Congress on The Prevention of Crime and the Treatment of  Offenders, Havana, Cuba, 1990
United Nations, Ninth UN Congress on The Prevention of Crime and the Treatment of  Offenders, Cairo, Egypt, 1995
United Nations, A Compilation of International Instrument, Human Rights, Vol. I (First Part), New York, 1993
United Nations, International Meeting of Expert on Environment Crime, Oregon, USA, 1994
United Nations, XVth International Congress of Penal Law, Rio de Janeiro, Brasil, 1994
Viano, Emilio C., (Ed.), Victims and Society, Visage Press, Inc., Washington DC., 1976
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991
Warassih, Esmi, (I), Penyusunan Proposal dan Penelitian, Disampaikan dalam Penataran Metodologi Penelitian Hukum Universitas Diponegoro, di Lembaga Penelitian UNDIP, Semarang, 4-9 Mei 1992
-------------------, (II), Metodologi Penelitian Bidang Ilmu Humaniora, Disampaikan dalam Pelatihan Metodologi Penelitian Ilmu Sosial, FH UNDIP, Semarang, 14-15 Mei 1999
Wibawa, Samodra, Kebijakan Publik –Proses dan Analisis-, Intermedia, Jakarta, 1994
Wignjosoebroto, Soetandyo, Disertasi –Sebuah Pedoman Ringkas Tentang Tatacara Penulisannya, Laboratorium Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, 2007
Zakaria, R. Yando, Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jakarta, 1994
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, ASPEHUPIKI & PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Vol. I/Nomor 1/1998
Strategic Review, Indonesian Energy Prospects, Telstra, Jakarta, 1996
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi, Rio de Janeiro, 3-14 Juni 1992
Jurnal Hukum Progresif, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, Vol. : 1/No. 1/April/2005
Hadjon, Philipus M., Pengkajian Ilmu Hukum, Disampaikan dalam Penetaran dan Lokakarya Sehari “Menggagas Format Usulan dan laporan Penelitian Hukum Normatif, Malang, 22 Februari, 1997
Kantor Menteri Negara KLH Bekerjasama dengan Environmental Management Development in Indonesia, Penegakan Hukum Lingkungan (Prosiding Lokakarya), Batu, Malang, Mei 1990
Meliala, Adrianus, Penyelesaian Sengketa  Alternatif : Posisi dan  Potensinya  di Indonesia,  http//www.adrianusmeliala.com
Rahardjo, Satjipto, (II), Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global, Disampaikan dalam Seminar dan Pertemuan Dosen Pengajar/Peminat Sosiologi Hukum se Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, di Universitas Muhammadiyah, Surakarta, 5-6 Agustus 1996
Soemitro, Ronny Hanitijo, (II), Metodologi Penelitian Hukum, Disampaikan dalam Penataran Metodologi Penelitian Hukum Universitas Diponegoro, di Lembaga Penelitian UNDIP, Semarang, 4-9 Mei 1992
Walhi, Hukum Adat Lindu, Sulteng,  http://www.walhi.or.id
Wignjosoebroto, Soetandyo, (I), Beberapa Persoalan Paradigmatik dalam Teori, dan Konsekuensinya atas Pilihan Metode yang Akan Dipakai (Metode Kuantitatif versus Metode Kualitatif), Disampaikan dalam Penataran Metodologi Penelitian Hukum Universitas Diponegoro, di Lembaga Penelitian UNDIP, Semarang, 4-9 Mei 1992
-------------------, (II), Masalah Metodologik dalam Penelitian Hukum Sehubungan dengan Masalah Keragaman Konseptualnya, Disampaikan dalam Forum Komunikasi Hasil Penelitian Bidang Hukum, Bandungan, Ambarawa, 5-8 Desember 1994
-------------------, (III), Masalah Metodologik dalam Penelitian Hukum Sehubungan dengan Masalah Keragaman Pendekatan Konseptualnya, Disampaikan dalam Pelatihan Metodologi Penelitian Ilmu Sosial, FH UNDIP, Semarang, 14-15 Mei 1999
Yudoyono, Susilo Bambang, Sambutan Presiden pada Peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2006 , http://www.indonesia.go.id/id - REPUBLIK INDONESIA Powered by Mambo Generated
Hoeve, W. van, kamus Belanda – Indonesia, PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1992
Kadish, Sanford H., (Ed. In Chief), Encyclopedia of Crime and Justice, (Vol. I-IV), The Free Press, A Division of Macmillan, Inc., New York, Collier Macmillan Publishers, London, 1983
Poerwadarminta, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996
Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1992
The International Comparative Legal Guide to: Environment Law 2005, www.glatzova.com
New Environment Law for Afghanistan, www.ehnponline.com
The International Comparative Legal Guide to: Environment Law 2007, www.alukooyebode.com
The International Comparative Legal Guide to: Environment Law 2006, www.bayanov.com  
Harian Kompas , 6 Maret 2008
 -------------------, 19 Februari 2010
 Tempo, Edisi 3-9 Desember 2007 
UU no 4 tahun 2009 tentang Minerba





































 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar