Rabu, 24 September 2014

FUNGSIONALISASI HUKUM DALAM MEMBANGUN BIROKRASI PADA ERA INDONESIA BARU, Orientasi Majalah Pembinaan dan Pengembangan Hukum dan Kemasyarakatan No 2 Tahun XXVII April 2009 ISSN 0216-1592





FUNGSIONALISASI HUKUM DALAM MEMBANGUN
BIROKRASI PADA ERA INDONESIA BARU

Oleh;
F. A. Abby

ABSTRAK

Birokrasi pada tataran yang normatif pada hakikatnya mengandung pengertian yang netral,yaitu berfungsi untuk melayani kepentingan publik. Namun pada tataran yang empirik birokrasi kemudian berubah menjadi tidak netral. Ketidak-netralan birokrasi ini karena adanya intervensi dari berbagai macam kepentingan yang turut bermain di dalamnya, baik kepentingan individu, kepentingan kelompok, maupun kepentingan golongan.
Selama rezim orde baru berkuasa, birokrasi telah dijadikan sebagai alat politik oleh kekuatan politik pemerintah pemegang kekuasaan dominan. Dengan kondisi birokrasi yang demikian, maka segala tindakan maupun keputusan birokrasi menjadi sarat dengan muatan visi dan misi dari kekuatan politik pemerintah tersebut. Manakala birokrasi kemudian mengalami kehilangan fungsinya, maka hal ini adalah merupakan konsekuensi logis dari situasi dan kondisi politik ketika itu.
Untuk membangun kembali birokrasi pada era indonesia baru, maka selain mengembalikan birokrasi kepada fungsi yang sesungguhnya sebagai pengemban tujuan yang berorientasi pada kepentingan publik, juga fungsionalisasi hukum harus menjadi salah satu prioritas yang lebih dikedepankan dalam menindak setiap bentuk penyalahgunaan kekuasaan atau penyimpanan maupun pelanggaran-pelanggaran lainnya yang terjadi di dalam tubuh birokrasi.
Pendahuluan
            Krisis moneter yang mulai terjadi sejak pertengahan tahun 1997 yang lalu yang dampaknya terhadap berbagai aspek kehidupan di dalam masyarakat masih terasa hingga sekarang; seperti ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya, dan lain-lain, meupakan buah dari berbagai kebijakan pemerintah rezim orde baru yang sangat sentralistrik dan monopolistik serta tidak memiliki akuntabilitas publik (public accountability)[1] Kebijakan- Kebijakan ini dilakukan baik melalui peraturan perundang-undangan maupun melalui tindakan-tindakan maupun keputusan-keputusan pemerintah yang bersifat publik lainnya.
Sistem penyelenggaraan pemerintah yang demikian sudah barang tentu akan melahirkan berbagai kebijakan yang bukan merupakan cerminan pemerintah sebagai  representatif dari kedaulatan rakyat, sehingga akses partisipasi rakyat dalam menentukan arah kebijakan pemerintah juga menjadi sangat terbatas. Hal ini bisa terjadi karena adanya intervensi dari berbagai macam kepentingan kelompok, maupun kepentingan golongan sehingga kebijakan yang yang dilakukan oleh pemerintah pada waktu itu cenderung lebih banyak berpihak kepada kelompok kepentingan tertentu (interest group) daripada kepada kepentingan rakyat banyak (publik).
Meluasnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang terjadi di semua lapisan birokrasi selama rezim orde baru berkuasa, menanamkan andil yang sangat besar atas terjadinya krisis berkepanjangan yang akibatnya masih dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia hingga sekarang. Bahkan korupsi, kolusi, dan nepotisme ini seolah-olah sudah membudaya dalam tubuh birokrasi, sehingga tidaklah terlalu berlebihan manakala ada sebutan yang mengidentikan rezim orde baru dengan sebutan rezim kleptokrasi atau rezim maling, dan berbagai lembaga internasional pun kemudian menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang masuk pada deretan papan atas negara-negara terkorup di dunia.[2]
Blau dan Meyer[3] mengatakan, bahwa birokrasi dalam pengertian sehari-harinya diidentikan dengan ketidakefisienan (inefficiency) atau “benang merah” dalam arti pemerintah. Walaupun bukan sebagai pengertian yang sesungguhnya dari birokrasi, namun dalam keseharian atau dalam ranah emprik sering dijumpai berbagai ungkapan bernada negatif yang dialamatkan kepada birokrasi dengan menggunakan berbagai istilah, seperti; SUMUT (semua urusan menggunakan uang tunai),  UUD (ujung-ujungnya duit), KUHP (karena uang habis perkara), JAKSA (jika anda kemari serahkan amplop),  HAKIM (harap anda kemari kalau ingin menang), BUPATI (buka paha tinggi-tinggi),  SEKWILDA (sekitar wilayah dada), ABS (asal bapak senang), TST (tahu sama tahu), dan lain-lain.
Semua ungkapan dalam bentuk istilah-istilah yang mengandung konotasi negative tersebut diatas bukannya tanpa alasan, karena tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api. Populernya, isitlah-istilah tersebut di dalam masyarakat sudah barang tentu tidak dapat dilepaskan dari berbagai pengalaman yang dialami oleh anggota masyarakat yang pernah berurusan dengan birokrasi.
Birokrasi yang pada hakikatnya berfungsi untuk melayani kepentingan publik, di dalam praktiknya memperlihatkan perilaku yang sebaliknya, bukannya melayani melainkan minta dilayani. Bahkan melakukan tindakn-tindakan maupun membuat keputusan-keputusan yang tidak terpuji yang pada akhirnya merugikan dan merusak tatanan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keadaan ini kemudian diperparah lagi dengan kenyataan adanya kesenjangan social ekonomi yang begitu menyolok para elit birokrasi (pejabat) dan kroni-kroninya dengan para pegawai biasa, buruh dan rakyat kecil, atau dengan sebagian besar rakyat Indonesia.
Di suatu pihak, para elit birokrasi dan kroni-kroninya menikmati segala kemewahan materi yang berlimpah-ruah yang diperoleh melalui jerik payah orang lain atau melalui cara-cara yang tidak adil. Sedangkan di pihak lain, sebagian besar rakyat menderita sedemikian rupa karena berada dalam kondisi yang serba kekurangan. Upaya para elit birokrasi dan kroni-kroninya yang tidak henti-hentinya mengejar kemewahan yang lebih berlimpah-ruah lagi, kosekuensinya sudah barang tentu adalah berkembangnya korupsi ke seluruh lapisan birokrasi, baik di pusat maupun didaerah. Gambaran situasi ketidak-adilan semacam ini disebut Freire [4] sebagai situasi penindasan, yaitu penindasan minoritas terhadap mayoritas.
Sudah sangat begitu transparan dan bukan rahasia lagi apabila tanpa ada uang pelicin  atau uang semir atau uang lelah, dan berbagai istilah lainnya, segala macam urusan yang berhubungan dengan birokrasi akan menjadi rumit dan berbelit-belit. Persoalan-persoalan sederhana yang semestinya dapat diselesaikan   dalam waktu relatif singkat, karena tanpa ada uang pelicin, maka dengan berbagai macam dalih yang kadang-kadang tidak masuk akal, proses penyelesaiannya kemudian menjadi berlarut-larut dan membutuhkan waktu yang lama.
Di samping itu, birokrasi sering melakukan tindakan maupun membuat keputusan yang diskriminatif, seperti pemberian kemudahan berupa perlakuan khusus atau pemberian hak-hak khusus dalam berbisnis bagi pengusaha atau kelompok usaha tertentu, seperti dikeluarkannya Keppres No. 42/1996 tentang Pembuatan Mobil Nasional, S. K. Menteri Perdagangan No. 125. KP/V/1991 tentang BPPC, dan lain-lainya;[5] serta perlakuan yang tidak sama bagi setiap orang dalam kaitannya dengan proses penegakan hukum, yang pada gilirannya hukum ,tidak lagi berpihak pada kebenaran dan keadilan tetapi sudah berpihak pada kepentingan-kepentingan tertentu.[6]
Pertanyaannya sekarang adalah mengapa birokrasi menjadi sedemikian bobroknya ? dan bagaimana membangun kembali birokrasi yang ideal, sesuai dengan fungsinya dalam melaksanakan mandat rakyat sebagai pengemban tujuan yang berorientasi kepada kepentingan publik pada era Indonesia baru. Artinya, bagaimana membangun birokrasi pada era demokrasi menuju Indonesia baru yang lebih mengedepankan supremasi hukum?
Arti dan Ruang Lingkup Birokrasi
Dalam kehidupan masyarakat yang semakin kompleks pada era kesejagadan (globalisasi) dewasa ini, keberadaan birokrasi tidak hanya bersangkut-paut dengan bidang pemerintahan saja tetapi juga bersangkut-paut dengan berbagai aspek lain di luar pemerintahan atau dengan badan-badan swasta yang bergerak di bidang bisnis, sosial kemasyarakatan dan keagamaan, keuangan dan perbankan, dan lain-lain. Namun yang menjadi topic bahasan di dalam tulisan ini hanyalah birokrasi yang bersangkut-paut dengan pemerintahan.
Blau dan Meyer[7] mengatakan, bahwa birokrasi adalah jenis organisasi yang dirancang untuk menangani tugas-tugas administrative dalam skala besar serta mengkoordinasikan pekerjaan orang banyak secara sistematis. Sedangkan menurut kamus umum bahasa Indonesia yang disusun oleh W. J. S. Poerwadarminta,[8] mendefinisikan birokrasi ke dalam tiga pengertian, yaitu: pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat; cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai negeri; dan cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lambat, serba menurut aturan (adat, dan sebagainya), banyak liku-likunya.
Beranjak dari pengertian birokrasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Blau dan Meyer serta Poerwadarminta tersebut diatas, maka bisa dilihat betapa begitu vitalnya fungsi birokrasi dalam rangka menata berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam suatu Negara, termasuk bagaimana mekanisme bekerjanya rangka menyelenggarakan kekuasaan negara, apalagi dalam sebuah negara yang luas wilayah sangat besar dengan jumlah penduduk yang sangat banyak, pemerintah tentunya sangat memerlukan birokrasi untuk memperpanjang tangan kekuasaan di dalam melayani kepentingan rakyatnya.
Birokrasi dalam konteks negara Indonesia bisa dilihat dari adanya beberapa departemen dan lembaga non departemen beserta jajaran dibawahnya, baik sipil maupun militer, yang dibentuk oleh pemerintah mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah. Keberadaan birokrasi ini pada hakikatnya adalah untuk efesiensi, namun yang sering tampil kepermukaan dan menjadi sorotan publik adalah sebaliknya, yaitu ketidakefesienan dengan tumbuh dan berkembangnya korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang pada akhirnya menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat. Ketidakefesienan ini pula yang kemudian melahirkan desakan supaya dilakukan “debirokratisasi”, yaitu upaya untuk mengurangi peranan negara yang sangat berlebihan dan bahkan tidak proposional dalam berbagai aspek kehidupan di dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. [9]
Birokrasi dalam ranah das Sollen di tempatkan pada posisi yang ideal, tetapi dalam ranah das Sein apa yang ideal tidaklah selalu realistik. Kenyataan empirik menampilkan adanya dua wajah birokrasi, yaitu sebagai sesuatu yang dibutuhkan dan sesuatu yang dianggap sebagai penghambat. Di suatu sisi birokrasi dibutuhkan untuk melayani kepentingan publik (public service), sedangkan di sisi lain birokrasi menghambat spontanitas dan kreativitas rakyat untuk mengekspresikan kebebasan, serta menghambat akses partisipasi rakyat di dalam turut menentukan arah kebijakan pemerintah.
Sisi lain dari birokrasi yang hingga sekarang tetap menjadi sorotan publik, adalah berkaitan dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi dilingkungan birokrasi yang telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi rakyat dan Negara. Dengan pengertian lain, bahwa birokrasi telah mengalami disfungsi dan menuntut biaya-biaya sosial maupun materiil yang sangat besar, yang semuanya harus dipikul oleh rakyat dan negara. Dengan pengertian lain, bahwa birokrasi telah mengalami disfungsi dan menuntut biaya-biaya sosial maupun materiil yang sangat besar, yang semuanya harus dipikul oleh rakyat. Recovery ekonomi yang sedang berlangsung dewasa ini merupakan buah dari disfungsi birokrasi yang terjadi selama puluhan tahun. Dibidang perbankan saja, melalui Kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), negara mengalami kerugian lebih-kurang Rp. 164 triliun sebagai akibat dari disfungsi birokrasi yang terjadi dalam tubuh Bank Indonesia. Di tambah lagi dengan terjadinya kebocoran dana anggaran pembangunan yang besaran setiap tahunnya diperkirakan berkisar antara 30% - 40%, dan lain-lainya, sudah tidak terhitung lagi besarnya kerugian negara sebagai akibat dari disfungsi birokrasi yang terjadi selama ini. Uang sebanyak ini dinikmati hanya oleh beberapa orang atau segelintir orang saja, sedangkan risikonya dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Bagaimana pandangan telah dikemukakan untuk menjelaskan fenomena tersebut. Secara umum dapat disimpulkan , bahwa dari beragamnya pandangan yang mengemuka ini setidaknya ada dua aspek penting yang saling berkait antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu; adanya aspek politik yang begitu mendominasi birokrasi atau politisasi birokrasi disatu sisi, serta akuntabilitas publik (public accountability) di sisi lain.
Birokrasi sebagai kepanjangan tangan kekuasaan negara dari pemerintah yang menjadi representatif rakyat, di dalam melaksanakan tugasnya harus bertanggungjawab, baik langsung maupun tidak langsung, kepada rakyatnya. Di dalam implementasinya kewajiban untuk mempertanggungjawabkan ini dihadapkan pada suatu kedala. Pertama; walaupun tindakan maupun keputusan yang dibuat oleh birokrasi, langsung maupun tidak langsung, dapat mempengaruhi kehidupan rakyat, akan tetapi karena para aparat birokrasi tidak dipilih oleh rakyat sehingga mengenyampingkan prinsip akuntabilitas publik. Kedua; adanya pengaruh politik dari kekuatan politik pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dominan. Ketiga; dikesampingkannya prinsip-prinsip hukum dalam menangani pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dalam tubuh birokrasi.
 Caiden dalam Hariandja,[10] menyebutkan bahwa ada tiga kata kunci dalam kaitannya dengan akuntibitas publik, yaitu; reponsibilitas, liabilitas, dan akuntibilitas. Respontibilitas menunjuk pada otoritas untuk bertindak, kebebasan untuk mengambil keputusan, kekuasaan untuk mengawasi, dan sebagainya. Liabilitas diasumsikan sebagai tugas untuk memperbaiki, mengganti kerugian, membalas jasa, dan sebagainya, akibat segala kesalahan atau kemiskinan penilaian atas dampak kebijakan. Sedangkan akuntibilitas adalah kewajiban untuk mempertanggungjawabkan, melaporkan, menjelaskan, memberi alasan, menjawab, memikul tanggung jawab dan kewajiban, memberikan perhitungan, dan tunduk kepada penilaian (judgement) dari luar.
Disamping itu pengertian akuntibilitas publik dapat dilihat dari persepektif yang lain. Wiltshire[11] mengartikan akuntibilitas publik sebagai penilaian responsibilitas moral atas tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan (termasuk semua pembelanjaran yang menggunakan uang publik) oleh kelompok masyarakat dan akhirnya oleh individu.
Dari definisi yang dikemukakan oleh Caiden dan Wiltshire di atas, Hariandja[12] kemudian mengidentifikasikan elemen-elemen dalam prinsip akuntibilitas publik, yaitu: (1) adanya kewajiban bagi birokrasi untuk mempertanggungjawabkan tindakan maupun keputusannya; (2) yang melakukan penilaian tersebut adalah institusi sosial-politik yang berada di luar birokrasi.
Determinansi Poltik dalam Tubuh Birokrasi
Lahirnya rezim orde baru pada awalnya dimaksudkan sebagai koreksi total atas terjadinya berbagai macam penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh rezim orde lama, atau membentuk pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government) untuk menggantikan pemerintahan rezim orde lama yang dianggap kotor.
Di dalam perkembangannya kemudian, selama lebih kurang 32 tahun berkuasa, ternyata apa yang dilakukan oleh pemerintah rezim orde baru tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh rezim sebelumnya. Penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan seolah-olah sudah merupakan hal yang sudah biasa. Dengan mengkonstuksikannya sedemikian rupa, apa saja yang kemudian dilakukan oleh rezim penguasaan tersebut selalu benar.[13]  Hal semacam ini dalam konsep Negara feudal disebut dengan doktrin; the king can do no wrong.
Dengan membangun sistem dan kebijakan politik yang cenderung otorier, sentralistik, dan monopolistic, rezim orde baru dapat mempertahankan kekuasaannya dalam waktu yang relatif lama. Sistem yang sudah dibangun dalam waktu yang relatif lama, sudah barang tentu membawa pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tidak kecuali birokrasi, sebagai suatu institusi yang melaksanakan kekuasaan Negara untuk melayani kepentingan rakyatnya, juga sudah terkooptasi dengan bingkai system dan kebijakan politik yang di bangun oleh rezim orde baru.
Sangat berat bagi birokrasi untuk tidak sejalan dengan kemauan dari kekuatan politik pemerintah pemegang kekuasaan dominan, karena konsekuensinya adalah menyangkut perjalanan karirnya birokrasi. Hal ini di dukung pula dengan hidupnya budaya patron-client di kalangan masyarakat termasuk di dalam tubuh birokrasi. Budaya ini merupakan hasil dari bingkai sistem politik penguasa pada waktu itu yang biasa memberi hadiah bagi sebuah loyalitas (renumeratif) dan memberi “siksaan” bagi para pembangkang (punitif). Ada banyak kasus dimana para demagog yang kemudian menduduki jabatan elit birokrasi, sedangkan yang tetap berpegang pada prinsip etika, moral, dan hukum kemudian “tersingkir” atau “disingkirkan”.
  Birokrasi kemudian dijadikan sebagai alat politik, dan pada akhirnya menjadi salah satu unsure dari kekuataan politik pemerintah pemegang kekuasaan dominan, selain Presiden, Golkar, dan ABRI.[14]  Kenyataan pada waktu itu juga membuktikan bahwa elit birokrasi adalah juga elit Golkar dan elit ABRI. Implikasi lebih lanjut dari kondisi birokrasi yang demikian, adalah saratnya nuansa politik dalam setiap tindakan-tindakan maupun keputusan-keputusan yang dibuat oleh birokrasi. Tindakan maupun keputusan tersebut sudah barang tentu diusahakan sedemikian rupa agar menguntungkan kekuatan politik pemerintah pemegang kekuasaan dominan.
Dalam situasi dan kondisi dimana birokrasi sudah menjadi alat politik, tentunya semakin memudahkan peluang elit birokrasi untuk melakukan penyimpangan atau menyalahgunakan kekuasaan, maupun melakukan berbagai bentuk pelanggaran lainnya. Penuh kerahasiaan, ketertutupan, atau tidak transparannya kinerja birokrasi, menimbulkan kesan seolah-olah apa yang dilakukan oleh birokrasi selama ini selalu dianggap benar , sekaligus telah mengenyampingkan aspek akuntibilitas, khususnya terhadap rakyat sebagai pemilik kekuasaan yang sesungguhnya.
Esensi sesungguhnya dari bingkai sistem politik yang dibangun rezim orde baru ini adalah untuk melanggengkan kekuasaan dengan dalih untuk kesinambungan pembangunan sebagai alasan pembenarnya, termasuk dilakukannya berbagai rekayasa untuk memperoleh legitimisi, yang kemudian didukung pula oleh sebagaian kaum intelektual yang berasal dari perguruan tinggi.[15]Ironisnya, bingkai ini ternyata sengaja dibangun guna menciptakan suatu peluang untuk memperoleh uang atau kekayaan sebanyak-banyaknya,[16] termasuk dengan menyedot dari negara. Uang yang diperoleh ini kemudian digunakan untuk membiayai kegiatan politik dari kekuatan politik pemerintah pemegang kekuasaan dominan, termasuk untuk biaya melakukan kampanye dan memperoleh dukungan konstituen.  
Hal ini sama dengan apa yang dimaksudkan oleh David J. Gould[17] sebagai korupsi birokratis, atau yang menurut Theodore M. Smith[18] merupakan investasi tidak resmi infrastruktur politik.
 Caidens sebagaimana yang dikutip oleh Gloud[19] membedakan konsepsi korupsi birokratis yang terdiri dari; kepentingan umum,kewajiban umum, dan berpusat pada pasar. Konsepsi pertama beranggapan bahwa korupsi terjadi jika seorang pejabat ditunjuk untuk mengambil tindakan demi kepentingan para pemberi dana dengan hadiah tidak resmi, karena itu melanggar kepentingan umum. Konsepsi kedua menanggap korupsi sebagai tindakan yang menyimpang dari kewajiban formal si pejabat karena ia memperoleh sesuatu yang bersifat pribadi, uang, atau kedudukan. Dan konsepsi ketiga memandang korupsi sebagai peralihan dari model penentuan harga yang dikendalikan ke model pasar bebas. Dalam hal ini korupsi merupakan pranata hakiki yang intra-legal, yang digunakan oleh pribadi atau kelompok untuk memperoleh pengaruh atas tindakan birokrasi umum.
Berdasarkan konsepsi korupsi birokratis menurut Caidnes ini, setidak-tidaknya dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengindentifikasi kapan dan bagaimanakah proses terjadinya korupsi birokratis di Indonesia selama ini, dan siapa-siapa pelaku yang terlibat di dalamnya. Apalagi dengan adanya intervensi kekuatan politik pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dominan, sehingga dengan sangat jelas bisa di lihat bagaimana proses disfungsi birokrasi itu terjadi, dan siapa pelaku yang harus bertanggungjawab untuk itu.
Kekuasaan pada hakikatnya adalah sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan atau kesejahteraan. Dalam ranah empirik, apa yang sering terjadi adalah sebaliknya. Kekuasaan bukannya digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan atau kesejahteraan, melainkan telah menimbulkan ketidak-adilan atau kesengsaraan dimana-mana.
Laswell dan Kaplan[20]mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain sedemikian rupa agar bertindak atau berbuat sesuai dengan keinginan dari yang memiliki kekuasaan. Pengaruh di sini bisa dilakukan dengan cara kekerasan dan persuasi, sehingga tidak menutup kemungkinan apabila kekuasaan ternyata digunakan semata-mata hanya untuk menciptakan ketidak-adilan, sebagaimana ketidak-adilan yang terjadi dimana-mana rezim orde baru berkuasa.
Kebijakan pemerintah dibawah Presiden Abdurrahman Wahid yang membatasi pegawai negeri menjadi anggota partai politik, dalam arti boleh menjadi pengurus partai politik asalkan melepaskan statusnya sebagai pegawai negeri, melarang anggota militer aktif untuk menduduki jabatan elit birokrasi mengurangi peran sosial-politik (dwi fungsi) militer, serta pendirian lembaga yang berfungsi mewakili kepentingan publik (ombudsman) atau lembaga yang berfungsi melakukan pembelaan publik diakibatkan oleh tindakan atau prilaku aparat penegak hukum dan birokrasi, merupakan langkah awal yang tepat untuk memutuskan mata rantai dari bingkai sistem dan kebijakan politik yang selama ini di bangun oleh rezim orde baru.
Dengan pembentukan kabinet atas dasar kompromi dari beberapa partai-politik besar pemenang pemilihan umum, sudah barang tentu kabinet di bawah pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid ini dipimpin oleh elit-elit politik dari beberapa partai politik tersebut. Dalam keseharian, kabinet ini dikenal pula dengan sebutan “kabinet  pelangi”. Dari susunan kabinet yang demikian sudah sangat jelas bisa dilihat tidak adanya kekuatan partai politik yang mendominasi kekuasaan pemerintah. Abdurrahman Wahid sendiri menjadi Presiden atas usulan dan dukungan dari kekuatan beberapa partai politik yang berkolaborasi dengan membentuk Poros Tengah.[21]
 Dengan usia yang masih relative muda, kiranya terlalu naïf untuk menilai kinerja cabinet pemerintahan yang sekarang. Apalagi dengan mewarisi sekian banyak persoalan peninggalan rezim sebelumnya, seperti kasus-kasus KKN yang terjadi hampir disemua institusi birokrasi pemerintah , pelanggaran HAM, disintegrasi bangsa, munculnya berbagai konflik horizontal, dan lain-lain, disertai dengan desakan dan tututan untuk segera menuntaskannya, tentunya merupakan beban yang sangat berat yang harus dipikul oleh rezim yang memerintah sekarang. Namun demikian, bukan berarti pemerintahan yang sekarang bebas nilai.
Padangan kritis harus selalu ditumbuh-kembangkan dalam menyikapi kinerja kabinet pemerintahan yang sekarang, karena pengaruh bingkai sistem politik rezim orde baru yang sudah terbentuk dalam waktu yang relatif lama tidak mudah untuk bisa dihilangkan begitu saja. Apalagi dengan masih banyaknya muka-muka lama dari rezim orde baru tersebut yang sampai sekarang masih tetap eksis, baik sebagai elit politik maupun elit birokrasi, tidak tertutup kemungkinan – dengan menggunakan segala daya dan upaya –mereka akan menanamkan kembali pengaruhnya.[22]
Selain tetap menumbuh-kembangkan sikap kritis untuk mencegah agar hal tersebut tidak terjadi, maka adanya kelompok oposisi yang kuat yang tidak berapiliasi dengan partai politik sangat diperlukan baik sebagai penyeimbang (power-equalizer) maupun sebagai penekan (preassuregroup), seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa, kampus, dan lain-lain.

Membangun Birokrasi yang Bertanggungjawab
Beranjak dari pengertian, fungsi, dan tujuannya, birokrasi pada dasarnya ditempatkan pada posisi yang netral. Netralis birokrasi ini tentunya apabila dilihat secara teoritik., atau pada tataran yang normatif. Dalam ranah empiric ternyata birokrasi berada pada posisi yang tidak netral sebagai akibat dari begitu kuatnya tekanan politik. Karena adanya disfungsi birokrasi dan tujuan birokrasi sudah tidak lagi berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak, maka dalam keseharian sebutan birokrasi sering diplesetkan menjadi biro-crazy (bureaucrazy).
Ketidaknetralan birokrasi bisa dilihat dari adanya pola-pola kegiatan dan interaksi yang menyimpang dari prinsip-prinsip akuntabilitas maupun prinsip-prinsip hukum. Oleh Benveniste,[23] akuntabilitas itu sendiri dikatakannya sebagai gejala penyakit organisasi karena ia merupakan senjata defensif maupun ofensif yang digunakan untuk melindungi organisasi.
Pengaburan informasi tentang suatu kejadian yang sesungguhnya terjadi dengan melalui rekayasa kemudian memunculkan berbagai istilah seperti; kesalahan prosedur, oknum, kambing-hitam, provokator, dan lain-lain, dapat dikatagorikan kedalam pengertian akuntabilitas sebagai alat defensif. Sedangkan sebagai alat ofensif, misalkan menuduh pihak lain telah melakukan tindakan fitnah atau memutar-balikan fakta, subversi, maker, menghambat pembangunan, dan sebagainya.
Pola-pola kegiatan maupun interaksi birokrasi dalam melakukan tugasnya, telah mengenyampingkan fungsi dan tujuannya untuk melayani kepentingan publik. Karena merasa tidak memikul tanggungjawab dan berkewajiban  untuk mempertanggungjawabkannya kepada rakyat, maka penyimpangan demi penyimpangan selalu saja terjadi. Sedangkan mekanisme kontrol/pengawasan terhadap kinerja birokrasi juga tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Sementara ini terdapat beragam pandangan berkaitan dengan mekanisme kontrol/pengawasan terhadap akuntabilitas. Dari keberagaman pandangan ini terdapat keseragaman pandangan tentang adanya dua model mekanisme kontrol akuntabilitas birokrasi, yaitu mekanisme internal dan mekanisme eksternal.
Hariandja[24] mengatakan bahwa mekanisme kontrol internal merupakan mekanisme kontrol yang dilakukan oleh lembaga-lembaga atau fungsi-fungsi yang berada di dalam organisasi birokrasi itu sendiri. Artinya, secara organisatoris tidak dapat dipisahkan dari birokrasi. Sebaliknya mekanisme kontrol eksternal adalah mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga atau fungsi-fungsi yang eksistensinya terpisah dari garis komando birokrasi.
   Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal (Irjen), Inspektorat Wilayah Propinsi (Itwilprop), Inspektorat Wilayah Kabupaten (Itwilkab), Pengawasan Melekat (Waskat), Sumpah jabatan, peraturan mengenai disiplin pegawai negeri, dan lain-lain, termasuk dalam pengertian mekanisme kontrol internal. Sedangkan yang termasuk dalam pengertian mekanisme control eksternal adalah ; Partai Politik, hukum dan peradilan, media massa, kelompok penekan (pressure groups) dan kelompok penyeimbang (power-equalizer) seperti LSM, Kampus, dan lain-lain.
Dari uaraian terdahulu sudah sangat jelas mengenai peta masalah yang dihadapi birokrasi. Bobroknya birokrasi di Indonesia selama ini disebabkan karena mekanisme kontrol internal maupun eksternal yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan karena begitu kuatnya intervensi yang dilakukan oleh kekuatan politik pemerintah pemegang kekuasaan dominan, sehingga kedua mekanisme control tersebut berada dalam posisi yang tidak berdaya atau sengaja untuk tidak diberdayakan.
Membangun birokrasi yang bertanggungjawab pada era demokratisasi menuju Indonesia baru yang lebih mengedepankan supremasi hukum, maka selain melakukan debirokratisasi, birokrasi juga harus dijalankan berdasar atas prinsip-prinsip hukum agar tidak menimbulkan terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan, maupun pelanggaran-pelanggaran lainnya dalam tubuh birokrasi. Artinya, hukum disini memliki fungsi kontrol atas birokrasi. Manakala terjadi penyimpangan, penyalahgunaan, atau pelanggaran-pelanggaran lainnya di dalam tubuh birokrasi, maka hukum harus dijadikan sebagai alat untuk menilai sejauhmana penyimpangan, penyalahgunaan maupun pelanggaran-pelanggaran lainnya tersebut dapat dipertanggung jawabkan.
Disamping itu, dalam konteks membangun birokrasi yang bertanggungjawab, juga diperlukan adanya transparansi, partisipasi, dan prediktibilitas, termasuk adanya integritas dan kredibilitas para elit birokrasi, baik yang menduduki jabatan politis maupun jabatan karir. Dan untuk menilai bagaimana kinerja birokrasi pemerintahan sekarang, maka ada parameter sederhana yang dapat digunakan untuk itu, yaitu sampai sejauhmana konsistensi pemerintah dalam menuntaskan berbagai macam kasus KKN, pelanggaran HAM, dan kasus-kasus lainnya yang telah mencoreng wajah bangsa dalam pergaulan masyarakat dunia.
Hukum sebagai principle guiding, demikian menurut Romashkin sebagaimana dikutip oleh Oemar Seno Adji,[25] mengandung arti bahwa segala peri-laku atau tindakan apapun yang akan dilakukan oleh setiap organ negara,  baik penyelenggara negara maupun warga negara haruslah berdasar atas hukum. Berangkat dari makna hukum sebagai principle guiding, apabila hukum dilaksanakan secara konsisten maka hukum dapat menjadi sarana efektif untuk mencegah terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan, maupun berbagai bentuk pelanggaran lainnya di dalam tubuh birokrasi.
Melaksanakan hukum secara konsisten sesuai dengan prinsip Negara hukum yang di anut oleh konstitusi. Menurut I. S. Susanto,[26] dari apa yang tersurat maupun yang tersirat dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945, fungsi primer negara hukum adalah:
1.                                Perlindungan. Hukum mempunyai fungsi untuk melindungi masyarakat dari ancaman bahaya dan tindakan-tindakan yang merugikan yang dating dari sesamanya dan kelompok
masyarakat, termasuk yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan (pemerintah dan negara) dan yang datang dari luar, yang ditujukan terhadap fisik, jiwa, kesehatan, nilai-nilai dan hak-hak asasinya.
2.                                Keadilan. Fungsi lain dari hukum adalah menjaga, melindungi dan memberikan keadilan bagi seluruh rakyat. Secara negatif dapat dikatakan bahwa hukum yang tidak adil adalah apabila hukum yang bersangkutan dipandang melanggar nilai-nilai dan hak-hak yang kita percayai harus dijaga dan dilindungi bagi semua orang.
3.                                Pembangunan. Fungsi hukum yang ketiga adalah pembangunan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini mengandung makna bahwa pembangunan di Indonesia sepenuhnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di segala aspek kehidupan seperti aaspek ekonomi, sosial, politik, kultur dan spiritual. Dengan demikian hukum dipakai sebagai kendraan baik dalam menentukan arah, tujuan dan pelaksanaan pembangunan secara adil. Artinya hukum sekaligus digunakan sebagai alat pembangun namun juga sebagai alat kontrol agar pembangunan dilaksanakan secara adil.

Harus di akui bahwa perangkat hukum yang tersedia belum sepenuhnya dapat menjangkau berbagai bentuk penyimpangan, penyalahgunaan, atau pelanggaran-pelanggaran lainnya tersebut di atas. Namun demikian, hal ini tidak bisa dijadikan sebagai alasan bahwa pelanggaran-pelanggaran yang selama ini terjadi di dalam tubuh birokrasi tidak bisa diproses secara hukum. Dalam kaitan ini ada instrumen-instrumen internasional dari PBB yang dapat dijadikan sebagai pegangan untuk melakukan proses hukum, antara lain seperti; Deklarasi Anti Penyiksaan dan Tindakan atau Hukuman yang Kejam, Tak Manusiawi atau Merendehkan Martabat Manusia yang diadopsi oleh Majelis Umum tanggal 9 Desember 1975, Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan, yang disahkan oleh Resolusi Majelis Umum 40/43 tanggal 29 Nopember 1985, Hukum Kebiasaan Internasional yang sudah diterima oleh bangsa-bangsa beradab didunia, dan lain-lain.




[1] Dalam konteks ini, I. S. Susanto, mengatakan bahwa krisis ini kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi, social, politik, hukum, budaya, dan akhirnya terakumulasi menjadi krisis kepercayaan hampir di Segala aspek kehidupan. Krisis ini merupakan buah kebijakan yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh pelaku bisnis, birokrasi serta elit penguasa. Lihat I. S. Susanto, kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde Baru, Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 1999, hal. 1-2
[2] Berdasarkan laporan Political and Economy Risk Consultancy (PERC) yang berkedudukan di Hongkong, pada Tahun 1998 Indonesia ditempatkan sebagai negara nomor satu paling korup di Asia. Sedangkan Tranparency International menempatkan Indonesia di posisi keenam negara paling korup di dunia. Pada tahun 1999, PERC menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme di Asia, dengan skor 9,91 untuk korupsi dan 9,09 untuk kroniisme dengan skala penilaian (rating)0 – 10. Sedangkan tahun 2000, Indonesia termasuk salah satu terburuk dalam birokrasi versi PERC dengan skor 8,0, dan dari 571 negara di Asia Indonesia menduduki urutan nomor satu sebagai negara terkorup dengan skor 9,88 menyusul India (9,50), Cina (9,50), dan Filipina (8,87). Lihat kompas. 13 Maret 2000.
[3] Blau, Peter dan Marshall W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern ed. 2, Universitas Indonesia, Jakarta, 1987 , hal. 3
[4] Dalam semangat mereka untuk memiliki secara tak terbatas, kaum penindas mengembangkan semacam keyakinan bahwa adalah mungkin bagi mereka mengubah segala sesuatu menjadi objek daya beli mereka; disinilah dasar dari konsep kehidupan materilistik mereka yang kokoh. Uang menjadi ukuran segalanya, dan laba adalah tujuan paling utama. Bagi kaum penindas, apa yang dianggap bermanfaat adalah memiliki lebih banyak – selalu lebih banyak – sekalipun dengan mengorbankan kaum tertindas yang semakin miskin dan tidak memiliki apa-apa lagi. Bagi mereka, mengada adalah memiliki dan mengada sebagai kelas masyarakat “berpunya”. Lihat Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES, Jakarta, 1985, hal. 33, dan lihat juga Paulo Freire, Politik Pendidikan : Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1999
[5] Lihat Laporan Akhir Tim Kerja Bidang Hukum Masyarakat Tranparansi Indonesia tentang Penelitian Keputusan Presiden Yang Menyimpang 1993 – 1998 ,  yang menyebutkan sedikitnya ada 75 Keppres yang dianggap menyimpang yang meliputi bidang-bidang; infrastruktur, kehutanan dan pertanian , fasilitas untuk pejabat negara, penyelenggarakan negara secara umum, serta perindustrian dan perdagangan.
[6] Pengambil-alihan tanah-tanah rakyat baik dengan cara persuasi maupun dengan cara kekerasan dengan dalih untuk kepentingan pembangunan; pengambil-alihan kantor pusat Partai demokrasi Indonesia (PDI); pemberedelan beberapa media massa, penculikan terhadap beberapa orang aktivis pro demokrasi yang nasib sebagian diantaranya sampai sekarang masih belum diketahui – apakah sudah mati atau masih hidup; pembunuhan terhadap tokoh buruh Marsinah, pembunuhan terhadap Udin (wartawan BERNAS); pembunuhan terhadap sekian banyak orang yang dituduh sebagai dukun santet di Banyuwangi; tragedi Tanjung Priok; tragedi Warsidi di Lampung; tragedi Trisakti; tragedi Semanggi I dan II; skandal Bank Bapindo, Bank Bali, Busang, termasuk beberapa kasus korupsi, kolusi, dan nepotismeyang melibatkan elit politik, elit militer, dan elit birokrasi yang proses hukumnya tidak transparan dan tidak tuntas; pelanggaran HAM di Aceh, Irian Jaya  (Papua), dan di daerah-daerah lainnya; merupakan sederetan contoh kasus penyimpangan dan pelanggaraan yang dilakukan oleh aparat birokrasi berupa “penyalahgunaan kekuasaan umum secara melawan hukum” (illegal abuss of public power).
[7]  Blau dan Meyer, Op. Cit., hal. 4
[8] Poerwadarminta, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia , PN Balai Pustaka, Jakarta, 1979, hal. 144
[9] Walaupun esensi sebenarnya dari debirokratisasi tidak hanya sekedar menghapus atau menghilangkan  departemen, namun kebijakan presiden Abdurrahman Wahid yang telah menghapus atau menghilangkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan setidak-tidaknya dapat dikatakan sebagai salah satu wujud dari debirokratisasi.
[10] Denny B. C. Hariandja, Birokrasi nan Pongah; Belajar dari Kegagalan Orde Baru, Kanisius, Yogyakarta, 1999, hal.13
[11]  I b i d, hal. 33
[12]  I b I d.
[13]  Dalam kaitannya dengan masa pemerintahan rezim orde baru ini kiranya menarik dan patut untuk disimak pernyataan yang pernah dikemukakan oleh Mochtar Pabotinggi yang mengatakan; dengan perlakuan yang buruk atas prinsip kebebasan pers, dengan konsetrasi kekuasaan pada kalangan eksekutif, dengan cara pengangkatan – bukan pemilihan – atas anggota-anggota legeslatif, bahkan termasuk pengutamaan atas Golkar, orde baru bukanlah antithesis dari orde lama sebagaimana klaimnya semula. Orde baru hanya bertolak belakang dari orde lama dalam hal kebijakan ekonomi. Akan tetapi dalam hal sistem dan kebijakan politik yang cenderung otorier dan monopolistik, ia adalah pelanjut setia dan krestif dari mode rezim orde lama. Lihat Syamsudin Haris dan Riza Sahbudi (editor), Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal.45
[14] Selama pemerintahan rezim orde baru ada beberapa unsure kekuatan politik pemerintah pemegang kekuasan dominan, yang menurut Machfud terdiri dari unsur-unsur: Presiden, Golkar, ABRI, dan Birokrasi. Lihat Moh. Machfud, MD, “Demokrasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum yang Responsif,”Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global yang diselenggarakan oleh Pusat Studi hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1996
[15] Menurut Edward W. Said, intelektual berperan sebagai benteng akal sehat yang kritis terhadap kekuasaan. Selanjutnya dikatakan, intelektual haruslah peka terhadap nasib mereka yang tertindas serta menempatkan diri sejajar dengan kaum lemah yang tersisihkan dan tak terwakili. Untuk itu mereka harus siap menghadapi risiko apa pun termasuk berseberangan dengan kekuasaan. seorang intelektual dalam memerangi ralitas yang menindas bukanlah sikap akomodatif terhadap kekuasaan, tapi oposisi. Karakterisasi intelektual menurut Said adalah sosok di pengasingan dan marjinal, sebagai amatir, dan sebagai pengarang sebuah bahasa yang mencoba membicarakan kebenaran kepada kekuasaan. Lihat Said, Edward W., Peran Intelektual, Edisi Pertama, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1998
[16] Berdasarkan pengamatan yang pernah penulis lakukan pada waktu rezim orde baru berkuasa, khususnya di Propinsi Kalimantan Selatan, ada “kebijakan” birokrasi yang mewajibkan setiap pengusaha (kontraktor) yang memenangkan tender proyek-proyek pemerintah agar menyisihkan dana berkisar antara 1-2,5% dari besarnya nilai proyek untuk kepentingan kas Golkar. Ketika hal ini penulis konfirmasikan dengan beberapa orang fungsionaris Golkar, kewajiban ini katanya terbatas hanya pada para pengusaha yang menjadi kader Golkar saja. Akan tetapi menurut keterangan dari sebagian besar pengusaha, kewajiban ini ternyata berlaku bagi semua pengusaha tanpa ada kecualinya.
[17] Dalam tulisannya mengenai Korupsi Birokratis dan Keterbelakangan di Zaire, Gould menggambarkan korupsi yang terjadi di Zaire sudah sedemikian rupa. Birokrasi adalah makhluk yang mengerikan, mempunyai alat-alat penangkap yang senantiasa memperluas genggamannya, dan sekaligus merupakan lembaga yang paling korup dan merusak masyarakat. Lebih lanjut dikatakan , bahwa di dalam gelanggang administratif-politis, mekanisme korupsi pertama-tama terdiri dari dilumpuhkannya proses demokratis bersamaan dengan ditempatkannya pemerintah dalam pengawasaan  khusus dari kelas (borjuis), yang pada gilirannya memakai untuk menjadi lebih kaya dan untuk menindas penduduk. Lihat David J. Gould dalam Mochtar Lubis dan James C. Scott, Mafia dan Korupsi Birokratis, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1987, hal. 72, 73, dan 81.
[18]  Istilah ini dikemukakan oleh Smith dalam tulisannya yang berjudul Korupsi, Tradisi dan Perubahan di Indonesia, dalam konteks pemilihan umum di Indonesia pada tahun 1955. Partai-partai politik peserta pemilu pada waktu itu berusaha sedemikian rupa untuk mengalihkan sumber daya (kekayaan) negara kedana kampanye partai, termasuk untuk kelangsungan hidup partai. Dengan mengutip pendapat Bintoro Tjokroamidjojo et. al., dalam mimeo “Masalah Korupsi” yang ditulis pada tahun 1970, disebutkan bahwa di balik keperluan pemilihan, terdapat pengeluaran rutin sehari-hari yang dibutuhkan supaya partai dapat berfungsi terus. Para pemimpin partai di Indonesia telah berusaha dan berhasil memperoleh hak-hak istimewa komersial di luar pengawasan hukum (extralegal) dan pemakai fasilitas pemerintah untuk membantu kebutuhan penghasilan mereka, dan mereka mungkin akan melanjutkan praktek ini; organisasi militer menempuh strategi yang sama dengan hasil yang bahkan lebih besar. Lihat Smith dalam Mochtar Lubis dan James C. Scott, Korupsi Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 63-64
[19] Gould dalam Lubis dan Scott, Op. Cit., hal. 110
[20] Miriam Budiarjdo, Demokrasi di Indonesia : Demokrasi Parelementer dan Demokrasi Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hal.27
[21] Kehadiran Poros Tengah yang disodorkan oleh beberapa partai politik ini, pada awalnya ada anggapan merupakan sebuah pilihan alternatif untuk melakukan perubahan dalam rangka membentuk Indonesia ‘‘baru” sebagaimana konsep jalan ketiga yang ditawarkan oleh Anthony Giddens melalui bukunya The Third Way. Ternyata kemunculan Poros Tengah hanyalah sebatas dalam usaha menembus kebuntuan pencalonan dan pemilihan Presiden pada waktu itu. Dengan kata lain, hanya sebatas upaya untuk ‘‘menjengal” langkah Megawati menjadi Presiden. Sesudah terbentuknya pemerintah baru hingga sekarang, apa dan bagaimana sesungguhnya Poros Tengah itu rasanya masih tidak begitu jelas.
[22] Persaingan para elit politik untuk menduduki jabatan-jabatan strategis pada institusi-institusi pemerintahan yang termasuk “basah” , sudah sangat jelas dimaksudkan adalah untuk kepentingan masing-masing partai politik. Hal semacam ini dapat dijadikan sebagai suatu indikasi bahwa pengaruh system lama ternyata masih begitu dominan. Munculnya berbagai kecenderungan adanya partai-partai politik yang hanya memikirkan kepentingan partainnya dengan mengenyampingkan kepentingan rakyat, harus selalu dikritisi agar  determinasi politik dalam tubuh birokrasi tidak terjadi lagi. Dan rakyatpun tidak harus masuk kedalam jurang penderitaan yang semakin dalam lagi.
[23] Benveniste, GUY , B I r o k r a s I , Cet. IV, Rajawali Pers, Jakarta, 1997, hal. 208
[24] Hariandja, Op. Cit., hal. 40-41
[25] Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1980, hal. 15 
[26] Susanto, Op. Cit., hal. 17-18





Penutup
Selama rezim orde baru berkuasa, telah terjadi politisasi birokrasi karena birokrasi sudah menjadi bagian dari kekuatan politik pemerintah pemegang kekuasaan dominan yang sekaligus menjadi alat politik. Karena sudah terkooptasi oleh kekuasaan, pada akhirnya birokrasi kehilangan fungsi yang sesungguhnya sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Keberadaan birokrasi yang demikian ternyata merupakan format politik yang sengaja dibangun oleh rezim orde baru sebagai peluang untuk memanfaatkan sumber kekayaan Negara sebanyak-banyaknya, yang notabene adalah milik rakyat, semata-mata hanya untuk kepentingan pribadi elit penguasa dan kroni-kroninya maupun untuk kepentingan politik penguasa agar dapat melanggengkan kekuasaannya.
Dalam rangka membangun birokrasi yang bertanggungjawab pada era demokratis menuju Indonesia baru yang mengedepankan supremasi hukum, termasuk untuk membangun pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government), maka sudah menjadi keharusan apabila fungsionalisasi hukum lebih diutamakan di dalam proses penyelesaian terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dalam tubuh birokrasi. Untuk mencegah munculnya kebiasaan lama berupa penciptaan “korban jadi-jadian” atau “korban rekayasa” demi melindungi penguasa dan kekuasaan , maka partisipasi rakyat harus diberdayakan melalui pembukaan akses informasi yang seluas-luasnya mengenai kinerja birokrasi.






DAFTAR PUSTAKA

Benveniste, GUY. 1997. B i r o k r a s I. Cet. IV. Jakarta : Rajawali Pers.

Blau, Peter M. dan Marshall W. Meyer. 1987 . Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Edisi Kedua. Jakarta : UI-PRESS.

Denny BC. Hariandja, 1999. Birokrasi Nan Pongah: Belajar dari Kegagalan Orde Baru. Yogyakarta : Kanisius.

Freire, Paulo.1985. Pendidikan Kaum Tertindas. Cet. I. Jakarta : LP3ES.

                     . 1999. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Kebebasan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Giddens, Anthony. 1999. Jalan Ketiga: Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

I. S. Susanto. 1999. Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Orde Baru. Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

Miriam Budiarjdo. 1994. Demokrasi di Indonesia – Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Mochtar Lubis dan James C. Scott (penyunting). 1987. Mafia dan Korupsi Birokratis. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

                     . 1993. Korupsi Politik. Jakarta : Penerbit Yayasan Obor Indonesia.

Moch. Machfud MD. 1996. “Demokratisasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum yang Responsif.” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum dalam Masa Pembangunan dan Rekturisasi Global. Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

Oemar Seno Adji. 1980. Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta : Erlangga.

 Said, Edward, W. 1998. Peran Intelektual. Edisi Pertama. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Syamsudin Haris dan Riza Sahbudi (editor). 1995. Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
W. J. S. Poerwadarminta. 1979. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Penelitiaan Keputusan Presiden yang Menyimpang 1993 – 1998. Laporan Akhir Tim Kerja Bidang Hukum Masyarakat Transparansi Indonesia.